Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Pengetahuan Superfisial: Krisis Persepsi dan Erosi Moral

×

Pengetahuan Superfisial: Krisis Persepsi dan Erosi Moral

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO, – Mengarungi spektrum pencerahan Haidar Bagir dalam bukunya Mengenal Filsafat Islam: Pengantar Filsafat yang Ringkas, Menyeluruh, Praktis, dan Transformatif (2020), saya menemukan satu embrio utama atas berbagai problem kehidupan, yaitu krisis persepsi dalam benak kita. Problem kehidupan yang dimaksud oleh Bagir, bukan hanya dalam lingkup personal atau diri seseorang, tetapi termasuk sosial, ekonomi, politik, kepemimpinan, moral, kepercayaan, budaya, lingkungan, dan lain-lain.

Dalam naskah Orasi Penerimaan Anugerah Hamengku Buwono IX dari Universitas Gadjah Mada Tahun 2024 oleh Prof. Haedar Nashir yang berjudul Transformasi Mentalitas dan Kebudayaan Indonesia, saya pun menemukan setitik diksi “Erosi moral”. Apa yang saya maknai sebagai setitik diksi ini, ternyata sepertinya adalah “kode”—yang dalam tradisi semiotika, mewakili atau menandai kompleksitas problem moral. Dan memang, dalam orasi tersebut Prof. Haedar menggambarkan, menyebutkan, dan mencontohkan secara terang tiga pimpinan lembaga negara yang ketuanya diberhentikan.

Kemudian dari keduanya, “Krisis persepsi” dan “Erosi moral”, saya pun berpikir dan merenung mendalam sambil menyusuri secara imajiner realitas kehidupan untuk menemukan dan merasakan sendiri kebenaran dari keduanya. Penelusuran imajiner yang saya lakukan bukan berarti itu bersifat ilusi. Saya benar-benar menemukan dan merasakan fakta-fakta tersebut, meskipun hanya bermodalkan kekuatan elektromagnetik sebagai keniscayaan dan satu piranti yang penting dan dibenarkan dalam era digital hari ini.

Persoalan di atas, bagi kita yang memiliki pemahaman dan kesadaran terhadap tanggung jawab sosial dan kebangsaan semestinya menjadikannya sebagai pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Minimal, berdasarkan versi dan porsi masing-masing, kita mengambil peran dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Urusan terkait peran ini, jangan dipandang hanya menjadi tanggung jawab negara.

Kita memang diselimuti oleh fenomena yang membuat hati terdalam bukan hanya kaget, tetapi juga merasa prihatin dan sedih. Memang, tidak mengangetkan, memprihatinkan, dan menyedihkan bagi semua orang karena sudah menjadi fenomena biasa atau lebih tepatnya sering terjadi. Dibutuhkan kepekaan, pemahaman, dan kesadaran mendalam untuk merasakannya.

Selain yang diungkapkan oleh Bagir dan Prof. Haedar di atas, saya yakin bahwa sahabat pembaca pun menemukan, membaca berita, menyaksikan langsung, dan termasuk mendengar informasi dan keterangan-keterangan yang bisa dipercaya, bahwa ada segelintir orang yang sejatinya dirinya yang menjadi garda terdepan dalam menjalankan tanggung jawab sosial dan kebangsaan, bahkan negara justru menampilkan sikap dan tindakan paradoks. Ada yang mengetahui hukum dan keadilan justru lewat putusannya dan/atau pengaruhnya, hukum, keadilan, dan rasa keadilan itu dirusak.

Para pelaku yang sikap dan tindakannya negatif dan destruktif tersebut, tidak hanya didominasi oleh kaum tua atau yang berumur tua. Kita pun menemukan segelintir pemuda, kaum intelektual, yang semestinya menjadi teladan dalam menjaga nilai-nilai dan moralitas. Justru di hadapan yunior dan kader-kadernya masih menampilkan sikap dan perilaku yang tidak layak dicontoh.

Kepentingan pribadinya telah merusak bangunan nilai yang dibangunnya sendiri selama ini di dalam forum-forum perkaderan, kajian-kajian keilmuan, dan doktrin-doktrin moralitas. Ideologi organisasi ternodai dan jati diri sejatinya sebagai agent of change, jika disadari, sesungguhnya pun sedang dirusaknya.

Kita pun sering menjumpai, meskipun hanya melalui media sosial tetapi kebenarannya bisa terkonfirmasi dalam realitas kehidupan, ada segelintir elit negara yang sikap, tindakan, dan perkataannya blunder. Meskipun, dalam perjalanannya, ketika sudah mendapat kritikan dan bahkan kecaman dari netizen, maka dirinya pun menyampaikan klarifikasi dan minimal menyampaikan permintaan maaf. Selain para pejabat yang melanggar dan mengkhianati sumpah dan janji jabatannya sendiri, yang jumlahnya jauh lebih banyak, seperti di antaranya yang disebutkan oleh Prof. Haedar dalam naskah orasinya tersebut.

Semua gambaran fenomena di atas—masih banyak belum terungkap dan/atau diungkapkan—mencerminkan dua hal: krisis persepsi dan erosi moral. Kedua hal ini, saya temukan dan terinspirasi dari Bagir dan Prof. Haedar dari masing-masing karya pemikirannya yang luar biasa. Dan, bagi saya keduanya ini bisa disimpulkan dengan istilah “Krisis eksistensial manusia”. Mengapa?

Persepsi dan moral, jika ditelusuri eksistensi manusia, berada dalam dua dari tiga dimensi yang menjadi satu kesatuan yang disebut sebagai eksistensi manusia. Persepsi bagian dari akal, logika, dan/atau pikiran manusia. Sedangkan, moral bagian dari rasa, kalbu, dan/atau etika manusia.

Manusia menjadi titik sentral dalam kehidupan. Manusia yang menentukan benar-salah, baik-buruk, dan indah-jeleknya, termasuk pantas atau tidak kehidupuan yang berlangsung dan dijalani. Manusia menjadi penentu kemajuan dan kemunduruan, suatu bangsa, negara, dan peradaban.

Apa yang terungkap dari Bagir dan Prof. Haedar pada bagian awal di atas, yang menggambarkan kompleksitas problematika kehidupan kolektif, secara teologis telah ditegaskan oleh al-qur’an, salah satunya melalui QS. Ar-Rum[30]: 41, bahwa kerusakan di darat dan di laut itu disebabkan “perbuatan tangan manusia”. Dalam kerangka pendekatan berpikir antroposentrisme pun, manusia adalah titik sentral yang menentukan maju-mundurnya kualitas kehidupan.

Krisis persepsi dan erosi moral sebagai determinan negatif dan destruktif dimensi kemanusiaan dan eksistensi manusia telah terang-benderang sebagai embrio dari berbagai persoalan yang ada. Kemudian jika kita berpikir lebih jauh dengan tidak mengedepankan cara pandang nihilistik, kita akan sedikit heran karena sesungguhnya kita pun menyaksikan di antara para pelaku yang digambarkan di atas, ada yang menyandang gelar akademik yang tinggi atau sebagai kaum intelektual.

Selain itu, di antara mereka pun adalah aktivis atau pernah sebagai aktivis. Di antara mereka pada masa mudanya, ada yang semangat menyuarakan pentingnya menjaga nilai dan moralitas. Mereka pun, banyak di antaranya yang ibadahnya berdasarkan kesaksian kita, tidak diragukan. Latar belakang organisasi dan lembaga pendidikan yang pernah dijalaninya sangat meyakinkan. Mengapa masih menampilkan kondisi yang dimaknai krisis persepsi dan erosi moral?

Menelusuri kedalaman pandangan Bagir dan Prof. Haedar, saya menemukan pemahaman bahwa urgensi, relevansi, dan implikasi filsafat atau berpikir dalam makna berfilsafat, dan termasuk (salah satunya) kesadaran akan pentingnya “Sistem pengetahuan kolektif” mampu meretas krisis persepsi dan selanjutnya erosi moral. Saya sendiri menyimpulkan bahwa bagian inti dari embrio krisis persepsi dan erosi moral tersebut adalah “Pengetahuan superfisial”. Banyak di antara kita masih terjebak pada pengetahuan superfisial.

Pengetahuan yang dimiliki masih dalam kategori pengetahuan superfisial. Pengetahuan yang dangkal, hanya menyentuh dimensi permukaan, bersifat material, duniawi, parsial, mekanistik, instrumental, dan operasionalistik. Sebab, jika mereka sampai pada pengetahuan yang luas dan mendalam serta menjangkau kompleksitas, sesungguhnya bukan hanya menjadi solusi atas krisis persepsi. Namun, termasuk pula bisa menjadi solusi dari erosi moral.

Moral dan/atau moralitas, meskipun terkesan berada dalam dimensi yang berbeda dari sesuatu yang dipandang sebagai pengetahuan—berdasarkan eksistensi manusia,—saya masih meyakini bahwa transformasi dan implikasi pengetahuan yang luas dan mendalam, sejatinya bukan hanya memahami dimensi kehidupan dalam perspektif benar-salah dan memilih jalan yang benar dan kebenaran. Namun, termasuk pula mampu membedakan baik-buruk dan mampu memilih jalan yang baik dan kebaikan, yang tentunya di antaranya berbentuk “moral”.

Era digital dan kehidupan inersia hari ini, dalam pandangan saya meskipun kita sebenarnya dikitari galaksi infromsi, mengalami kelimpahan informasi, dan akses pengetahuan yang mudah, tetapi menjadi lahan subur tumbuhnya pengetahuan superfisial. Diri kita terjerumus ke dalam kedangkalan pengetahuan.

Hal itu terjadi karena kita lebih sering dan fokus beriorientasi pada informasi sebagai sebuah teks semata tanpa mencoba menemukan makna mendalam dan luas dari setiap informasi yang ada agar menjadi pengetahuan dan ilmu bagi kita. Sehingga hal ini pun menimbulkan dampak lanjutan mengalami kesulitan untuk meresapi makna, pengetahuan, dan ilmu tersebut agar memengaruhi nalar dan membentuk karakter.

Hari ini, kita bukan hanya mengalami krisis literasi dalam makna luas dan mendalam. Termasuk pula, jika meminjam pandangan Hernowo dalam buku karyanya Mengikat Makna, saya curiga aktivitas membaca kita hanya membaca secara eksoterik. Tidak mengalami aktivitas membaca secara esoterik. Kita hanya mengalami keberlimpahan informasi tetapi minim dalam makna. Jika merujuk pada pendekatan dalam memahami ajaran Islam, mungkin kita hanya fokus pada pendekatan bayani. Lupa atau enggan menggunakan pendekatan burhani dan irfani.

Saya pun mencoba merasakan realitas tersebut, bahwa ibadah yang dilakukan pun sepertinya tidak dibingkai dengan pengetahuan dan/atau ilmu yang luas dan mendalam. Sehingga ibadah terutama ibadah shalat dan puasa yang dilakukan belum mampu membentuk karakter yang berimplikasi positif, produktif, konstuktif, dan kontributif dalam realitas kehidupan empirik, sosial, bangsa, dan negara.

Meskipun saya mengulas terkait persoalan di atas. Namun, saya menyadari pula bahwa bisa saja pengetahuan dan ilmu yang saya miliki belum sampai pada kedalaman dan keluasan yang menjadi harapan dari tulisan ini. Tetapi, minimal saya memahami dan menyadari, bahwa pengetahuan superfisial memiliki dampai negatif dan destruktif yang bermuara pada krisis persepsi dan erosi moral.

Membahas tentang pengetahuan superfisial sebenarnya adalah tema pembahasan yang bisa diuraikan lebih luas dan mendalam. Apa lagi di era post truth hari ini mengindikasikan parahnya hal tersebut. Belum lagi karakter postmodernisme yang mengindikasikan kecenderungan pada narasi-narasi kecil—berdasarkan yang saya pahami dari Yasraf Amir Piliang. Kita kurang tertarik pada narasi-narasi besar, hal tersebut memberikan pula kontribusi langsung.

Atas persoalan tersebut, kita bisa menyelami filsafat Islam yang ditawarkan Bagir. Begitu pun salah satu penegasan Prof. Haedar dalam orasinya penting untuk direnungkan lebih mendalam “Masalah moral dan etika dalam mentalitas bangsa sebenarnya masalah kebudayaan, yakni menyangkut sistem pengetahuan kolektif manusia dalam kehidupan bersama”.

Tulisan ini tidak menjadi ruang tepat untuk mengurai lebih jauh. Namun, saya berharap semoga substansinya bisa dipahami bersama. Yang pasti, bagi saya meskipun seseorang memiliki titel akademik yang tinggi atau dikenal sebagai kaum intelektual, tetapi ketika moralitasnya hancur, negatif dan destruktif, maka bisa dipastikan mereka masih mengalami krisis persepsi. Dan, krisis persepsi ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya barulah menyentuh apa yang dimaknai sebagai pengetahuan superfisial.

Sumber gambar: mansajululum.ponpes.id

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital & Kebangsaan.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply