Oleh: Fadli Andi Natsif*
KHITTAH. CO – Tom Lembong, demikian ia dipanggil. Merasakan kurang lebih sembilan bulan di penjara. Mulai dari akhir Oktober 2024 ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan terkait kasus importir gula di Kementerian Perdagangan yang dipimpinnya pada 2015 – 2016.
Sejak awal proses kasus hukum yang menimpa Tom Lembong menuai kontroversi. Sampai akhirnya divonis oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta 18 Juli 2025, selama 4 tahun 6 bulan. Vonis ini pun dianggap oleh pembelajar hukum di luar nalar logika unsur esensial tindak pidana, yaitu tidak memiliki unsur mens rea (niat jahat). Belum lagi unsur tindak pidana korupsi tidak terpenuhi yaitu adanya kerugian negara yang memperkaya diri Tom Lembong.
Anehnya meski pun dalam amar putusan kasus Tom Lembong tertera hal ini bahwa tidak ada motif pribadi atau niat jahat dari kebijakan yang diambil sebagai Menteri Perdagangan. Hanya dikemukakan kebijakan yang diambil itu melanggar prosedur administrasi dan dianggap menyebabkan kerugian negara.
Lagi-lagi ini tidak sesuai dengan rumusan tindak pidana korupsi harus dengan tegas ditemukan kerugian negara secara ril (actual loss). Tidak boleh hanya dikatakan ada potensi kerugian negara (potential loss). Apalagi adanya unsur pembuktian actual loss dalam kasus korupsi sudah diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 25 Tahun 2016. Pada intinya putusan MK ini menafsirkan bahwa frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, harus dibuktikan dengan kerugian keuangan yang nyata bukan potensi atau perkiraan kerugian negara.
Terkait kebijakan yang diambil oleh Tom Lembong sebagai Menteri Perdagangan saat itu kita juga tidak boleh gegabah menganggap melanggar prosedur administrasi. Uraian tentang hal ini dapat kita baca opini Yanuar Nugroho, Dosen STF Driyarkara dan mantan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI 2015 – 2019, di harian Kompas (2/08/2025). Uraian yang menjelaskan, logika hukum terkait kasus yang dialami oleh Tom Lembong, mengaburkan batas kesalahan administratif, keputusan kebijakan, dan tindak pidana. Menurutnya dalam pemerintahan yang sehat, kebijakan selalu punya ruang diskresi, khususnya saat kondisi darurat atau saat tidak adanya opsi ideal. Sehingga jika setiap kebijakan diperlakukan sebagai delik pidana, seluruh proses pengambilan keputusan yang mengandung risiko akan berubah jadi ladang jebakan hukum.
Paling tidak inilah yang tergambar dalam penangan kasus Tom Lembong. Terkesan majelis hakim yang menjatuhkan vonis hukuman bagi Tom Lembong tidak didasarkan nalar sehat terkait esensi niat jahat, diskresi dan kerugian negara. Kecenderungan tuntutan jaksa diamini oleh hakim meski pun vonisnya di bawah dari yang dituntut. Tanpa menggali esensi nilai hukum yaitu rasa keadilan bagi Tom Lembong yang tidak punya niat jahat, kebijakan diambil bagian dari diskresi yang pasti punya konsekuensi tapi tidak boleh dianggap sebuah kesalahan. Oleh Yanuar Nugroho dalam tulisannya dikatakan aparat penegak hukum tak cukup hanya tahu hukum tapi juga harus punya literasi kebijakan.
Pada akhirnya meski pun rasa keadilan Tom Lembong tidak didapatkan dalam ranah kekuasaan yudikatif (pengadilan), tapi ujung keadilan itu datang dan diberikan oleh kekuasaan eksekutif plus legislatif. Dalam hal ini melalui keputusan abolisi yang dikeluarkan oleh Presiden (kekuasaan eksekutif) dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (kekuasaan legislatif).
Sistem kekuasaan yang dianut oleh Indonesia memungkinkan hal itu dilakukan. Dalam konstitusi atau UUD NRI Tahun 1945, secara tegas dalam Pasal 14 disebutkan pemberian abolisi adalah kewenangan presiden untuk menghentikan proses hukum perkara pidana sebelum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Ini memberikan pemahaman bahwa di Indonesia tidak menganut secara mutlak atau absolut pemisahan kekuasaan (separation of power). Oleh karena tiga ranah kekuasaan itu saling memberi pengaruh.
Tentu pemberian abolisi kepada Tom Lembong ini tidak boleh dimaknai sebagai belas kasihan oleh Presiden Prabowo. Tetapi ini harus dimaknai sebagai hak yaitu rasa keadilan yang memang selayaknya didapatkan oleh Tom Lembong. Cukup sudah sembilan bulan Tom Lembong merasakan hidup di balik jeruji, yang menurutnya penjara merupakan tempat kehidupan yang menantang.
Jumat berkah bagi Tom Lembong. Pas di awal bulan kemerdekaan Indonesia, 1 Agustus 2025, malam hari sekitar pukul 22.00 lebih waktu Indonesia Barat, melangkahkan kaki keluar dari Rumah Tahanan Kelas 1 Cipinang Jakarta Timur. Tom Lembong menegaskan kemerdekaannya ini menjadi awal tanggung jawab bersama membantu sistem peradilan di Indonesia supaya lebih jernih dan memihak kebenaran.
“Saya kembali dengan semangat tidak retak, tidak patah. Sangat percaya bangsa Indonesia yang terbaik di dunia serta mencintai republik ini,” demikian ucapan yang dilontarkan ketika meninggalkan penjara yang ditempatinya kurang lebih 9 bulan lamanya.(*)
* Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PWM Sulsel dan Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar