Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Perjuangan untuk Eksistensi dan Perjuangan untuk kesehatan

×

Perjuangan untuk Eksistensi dan Perjuangan untuk kesehatan

Share this article

 

Oleh: Ermansyah R. Hindi*)

*) Anggota Masyarakat Pos-Filsafat/ Sekretaris PD Muhammadiyah Kabupaten Jeneponto

Awal Tahun 2020 dianggap tidak lazim sebagai krisis corona atau krisis kesehatan. Mungkin, salah satu tempat di negara-negara Barat maupun Timur yang lazim dilakukan seperti pesta gila tiba-tiba beberapa bulan terakhir kita sedang menyaksikan rangkaian ‘solidaritas’ yang luar biasa untuk melawan arus di atas permukaan penyebaran virus corona, yang sekarang pun kita belum dibebaskan dari pandeminya. Asal-usul penularan virus yang mematikan nampak lebih bertumpu pergerakannya melalui permukaan tubuh dan permukaan benda-benda lainnya.

Sementara, tuntutan khusus selama berlangsung pandemi berupa masker, seragam, obat, dan perlengkapan medis lainnya. Pandemi corona seakan-akan dianggap oleh sebagian orang sebagai kejahatan nyata yang berasal dari dunia kegelapan yang goncang membuat nampak tidak lebih gamblang dibandingkan dengan seluruh rangkaian kegiatan medis yang berfungsi sebagai sarana penaklukan besar atas ancaman kepunahan umat manusia. Tetapi, jika dimungkinkan mekanisme bekerja sesuai rincian yang lebih kecil melalui perawatan kesehatan atas pasien kadangkala tidak sejelas kecepatan penyebaran wabah virus. Pada suatu titik, saat fajar disambut oleh senja hingga malam-malam cukup menegangkan, setengah dari horor yang membayangi kita.

Manusia tidak mampu hidup, maupun hidup dalam kebebasan dan tanggungjawab, kecuali jika mereka menanggung perjuangan kolektif tidak tertahankan. Kita melihat bersama atas upaya pencegahan penyebaran penyakit ganas dari virus corona yang diorganisir nampaknya semacam itu sudah tentu tidak mungkin diharapkan hanya ngomong kosong, retorika yang meledak-ledak, menyediakan buku hebat untuk membentuk masa depan kesehatan atau diskursus teoritis melulu. Kita perlu mengakui, bahwa semuanya itu tidak semudah untuk membebaskan jutaan orang dari penyakit mematikan. Kita mesti membayar mahal, dengan menanggalkan bentuk identitas yang dangkal, karena keadaan kita dijelaskan oleh para analis, bahwa bukan hanya krisis virus corona mengancam jutaan orang di dunia, tetapi berdampak pada keadaan ekonomi dan sosial. Mereka dari sana dimulai perang atau ‘perjuangan untuk kesehatan’, yang diubah dari perjuangan untuk eksistensi atau perjuangan untuk bertahan hidup ke arus yang mengalir dalam konstelasi kacau-balau pandemi. Ia yang harus kita bangun dari satu eksistensi ke eksistensi kesehatan. Terus lagi, eksistensi kesehatan sebagai bagian dari seni hidup. Bukankah keputusan atau kebijakan tentang pencegahan penyebaran virus corona adalah juga ‘perjuangan untuk eksistensi’ atau ‘perjuangan untuk bertahan hidup’? Eksistensi Xin Jinping-‘manusia yang satu’ ataukah Kesehatan Trump-‘manusia lainnya’? Dimanakah kedudukan ‘perjuangan untuk kesehatan’? Dalam krisis corona, sisi-sisi lain dari kesehatan tidak lebih dari jejak yang buram. Keadaan itulah ia tidak menjadi tindakan setengah hati atau dianggap lelucon. Keselamatan hidup dan memutuskan mata rantai penyebaran wabah virus merupakan nomor wahid. Di masyarakat, berbicara dan tindakan nyata sama pentingnya diantara bentuk pelayanan atau perawatan kesehatan bagi setiap orang, pasien bahkan petugas medis yang berdampak pandemi corona. Setiap orang harus dilayani dan dicegah wabah virusnya, pasien, dokter dan petugas medis diutamakan pada bentuk kuratif, perawatan dan penyembuhannya, yang tentu saja harus didukung oleh ketersediaan alat perlindungan diri, kamar, ruangan isolasi, unit perawatan intensif rumah sakit, peralatan uji diagnostik cepat, dan sebagainya. Ukuran penularan dan kesembuhan pasien dari penyakit corona lebih dikhususkan dalam keketatan pemeriksaannya. Kelambanan pencegahan pandemi virus corona ditengarai oleh ketiadaan atau paling tidak kurangnya alat perlindungan diri dan perlengkapan medis lainnya. Suatu rezim kesehatan betul-betul diharapkan sesuai dengan tindakan nyata dari pengetahuan. 

Kita tidak sedang bermimpi, tetapi kita sedang mencoba membantu mewujudkan mimpi itu untuk bebas hingga mencapai ‘titik nol virus corona’, ‘perjuangan untuk eksistensi masa depan kesehatan umat manusia’. Jika kita wujudkan sebuah buku, kalimat dan ide tentang kesehatan itu karena kasih sayang jauh lebih penting daripada kita larut terus-menerus dalam absurditas. Suatu tatanan kesehatan dibangkitkan dari pengawasan rumput yang tumbuh, mendengarkan angin, dan menangkap bui laut dalam krisis corona. Lantas, krisis kesehatan bukanlah sejenis penghukuman pada manusia, melainkan tanda-tanda eksistensi dibalik rezim kesehatan. Suatu ‘eksistensi yang bebas dari penanda yang mengambang bebas’ menuju tatanan kesehatan yang sesungguhnya.

Penanggulangan krisis virus corona melalui sistem kesehatan dianggap lebih efektif yang akan mengubah takdir, dari dunia serba sekedarnya ke dunia serba cepat tanggap dalam tindakan pencegahan atau penyembuhannya. Kecepatan pencegahan virus corona dan penyembuhannya begitu berpengaruh untuk tidak mentolerir keganasan penyakit melalui eksistensi kolektif rumah sakit. Di Cina dibangun dua rumah sakit untuk menghalau mimpi buruk pasien di siang hari dari virus corona mematikan (Leonie Schiffauer, 2020). Sementara itu, orang-orang yang tuna wabah virus corona cenderung belum memahami peristiwa krisis kesehatan, yang tidak memperdulikan keadaannya dan meremahkan keadaan merupakan hal-hal yang sulit dimengerti. Masker, dokter dan petugas rumah sakit hanyalah untuk meningkatkan keadaan yang berbeda sebelumnya, yang mendapatkan persetujuannya untuk memerangi virus. Kata lain, kecepatan pelayanan kesehatan yang menciptakan rumah sakit untuk pasien penyakit corona. Memang sah-sah saja jika orang-orang mempertanyakan mengapa ada negara yang berhasil menekan penyebaran pandemi virus corona, sebaliknya ada juga gagal mengatasinya dalam waktu tidak cukup lama. Tetapi juga kita mempertanyakan mengapa sekarang tidak menggebu-gebu untuk mempersalahkan diri sendiri. Bahwa dahulu mereka berhasil mengembangkan vaksin virus yang tidak terkait dengan rentetan kesimpulan yang dianggap tergesa-gesa pada penanganan pandemi corona. Bagaimana kita akan tetap menyaksikan peristiwa pergeseran krisis demi krisis, saling bertumpang tindih seperti dari krisis lingkungan ke krisis kesehatan, yang berlagak gegabah untuk membebaskan kita dari krisis corona sebagai selingan atau interupsi dalam upaya mencapai keseimbangan alam. Justeru, krisis corona membebani kita dengan kecelakaan sejarah eksistensial manusia yang besar, yakni bahwa krisis kesehatan merupakan pelanggaran kodrati. Ada saja orang-orang akan berargumentasi lain, jika begitu banyak di zaman mutakhir memiliki pandangan bahwa membuat dan mensirkulasikan uang lebih dahulu dibandingkan membuat sistem perawatan kesehatan ditengah krisis corona. 

Akan lebih berterus terang dalam gagasan kita bersama mengenai solidaritas untuk melawan virus corona melalui pembentukan sistem kesehatan sebagai obyek perjuangan untuk kesehatan  dari penggabungan perjuangan untuk eksistensi atau sekaligus perjuangan untuk bertahan hidup  dan perjuangan politik. Ada juga alasan muncul dari orang-orang di berbagai kalangan mengapa nilai kesehatan dikuantitaskan nilai uang, karena satu alasan, diantaranya penyediaan peralatan medis, penelitian dan penemuan vaksin memerlukan biaya yang cukup besar untuk menangani dan menyelesaikan krisis corona yang memang nyata, ada di sekitar kita. Bagaimana rasionalitas berhadapan dengan malapetaka ditengah aliran uang untuk membiayai dan menyediakan pasokan perlengkapan kesehatan atau keterjangkuan pelayanan kesehatan. Perlengkapan kesehatan untuk melawan krisis corona muncul karena didukung oleh relasi antara ‘arus modal uang’, komitmen dan paket stimulus ekonomi dari suatu negara atau institusi ke negara dan wilayah berdampak pandemi. Memang betul, ada ungkapan yang mengatakan, bahwa satu kesehatan lebih berharga daripada satu milyar. Tetapi, kita juga tidak berlarut-larut untuk menyalahkan akar permasalahan karena akar-akarnya telah muncul dalam sejarah krisis kesehatan. Hal ini, kita tidak lantas untuk mengatakan, krisis corona atau krisis kesehataan global berasal dari rangkaian skandal eksistensi ‘sang Lain’ yang kelabu sebagai model deteritorialisasi spesies berpenyakitan yang mengancam kesehatan kita. Disamping itu, kita tergoda untuk membicarakan tentang sejauh mana seseorang mampu merefleksikan peristiwa pasca-corona menjadi bagian dari kodrat, yang menyelundupkan mimpi menjadi kenyataan atau mewujudkan masa depan kesehatan umat manusia. Memang juga apa yang kita bayangkan tidak semudah apa yang kita lakukan. Penting untuk ditambahkan, jika begitu halnya, ada banyak kesempatan untuk berikhtiar sekuat mungkin untuk membebaskan kita dari krisis kesehatan. Kita tidak dapat menghindari pembicaraan banyak orang secara berlebihan dan berulang-ulang untuk diungkapkan, karena tidak lain krisis itu sangat mendalam dan luas pengaruhnya; yang dari sini kita dibekali pada akar dan komitmen yang kuat, memperjuangkan hak-hak kesehatan global dirahi kembali. Orang-orang dipingiti dalam pengaturan cuci tangan, menjaga jarak minimal satu meter dan upaya lainnya untuk mencegah penyebaran virus dengan yang tetap memerhatikan catursabda penghentian virus corona, yaitu ‘uji’, ‘isolasi’, ‘menemukan penyembuhan’, dan ‘karantina’. Menekan krisis corona secara ketat, sedikit demi sedikit menuju keteraturan melalui ketersediaan alat perlindungan diri, pendidikan atau kampanye kesehatan, donasi, dan sebagainya, sehingga kita dimungkinkan mampu terlepas dari cengkeramannya. Kita juga mengetahui bersama, tatkala upaya untuk membebaskan diri dari cengkeraman pandemi corona atau penyakit mematikan lainnya sudah pasti. Selain menghabiskan waktu yang cukup lama, ada juga ketahanan tubuh yang prima, seimbang dan bahkan harus lebih kuat dibandingkan dengan cengkeramannya. Taruhlah misalnya, sistem kekebalan yang sehat yang diterapkan bagi setiap orang. Sistem tersebut adalah sistem penghalang yang mengandung sel, protein, dan sinyal kimia yang kompleks dan terkoordinasi fungsi-fungsinya untuk menekan arus penyebaran virus menjadi bagian dari upaya kita membangun perjuangan untuk kesehatan. Tidak ada sisa waktu untuk lengah dari cengkeraman krisis corona. Sistem kekebalan tubuh dari suatu wabah penyakit adalah mesin kesehatan. Sebuah sistem yang kompleks menandakan pertahanan diri dari krisis kesehatan yang tersembunyi maupun terang-terangan cengkeramannya.

Namun demikian, penduduk dunia menjadi hal penting untuk tidak dilupakan karena mereka merupakan eksistensi yang di bawah bayang-bayang pandemi corona. Kita akan membayangkan seberapa kuat suatu teritori atau negara dalam upaya penanggulangan krisis corona jika didekati dengan sistem kesehatan ditandai ketersediaan rumah sakit, peralatan dan perlengkapan medis, kualitas pelayanan maupun keterjangkuan pelayanan. Dimana posisi kita berdiri, apabila sistem kesehatan yang belum rampung dibangun terpaksa menghadapi krisis corona yang terjalin pada marjinalisasi penduduk hidup di bawah garis kemiskian yang dihubungkan dengan pengaturan dan kontrol atas pembatasan sosial dan karantina berbasis individu. Boleh jadi gelombang krisis corona berdampak pada tanda-tanda eksistensi penduduk miskin yang merosot (seperti ancaman kelaparan di India dan beberapa negara di Afrika). Kita membicarakan mode eksistensi menjadi kelabu sejauh kaum miskin berada dalam ketidakhadiran kebutuhan dasarnya di tengah pandemi corona nampaknya akan mencapai titik frustasi sosial yang mengubah eksistensi untuk memilih takdirnya sendiri menjadi jalan kekerasan.

Hari-hari kelam kembali menghantui, saat masih berlangsung krisis kesehatan telah tercatat dokter, paramedis dan tenaga kesehatan lainnya ikut menjadi korban keganasan virusnya. Sekitar lebih lima belas dokter yang gugur dari lebih sebelum di Indonesia. Sebagaimana di negara lain, dokter menantang maut di saat masih berlangsung krisis corona yang diberitakan melalui hasil penelitian, dimana ruangan rumah sakit berisiko tinggi penularan virus berasal dari ruang ganti pakaian, atribut jas dokter, penutup kepala dan masker. Esensinya di sini tidak lain adalah upaya untuk memutus rantai penyebaran virus melalui pergerakan cuci tangan, pemakaian masker dan jaga jarak yang dikonsolidasikan secara cepat dan luas dari petugas kesehatan, pemerintahan dan relawan. Suatu uraian yang cermat dan penuh perhatian mesti mengantisipasi permasalahan yang akan timbul di kemudian hari untuk keluar bersama dari titik bersentuhan antara mulut, mata dan hidung dengan butiran air sebagai medium penyebaran virus. Uraian itu memunculkan kewajiban untuk mengakui perbuatan yang bertentangan dengan tatanan kesehatan dan melawan seni hidup yang menggairahkan, seperti perjuangan melawan virus corona dari pertama kali muncul sebagai kasus di wilayahnya. Akan kewalahan melakukan upaya nyata untuk mencegah penyebaran virus corona saat tahapan paling kritis. Disitulah regulasi dan upaya nyata pemerintahan, di lapangan berfungsi untuk mengatasi tingkat keparahan kasus pasien corona melalui penyediaan peralatan dan perlengkapan kesehatan yang didistribusikan secara merata, meluas jangkauannya dan tepat sasaran pada masyarakat. Selain itu, peralatan dan perlengkapan kesehatan bagi dokter, pasien dan tenaga kesehatan lainnya sangat penting untuk dimanfaatkan di siang dan malam yang juga menjamin keselamatan kerja selama berlangsung pandemi.

Telah terikat pada tugas dan tanggungjawab intelektual dan kemanusiaan untuk mengatakan pentingnya mengatasi pandemi selama masa yang belum ditentukan batas-batasnya, bahwa orang mengharapkan keterlibatan secara resmi dan sukarela. Akhirnya, kita memerangi pandemi telah melibatkan institusi seperti melihat pergerakan kolektif dengan tujuan yang ingin dicapai, yang menyaingi pergerakan sembunyi-sembunyi sosok bayangan gelap di pasar, sekitar rumah, taman bermain, kantor, pabrik, dan tempat berkumpul lainnya. Pada satu sisi, kita ingin bebas dari kata-kata yang dituturkan paling njilimet mengenai akhir dari episode penyebaran virus corona pada ‘derajat nol pasien’ (patient zero degree); suatu keadaan pulih tanpa terkapar lagi di rumah sakit, ruang perawatan, ruang isolasi, dan tempat karantina lainnya. Sisi lain, kita juga ditantang pada mahalnya harga alat pembersih, masker, ventilator, dan tempat tidur. Bulgaria memaksakan diri untuk menyingsikan lengan baju dalam hari-hari berikutnya dengan keterbatasan peralatan dan perlengkapan kesehatan. Bagaimana mereka sejak dua belas hari menemukan seratus orang yang terinfeksi, bertambah selama empat hari ditemukan dua ratus, empat ratus orang hingga ratusan orang yang terinfeksi telah membludaki unit perawatan intensif rumah sakit. Pasien ada pasrah dan ada gigih melawan penyakit mematikan itu, sembari mengisi harapan di hari ini atau besok akan menemukan kesembuhan total; jika tidak, sakratul maut yang menjemputnya di atas tempat tidur atau di ruang karantina. Jeritan dari diri pasien bukan lagi dalam pemikiran tentang ‘Ada di sana’ (Being-there) teks Heidegger, melainkan suara-teks-diri ‘ada entah dimana’ memutar balik pergerakannya ke arah krisis corona sebagai krisis kesehatan global. Petualangan individual diuji dalam perbedaan tantangan kehidupan yang silih berganti membentuk relasi yang menakjubkan. Yang berbeda dalam keserbaragaman sekaligus kemiripan adalah perbedaaan daya tanggap dan kecepatan pencegahan pandemi corona yang menerobos permukaan wilayah, negara, individu dan masyarakat. Menurut Deleuze, perbedaan internal dari Ada yang berpikir dirinya sendiri (the internal difference of Being that thinks itself). Segalanya bermain dalam permainan. Sekali lagi, ia memiliki akar-akar perjuangan kolektif yang dalam dan kuat untuk membebaskan diri kita dari cengkeramannya yang mematikan.

Tatanan kesehatan merupakan kemampuan material dalam seluruh keadaan krisis yang terus menjadi bahan pemikiran mengenai rumah sakit, tempat tidur, ventilator dan perlengkapan medis lainnya. Perawat mengelola ratusan tempat tidur pasien di rumah sakit. ‘Perbedaan’ di setiap titik pelayanan kesehatan tidak semuanya menyediakan dokter, perawat, rumah sakit dan tempat tidur yang memadai. Kita tidak patut membesar-besarkan penuturan tentang pemindahan penyakit dari satu orang ke orang lain hanya karena perkara kelambatan penanganan uji diagnostik cepat bagi pasien yang terinfeksi virus corona. Mereka akan dikembalikan pada tempatnya semula untuk menjauhi penyebaran virus antara dokter dan pasien, sehat dan petugas kesehatan.

Dibalik selubung jejak, tanda atau bahasa yang dibersihkan dari jaringan mandul pergerakan cepat, tegas dan sistematis dalam pelayanan kesehatan di tengah pandemi, krisis corona justeru terulur-ulur masa pembebasannya hanya karena menunggu penemuan vaksin anti virus. Mungkin di sanalah untuk ke sekian kalinya kerja intelijen mewarnai upaya pencegahan dan penghilangan krisis corona seraya berkata: “Mampukah sistem kesehatan mengatasi krisis corona?”. Kekuatan sosial yang begitu khas dibangun untuk mengatasi krisis yang dimainkan orang-orang diantara pengaturan, imbauan yang dibuat dan tindakan praktis yang menopangnya. Di sini kita bukanlah untuk menuntut hak pelayanan dan perlindungan kesehatan, melainkan kewajiban kolektif dari setiap orang dan institusi. Kita lantas berpikir, kelambanan pergerakan penanganan krisis lintas wilayah dan benua bukan lagi inti permasalahan, selain kewajiban setiap orang, ada juga sesuatu yang berkaitan dengan mekanisme stabilitas, kenikmatan, sensasi, dan pemikiran yang di tangan mereka tidak ingin berlalu begitu saja. Dokter, perawat dan petugas kesehatan lainnya tidak ingin tahu-menahu tentang pergolakan persepsi dan krisis kesehatan di luar, karena kewajiban kolektif menjadi kekuatan yang hilang dari ‘dalam’. Seluk-beluk kekuatan yang menyelimuti perjuangan kolektif untuk memerangi pandemi corona telah melibatkan dimensi badaniah dan batiniah kita, digiring dalam keterbukaan untuk mengatasi krisis kesehatan nampaknya mempunyai masa jeda yang cukup lama dan waswas ke masa jeda lainnya. Sesungguhnya tidak ada perhatian terhadap masa jeda krisis, melainkan pembentukan jejak-jejak atau tanda-tanda baru yang boleh saja dari setiap orang lengah pada pembentukan nuansa baru. Martir-martir kesehatan menyerukan ke luar dirinya sebelum ajal menjempuntnya, hanya pada batas-batas kekuatan perjuangan; mereka tidak ingin terkontaminasi atau terinfeksi akibat orang-orang lalai menjaga jarak, mencuci tangan atau memakai masker. Mereka lebih rela mengkontaminasikan ilmu kedokteran ke luar dirinya. Suatu hal yang perlu mendapat perhatian kita adalah pengakuan dari orang ke orang lain yang dikaitkan dengan kontaminasi pembentukan kesembuhan pasien pada kesehatan lingkungan. Saat krisis itu terjadi paling tidak penyebaran kontaminasi kesehatan terhadap pemikiran dan tindakan kolektif dalam kekuatan pergolakan badaniah sekaligus batiniah massa manusia. Cara pengobatan paling efektif dari krisis corona tidak lain adalah proses penyebaran kontaminasi kesehatan sejauh tidak bertentangan pada esensi perjuangan melawan bayangan mimpi buruk atau pembebasan manusia dari krisis yang menampakkan dirinya di dunia. Padahal itu ketidakhadiran lidah keseleo, kecuali ada tanda dari dalam diri kita sebagai cara pengobatan penyakit mematikan. Obatnya dari dalam diri sendiri, jika ingin mempercepat pemulihan atau memperpanjang krisis corona sebagai krisis kesehatan global. Ia bukan hanya mengungkapkan hasrat untuk mengetahui, melainkan kekuatan dari hasrat untuk berjuang atau bertindak. Hasrat menjadi obat. Rumah sakit bersifat residual dari kesehatan dengan segenap perawatan dan pengobatannya. Tanda kesehatan kita bergerak melalui hasrat untuk sembuh dalam tindakan spontan. Ada momen dimana kita dapat membicarakan dan menyaksikan suatu proses ‘de-hospitalisasi’ penyakit yang digabungkan dan dipisahkan pada ‘re-hospitalisasi’ pasien dan sehat. Penyebaran dan kekebalan individu dari penyakit diukur dari jauh atau tidaknya jejak dan tanda kesembuhan pasien, yang berbeda yang dikontaminasikan dengan ‘obat’ dari hasrat untuk sembuh. Obat dari hasrat diri untuk sembuh tanpa resep menjadi rentetan proses ‘de-hospitalisasi’ penyakit. Secara sederhana, pembentukan kontaminasi dimaksud adalah bukan pasien yang terinfeksi virus juga dikontaminasikan pada orang-orang dinyatakan sehat wal afiat. Jika mungkin, kontaminasi muncul dalam jalinan relasi antara jejak kesehatan individu dan tanda kesehatan lingkungan tanpa wabah atau pandemi, yang dinetralisasi oleh dari hasrat untuk sehat. Perawatan kesehatan melalui rumah sakit dengan seluruh perlengkapan medis tidak lebih dari mekanisme sekunder dibandingkan hasrat diri untuk sehat dan bersih dari pandemi penyakit sebagai kunci kesehatan swadiri secara automatis. Mesin kesehatan dan wabah penyakit akhirnya menjadi bagian dari pembentukan diskursus. Meskipun demikian, krisis corona tidak menjadikan sebuah bobot yang menarik diperbincangkan karena bertentangan dengan faedah kesehatan.

Ada banyak rincian uraian yang lebih kecil tentang penanganan pandemi corona yang lebih dini merupakan suatu tindakan klinik kedokteran menjadi karakter dan tingkah langkuh manusia tidak perlu disamarkan oleh hal-hal yang remeh-temeh. Bahkan keremeh-temehan peristiwa pun masih tetap berguna sepanjang kata-kata itu berasal dari kisah nyata pengorbanan seseorang yang diritualisasi di atas bumi perjuangan melawan pandemi penyakit.  

Institusi, dokter dan petugas kesehatan anonim masih menampilkan pelayanan medis tunduk pada kondisi yang mereka sendiri bertanya-tanya mengapa muncul peristiwa jejak-jejak pandemi virus atau bakteri yang sebelumnya pernah tertanam dalam ingatan kolektif di masa silam. Kita tidak ingin terperangkap kembali pada lubang yang sama. Peristiwa itu menjadi ujian besar bagi ilmu kedokteran untuk terus-menerus mengkonsolidasikan kekuatannya dan mengkampanyekan tentang faedah kesehatan bagi manusia di bumi. Orang-orang percaya pada keterlibatan kegiatan konsolidasi dan koordinasi bidang kesehatan yang bertujuan untuk mengkontaminasikan tanda kesehatan diantara sesama mereka dan spesies makhluk hidup lainnya. Apa yang dimaksud tanda kesehatan adalah kesehatan itu sendiri, yang setiap hari ia harus dijaga, ditingkatkan kualitas dan diperluas keterjangkauan pelayanan kesehatan bagi semua. Ataukah ia hanyalah semboyan? Kita tidak perlu malu mengakui adanya krisis kesehatan daripada tidak sama sekali. 

Adakalanya mereka tidak memohon maaf atas akibat fatal dari krisis corona yang bukan satu rahasia umum bahwa dampaknya kita tanggulangi bersama dengan semangat solidaritas. Apalah kekuatan kita jika bukan berawal dari hasrat untuk hidup atau hasrat untuk sehat bersama, yang diselipkan dalam sintaksis kesehatan, yang faedahnya dituturkan dalam kehidupan sepanjang kita berhasil mengingatnya. Dari hanya titik awal itulah yang dapat kita lakukan.

Alih-alih dedikasi yang tinggi dari relawan atau intitusi penanganan krisis corona di garis terdepan tidak luput dari cengkeramannya, yang keluar dari petunjuk bertele-tele mengenai usaha untuk menghindari penularan penyakit yang ditangani paramedis dan sopir ambulans. Keadaan krisis sebenarnya telah mewakili peristiwa kecil secara langsung luput dari pembicaraan tentang sepak terjang dokter, perawat, paramedis, dan petugas kesehatan lainnya. Dari segi tertentu yang agak naif adalah tidak semua orang dapat menjalankan tanggungjawab. Diskursus menimbulkan dampak dari prilaku hidup sehat dan dampak dari pemeliharaan keturunan menjadi sisi penuturan kembali pada orang-orang tentang petualangan besar dari dirinya sendiri setelah wabah penyakit mematikan berakhir. Orang-orang memikul beban tanggunjawab sebagai satu alasan penaklukan besar atas krisis untuk kembali pada tanda kesehatan dan faedahnya. Krisis kesehatan muncul di saat kenikmatan menuai kesakitan bersifat badaniah sebagai kenikmatan pribadi, tetapi diskursus sendiri telah kembali pada tempatnya semula. Memperluas pembicaraan mengenai krisis mampu mencangkokkan dirinya tanpa seseorang membayangkan ada mekanisme yang rumit ditemukan berbagai sensasi kesakitan. Kenikmatan menolak kesakitan bersifat badaniah datang dari sensasi. Perhatian para aktor kesehatan global dengan kemitraan yang terbentuk dalam sebuah kolaborasi untuk mempercepat pengembangan, produksi dan akses global ke teknologi kesehatan tidak lebih dari memproduksi diskursus mengenai krisis corona, yang dapat berfungsi menyebar tanda dan noktah yang disisipkan melalui mekanisme pengaturan sensasi kesakitan. Kepekaan kolektif atas krisis kesehatan melalui solidaritas tidak dapat dibangun dan digalakkan dengan mekanisme lain, kecuali dibentuk oleh mekanisme kuasa yang betul-betul memerlukan diskursus. Disitulah, peran aktor kesehatan global bekerja melalui rezim diskursus yang menciptakan jaringan relasi antara mekanisme kuasa dan kecepatan penanganan krisis kesehatan. Solidaritas menjadi ruang kosong yang dirangsang dengan diskursus ekonomi, sosial, kedokteran, dan politik, dimana krisis corona menimbulkan dampak luas padanya. Kita dapat memahami tentang peristiwa-peristiwa penting, lantaran solidaritas bukanlah berbentuk teori istimewa tentang krisis kesehatan global, melainkan berbentuk daya tanggap, deteksi, misi bersama, penelitian, kampanye, dan upaya nyata melawan pandemi corona. Sesungguhnya, kita perlu mempertimbangkan pengetahuan tentang evolusi, dari gagasan perjuangan untuk eksistensi yang tidak dapat dimengerti, jika dikaitkan dengan spesies atau akibat seleksi alam untuk mencapai krisis corona sebagai krisis kesehatan global. Apalagi ia dikaitkan dengan alih generasi, yang satu dengan lainnya saling membunuh; ia menjadi kematian yang mengintainya secara pelan-pelan yang berlindung di belakang perjuangan untuk eksistensi.

Sepintas, jejak-jejak perjuangan untuk kesehatan nampak tidak memiliki akar-akar sejarah perubahan dan transformasi, jika dilihat dari cara berpikir sekaligus prilaku dibandingkan dengan perjuangan untuk eksistensi ‘yang menentukan nasibnya sendiri’; daripada kelaparan lebih baik menjarah atau rusuh antara kelompok masyarakat. Meskipun begitu, perjuangan untuk kesehatan penting diberi jejak-jejak berbeda yang tidak memerhatikan hal-hal yang dituturkan oleh mereka, seakan-akan menunjukkan dirinya melawan krisis kesehatan. Dari variabel yang paling menonjol sebagai dampak dari krisis kesehatan adalah kelangsungan hidup, kematian dan pangan berada dalam ketumpang-tindihan antara mekanisme kuasa di satu pihak dan tanggungjawab yang tidak bersifat kaku, ketat dan mengikat dari berbagai kalangan di pihak lain. Kita lebih membicarakan bagaimana membangun solidaritas, tetapi diselingi dengan permainan politik di saat berlangsung pandemi, dibandingkan takdir umat manusia dalam cengkeraman bahaya dari dalam yang lebih sering muncul dan lenyap di hadapan kita. Mungkin, variabel kesehatan mengakhiri takdirnya.

Telah diungkapkan sebelumnya, ada suatu hal yang lebih awal dipenuhi sebagai bagian dari strategi perjuangan untuk kesehatan, diantaranya menjaga jarak, mencuci tangan, beraktivitas di rumah, isolasi mandiri, dan sebagainya sesuai protokol kesehatan. Tetapi, kita juga menghadapi peristiwa lain begitu ironis, jika petugas medis saja tidak terjangkau alat perlindungan diri seperti masker, lalu bagaimana dengan orang-orang yang bukan petugas medis.  

 Karena itu, paling tidak untuk sekian kalinya ikatan masyarakat global secara sukarela akan mengorbankan dirinya tidak sekedar bermain dalam tanda masa depan penyakit tanpa tergantung pada kekebalan, jumlah dan kualitas penduduknya, tetapi setiap anggotan keluarga atau individu dan kelompok masyarakat memiliki tanggungjawab besar untuk membebaskan diri mereka dari krisis kesehatan. Kita tidak berubah pada tesis-tesis yang rawan, seperti berbagai pemerintahan negara dan masyarakat yang kelimpungan berharap terjadi keajaiban dan menanti dukungan dari pihak lain untuk memerangi pandemi. Adakalanya mereka melupakan sejenak nasib jutaan orang yang berdampak pandemi, yang menceritakan uraian yang lebih rinci keluh-kesah di hadapan petugas atau relawan kesehatan profesional negara atau institusi lainnya. Mengapa mereka ingin terlibat dalam perjuangan untuk kesehatan? Pemahaman meningkat dari kalangan analis, dokter, paramedis, petugas kesehatan, dan relawan menyediakan berbagai pertanyaan mengenai kemana pandemi berawal dan kapan berakhirnya. Bukan berarti pemahaman mereka yang terbuka seiring dengan kepedulian orang-orang awam di bawah mekanisme kontrol yang tersembunyi, karena setiap orang memiliki mekanisme sendiri yang tersembunyi, rahasia dan berbeda dengan intitusi resmi. Masa kebangkitan perjuangan untuk kesehatan terhimpit antara kepentingan ekonomi atau politik dan ‘masa depan bernama penyakit mematikan’. Kini, kebangkitan perjuangan itu masih membuka pintu bagi beroperasinya dari satu permainan ke permainan lainnya. Bukankah krisis corona dihubungkan dengan kegagalan atau ramalan tentang keruntuhan kapitalisme? Peralatan dan perlengkapan medis pun diperebutkan sebagai barang-barang menarik di pasar, yang disulap menjadi bagian dari sarana-sarana produksi kapitalis. Kesepelehan penjelasan tentang permainan memberikan andil bagi pasang surutnya perjuangan untuk kesehatan. Mengapa demikian, karena krisis kesehatan sesuai dengan konsep atau cara kerja mesin permainan. Sekedar contoh kecil, diskursus kesehatan menciptakan mesin permainan dengan apa yang disebut imunitas, obat atau virus dan vaksin anti virusnya menjadi bagian model komodifikasi yang dipertontonkan. Seluruh bentuk perjuangan untuk kesehatan diuji melalui mesin permainannya, karena perjuangan secara automatisnya sendiri perlu mendapat dukungan perjuangan politik agar ia menyesuaikan cekikan atau himpitan berbagai kepentingan.   

Seberapa lama tujuan dari eksistensi kolektif perjuangan untuk kesehatan tercapai; ia harus sejalan dengan permainan, termasuk berapa besar kontribusi pada kesehatan yang dimainkannya tergantung pada kekuatan emansipatorisnya dalam mengubah masa depan penyakit menjadi obat ampuh bagi pengulangan kesalahan sejarah wabah. Pada abad keduapuluh satu, kerangka konsep teoritis tentang perjuangan untuk kesehatan (the struggle for health) ditulis oleh Amit Sengupta, Chiari Bodini dan Sebastian Franco. Mereka telah menceritakan jejak dan pinggiran berawal dari pertemuan di musim gugur yang berlangsung dua tahun sebelumnya. Pertemuan tersebut dihadiri oleh puluhan aktivis, peneliti dan kalangan profesional bidang kesehatan dari representasi Eropa, Amerika Latin, Amerika Utara, Afrika, dan Asia. Usaha nyata yang nampak mengirinya dimulai dari diskusi dan debat intensif hingga akhirnya tidak terelakkan, dimana suara perjuangan untuk kesehatan adalah bagian paling penting dari perjuangan politik. Menyangkut kehidupan manusia dan materi, muncul pula berbagai kampanye sistematis, yang menjelaskan tentang definisi sistem kesehatan dipercaya sebagai jalinan relasi antara skenario perjuangan dan keseimbangan kuasa dalam masyarakat. Jalinan relasi keduanya diharapkan dapat mengubah perilaku hidup ditandai dengan terjaganya kebersihan dan kesehatan yang terpadu. Orang dewasa dan anak-anak tertahan tawa-riang gembiranya, lantaran orang-orang harus mengetahui sepak terjang krisis silih berganti dengan krisis kesehatan lainnya sebelum perjuangan untuk kesehatan mengambil banyak langkah ke samping kiri. Negara harus mengetahui untuk mencegah penularan virus penyakit, bukan pada penanganan krisis kesehatan yang hanya mendapatkan pengakuan dari pihak luar. Krisis menjadi pertaruhan kontitusional negara, yang terjalin pada pertaruhan diskursus intelektual dan analisis genetikal atas tatanan kesehatan telah turut memberikan andil bagi kehidupan kita.

Begitu pula halnya dengan pergerakan dokter, kelompok profesional kesehatan, organisasi masyarakat sipil, aktivis sosial dan politik sebagai bagian dari tanggungjawab intelektual mereka untuk meyakinkan pada buruh, petani, pedagang, pasien, siswa atau mahasiswa, guru atau dosen, dan serikat pekerja mengenai faedah kesehatan. Dokter dan tenaga kesehatan menjelaskan betapa pentingnya gizi, vitamin dan kesehatan lingkungan yang dialamatkan pada pimpinan satuan kerja  atau kepala sekolah dan para guru hingga kehidupan kolektif dan individual. Para guru mendidik murid-muridnya tentang pemeliharaan kesehatan sejak dini yang diharapkan menjadi kebiasaan atau prilaku hidup sehari-hari, membimbing mereka melalui anjuran atau buku yang memuat pendidikan medis. Secara perlahan-lahan, lingkungan sekitar dan keluarga terlatih membuat anak didik berkembang suasana tersendiri, dimana mereka diupayakan mengingat nasihat dan ajaran tentang kesehatan, sambil menyusun pengamatan dan cara menghadapi kasus klinis atau wabah penyakit maupun menumbuhkan semangat solidaritas kemanusiaan diantara mereka. 

Banyak hal yang menjadi perhatian kita menyangkut berbagai ancaman bahaya kesehatan, membawa konsekuensi dari perubahan iklim dan konsekuensi kesenjangan sosial, ekonomi dan politik akan berdampak yang sangat besar pada kesehatan masyarakat (seperti akses air minum, ketahanan pangan, kerusakan eksosistem atau degradasi lingkungan, membludaknya perpindahan penduduk dan dampaknya terhadap sistem sosial, dan sebagainya). Teknologi baru menciptakan jejaring baru memiliki potensi untuk meningkatkan kondisi kehidupan yang efektif, nyaman dan cepat memasuki produksi kesehatan masyarakat. Di depan buruh, petani atau orang-orang awam, teknologi dicipatakan oleh mesin hegemoni global dan pemanfaatannya yang tidak tepat ditandai dengan dampak buruk pada tatanan kehidupan atau terkait praktik perawatan kesehatan.

Pengendalian dan pencegahan krisis kesehatan global yang demikian itu diperingatkan oleh para ahli epidemiologi merujuk pada ledakan pandemi. Perjalanan waktu tidak akan mundur, kita kita berada di pusaran badai. Anak-anak bumi yang lugu bukan sekedar obyek yang pingsan dan bisu, melainkan juga mereka diperkenalkan teknik cepat tanggap dalam upaya pencegahan dan pengurangan jumlah kasus parah dan tingkat kematian akibat pandemi corona. Kedatangan krisis corona yang tidak diharapkan betul-betul telah mengungkapkan titik kerapuhan dan kemunduran sistem pelayanan kesehatan. Pandemi itulah yang dikambing-hitamkan, yang mempercepat dan memperburuk keadaan yang tidak masuk akal, bukan menyalahkan manusia itu sendiri.

Keliru jika dikatakan pandemi menjadi sumber kemerosotan kehidupan dan krisis kesehatan yang berdampak pada bidang kehidupan lainnya. Kita mungkin masih ongkang-ongkang kaki di rumah, sementara petugas rumah sakit pada pukul dua puluh tidak mampu tidur nyenyak, karena mereka harus dalam keadaaan terjaga. Mereka pula tidak harus menunggu gelombang dukungan keras untuk perjuangan untuk kesehatan umat manusia, jika di luar rumah sakit atau di wilayah permukiman masih banyak orang tidak mematuhi protokol kesehatan. Bukan permasalahan tugas atau tanggungjawab mereka di garis terdepan, melainkan bagaimana orang-orang tidak kikuk dan waswas sembari mereka menyapa kita dari jauh. Di Gaza dan mungkin di tempat lain yang parah kasusnya begitu tidak mudah mengucapkan kata-kata. “Halo dunia! Bagaimana kabar Anda di bawah lockdown? Salam dari Gaza!” Begitulah keadaan yang ditulis oleh Ute Beuck (2020). Dia menggambarkan keadaan krisis corona di sana. “Jalur Gaza sering disebut sebagai penjara udara terbuka terbesar di dunia. Mayoritas orang berusia di bawah dua puluh lima tahun yang tinggal di sana tidak pernah meninggal tempat. Mengingat situasi saat ini, fakta bahwa isolasi dipandang sebagai keuntungan dalam beberapa minggu pertama dari wabah adalah ironi nasib”. Mereka ada karena kemampuannya untuk menuturkan gejolak batinnya. Dapat disebutkan di sini, rangkaian pengangguran, lebih dari setengah penduduk di bawah garis kemiskinan, ketidaklayakan air minum, dan ketersediaan listrik hanya beberapa jam sehari yang mendera kehidupan mereka.

Pada permasalahan umum yang dihadapi oleh negara-negara yang berdampak krisis corona, yaitu buruknya ‘sistem kesehatan’. Satu contoh lagi, Ute Beuck telah menuliskan permasalahan kesehatan yang dihadapi Gaza dan menceritakan bagaimana krisis yang terangkum dalam hal: (i) Pelayanan kesehatan yang tidak memadai; (ii) Desinfektan atau makanan?; (iii) Hidup melalui pandemi saat berada di bawah pendudukan. Sudah tentu, lebih dua ratus negara yang berdampak krisis corona menghadapi permasalahan kompleks, tetapi jika diuraikan lebih rinci tidak persis sama antara satu dengan lainnya.

Referensi:

  1. Heidegger, Martin,  Being and Time,  Harper and Row, Publishers, Inc., New York, 1962
  2. Deleuze, Gilles, Desert Islands and Other Texts 1953-1974, Semiotext(e), Los Angeles-New York, 2004
  3. https://www.rosalux.de/en/news/id/41906/the-ideological-struggle-over-Corona?
  4. https://www.rosalux.de/en/news/id/41930/lex-Corona-in-bulgaria?
  5. http://www.rosalux.eu/en/article/1228.the-struggle-for-health.html?
  6. https://www.rosalux.de/en/news/id/41929/we-need-a-global-struggle-for-health?
  7. https://www.rosalux.de/en/news/id/41912/despite-a-looming-health-catastrophe-gaza-remains-isolated-in-times-of-coronavirus?
  8. https://economictimes.indiatimes.com/news/international/world-news/covid-19-pandemic-most-challenging-crisis-since-second-world-war-un-chief/articleshow/74923642.cms
  9. https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply