Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Peta Narasi IMM Masa Depan

×

Peta Narasi IMM Masa Depan

Share this article

Oleh: Daeng Lalang (Pengamat Pendidikan)

KHITTAH. CO – IMM kini telah memasuki usia enam dekade lebih sebagai sebuah organisasi lintas generasi yang telah melewati tujuh rezim kepemimpinan berbeda di republik ini. Tentu berdirinya IMM sejak awal sarat akan keberpihakan terhadap kaum mustad’afin (termarjinalkan). Hal itu tergambar dari simbol merahnya IMM sebagai bentuk dukungan kepada rakyat kecil, sekaligus upaya merebut hegemoni simbol merah yang dipakai oleh PKI dan CGMI kala itu.

Akan tetapi, salah satu tantangan bagi organisasi kemahasiswaan yang telah lama berdiri adalah kegagapan menghadapi arus perubahan zaman di era modern ini. Kekhawatiran tersebut bisa kita bandingkan dari perbedaan orientasi gerakan IMM dahulu dengan masa sekarang, khususnya corak gerakan populis yang dipakainya. Sulit rasanya membedakan pola kerja IMM dengan partai politik. Kita terlalu sering mendengar gaungan tagline kolaborasi IMM bersama TNI/Polri dan instansi pemerintah lainnya di tengah-tengah merosotnya kepercayaan publik terhadap instansi tersebut, lebih memperkukuh lagi kecurigaan kita.

Kritik-kritik Konstruktif

Sukidi telah mengingatkan kita bahwa “Organisasi-organisasi kemasyarakatan saat ini sedang dibelenggu oleh oligarki dengan suapan jabatan dan bantuan pendanaan”. Hal ini bisa dilihat secara kasat mata dengan banyaknya pentolan kader Muhammadiyah yang mendapatkan posisi strategis di kabinet Prabowo-Gibran. Meskipun masih menjadi perdebatan apakah mereka dipilih karena jalur deal-deal politik atau real kompetensi personal.

Godaan-godaan ini kemudian menjadi tantangan nyata dalam menguji konsistensi keberpihakan IMM kepada kaum yang lemah. Jangan sampai IMM yang dulunya menentang perbedaan kelas sekarang membuat kelas baru yang hanya mementingkan golongannya sendiri dan merasa superior. Serta ogah-ogahan dan pilih-pilih dalam meneriakkan problem-problem kerakyatan. Fenomena ini serupa dengan kritik Kuntowijoyo yang ia sebut sebagai “Muslim tanpa masjid”, di mana IMM hanya menjelma menjadi gerakan budaya tanpa kebudayaan yang terasing dari kehidupan akar rumput. Tentunya, kita tidak mengharapkan hal itu terjadi apatah lagi jargon intelektualitas, religiusitas, dan humanitas telah mengakar dalam di tiap-tiap benak para kader.

Cita IMM selayaknya haruslah sejalan dengan kerja-kerja liberatif (pembebasan) yang dilakukannya sehingga ke depan IMM dapat dinilai sebagai gerakan “Khoiru Ummah” yang tanpa “tedeng aling-aling” dalam bersikap. Tentunya pemaknaan ini ditandai dengan sejauh mana kapasitas keilmuan kader-kader IMM. Usaha-usaha peningkatan knowledge ini ibarat menanam pohon jati yang memakan waktu cukup lama, berpuluh-puluh tahun dan bahkan membutuhkan waktu satu generasi atau lebih demi hasil yang paripurna.

Berbeda dengan usaha-usaha yang bersifat politis belaka yang kerjanya nebeng sini, nebeng sana. Ibarat pohon, ia seperti pohon pisang yang cepat berbuah dan tumbuh, tetapi setelah itu ia akan mati dan diganti oleh pohon pisang yang baru.

Menimbang Mudharat Politik Kedinian

Desain kader bangsa IMM yang berjibaku dalam ranah politik praktis idealnya harus diberikan limit dengan membuat konsep penjaringan yang jelas. Kita sudah terlalu sering melihat sengketa-sengketa di musyawarah pimpinan IMM mulai dari skala pimpinan komisariat sampai pimpinan pusat yang tak terselesaikan. Terlebih keterlibatan pimpinan-pimpinan IMM secara terang-terangan dalam memenangkan pemilu dan pilkada serentak yang telah lalu. Hal itu makin menegaskan nafsu kekuasaan pimpinan-pimpinan organisasi ini yang sulit terkontrol. Tentu ini bukanlah larangan untuk membatasi mereka berkontestasi dalam ajang politik praktis. Tetapi, bisakah kita menjamin tak terwarnai ketika masuk di dalam lingkaran oligarki?

Dan sejauh manakah usaha-usaha penempaan diri yang telah kita lakukan sebagai modal “Self-resilience” (ketahanan diri) agar tak tergiur gelimang materi. Kita bukannya menolak kerja-kerja politik, bukankah konsep di dalam pengaderan madya telah menuntut terciptanya kader umara. Tapi sebelum melangkah lebih jauh, pernah kita menakar ke dalam diri sendiri sudah siapkah bekal kepemimpinan yang kita bawa masuk ke dalam ring kekuasaan ini. Di mana penyelesaiannya tak lagi berbicara baik-buruk melainkan untung-rugi semata.

Problem bangsa sekarang ini sejatinya bukan lagi perdebatan antara perbedaan paham ideologi. Kita harus mengakui bahwa masalah sesungguhnya adalah buruknya karakter sumber daya manusia yang kita miliki. Para pejabat di negeri ini tanpa malu melakukan  KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dengan para oligarki. Mereka saling berkelindan satu sama lain, bahu membahu membangun suatu sistem penghisapan terhadap rakyat sendiri.

Di era modern ini budaya suap-menyuap menjadi sebuah kebenaran umum yang tak malu untuk dipertontonkan di khalayak ramai. Era ini disebut oleh Steve Tesich sebagai era post-truth  (pasca kebenaran), suatu kondisi di mana kebohongan dapat menyamar sebagai sebuah kebenaran. Rendahnya literasi masyarakat makin memperparah dampak yang diakibatkan oleh fenomena tersebut. Opini publik pun makin mudah digiring sehingga semakin buta dalam melihat realitas sosialnya.

Pembaharuan Peta Narasi IMM

Kaum intelektual sejatinya harus berdiri di garda terdepan sebagai muazin peradaban dan memberikan pencerahan tentang problem yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Hal ini hanya bisa terwujud dengan jalan pencerdasan. Sehingga perlu peta narasi yang jelas untuk mewujudkan cita-cita mulia ini. Modal besar IMM sebagai kapal peradaban sesungguhnya telah lama terbangun.

Salah satu upaya yang dilakukan IMM adalah pembentukan Bidang Pendidikan Bahasa dan Pengembangan Akademik pada Muktamar IMM di Kendari. Fokus dari bidang ini yakni melaksanakan pelatihan peningkatan skill bahasa asing, kemudian dilanjutkan dengan persiapan diaspora keilmuan melalui jalur beasiswa di dalam dan luar negeri.

Pencanangan program ini sejatinya merupakan hasil observasi dari keadaan kader IMM secara menyeluruh di setiap daerah. Mayoritas aktivis IMM memang jago dalam berargumentasi perihal dinamika sosial tetapi mereka lemah dalam penguasaan ilmu alat terutama penguasaan bahasa asing dan kepenulisan ilmiah. Maka dengan adanya program ini dapat membantu kader-kader IMM survive di kanca nasional maupun internasional.

Perlu kita sadari secara kolektif bahwa tantangan zaman sekarang akan sangat berbeda dengan tantangan zaman di masa depan. Banyak contoh organisasi besar yang punah akibat tidak bisa menyesuaikan dengan nafas perubahan zamannya. Siapa yang menyangka organisasi sebesar Sarekat Islam dapat hilang dari kanca percaturan nasional karena terlalu terfokus mengurus perkara politik. Hal ini tentu tak ingin kita ulang di dalam tubuh  IMM, cukuplah sejarah tersebut menjadi sebuah pelajaran. Sehingga di masa mendatang, kita bersama-sama melakukan pembaharuan dalam merawat kapal peradaban IMM yang telah mulai usang di usianya yang ke 61 tahun, agar dapat tetap eksis berlayar di tengah derasnya gelombang persoalan bangsa.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply