Oleh: Ermansyah R. Hindi*)
*) ASN Bappeda/Sekretaris PD Muhammadiyah Kabupaten Jeneponto
Poligami mencuat kembali ke permukaan disaat Pemerintah Provinsi Aceh mencoba melegalkan melalui tahapan dan proses penyusunan Rancangan Qanun Hukum Keluarga sementara digodok oleh Komisi VII DPRA dan rencana pengesahannya menjadi qanun pada September nanti, seperti dilansir oleh Tribunnews dan Serambinews, 6 Juli 2019.
Sampai saat ini, sesuai rencana pihak Komisi VII telah melakukan proses konsultasi rancangan qanun di Kementerian Agama dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Pihak Pemerintah Provinsi Aceh yang mengusulkan Rancangan Qanun Hukum Keluarga sambil mempelajari secara seksama rancangan tersebut yang dinilai peraturan yang termuat didalamnya dapat dijalankan menurut syariat Islam di Aceh.
Informasi yang diperoleh, bahwa dalam tahapan dan proses penyusunan Rancangan Qanun Hukum Keluarga memuat diantaranya perihal perkawinan, perceraian, harta warisan, dan poligami. Penting digarisbawahi adalah ketentuan didalamnya menyentuh poligami, karena ia menyangkut kelangsungan hidup rumah tangga seseorang, ayah, ibu dan anaknya. Ditambah lagi, begitu sensitif bagi kaum perempuan yang ditinjau secara psikologis akan keberatan dan bahkan melakukan penolakan terhadap peraturan tentang penerapan poligami yang dapat saja mengganggu eksistensinya.
Diakui atau tidak dari sebagian kalangan memandang, bahwa rencana pemberlakuan poligami di wilayah Aceh nampak bercampur aduk-aduk antara tuntutan penolakan dan hasrat berpoligami bergema, baik terang-terangan maupun tersembunyi hampir di setiap penjuru negeri.
Tentu saja secara manusiawi, pemenuhan biologis terhadap lawan jenis merupakan kenormalan yang tidak tertangguhkan. Namun demikian, pokok permasalahan poligami apalagi dalam tradisi ketimuran tidak dinyatakan wajar. Sedangkan, mengenai peraturan tentang penerapan poligami ternyata bukan tanpa syarat apa-apa, seperti ketentuan surat izin yang dikeluarkan oleh hakim Mahkamah Syariah. Menurut persfektif hukum agama, surat izin menjadi sesuatu yang tidak diperlukan. Hal yang menarik, dimana relasi antara poligami dan kuasa menunjukkan betapa pentingnya legitimasi secara institusional atas penerapan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Diskursus tentang yurisprodensi akan menyentuh hal-hal yang bersifat pribadi, sekalipun begitu secara manusiawi tidak serta merta disentuh kuasa negara terhadap hukum legal daerah setempat. Kuasa administratif juga berlaku pada penerapan poligami dengan strategi untuk mengendalikan, membatasi dan menormalisasi kehidupan keluarga dan sosial dengan memerhatikan kondisi umum dan keadaan alami di daerah. Waktu akan berbicara atas proses legalisasi atas poligami, dimana kecenderungan masyarakat terlokalisir akibat hasrat untuk memenuhi tuntutan rohani sekaligus jasmani yang bersifat alami dan tidak terpuaskan. Sebagaimana konsep tentang kebutuhan akan selalu melampaui produk atau obyek konsumsi. Pemenuhan atas hasrat seksual tidak perlu dinafikan dan penolakan terhadap penerapan poligami semata-mata karena alasan dorongan itu juga tidak perlu kita menutup padanya. Belum lagi kita berpicara penyimpangan seks. Memuliakan seksualitas hingga derajat setinggi-tingginya terutama melalui lembaga perkawinan yang sah tidak harus setiap orang beralasan hanya karena memiliki efek samping bagi kehidupan rumah tangga termasuk bagi setiap orang yang masih mengalami pra nikah. Boleh jadi, kegembiraan bagi orang secara subyektif, penderitaan bagi yang lainnya. Tidak berarti, ada jaminan dari ‘proses poligamisasi yang terlegitimasi’ melalui produk hukum lokal dengan cepat untuk mengantisipasi tantangan dan menyelesaikan setiap permasalahan dalam kehidupan rumah tangga secara khusus dan dalam kehidupan secara umum.
Kita mengetahui, bahwa tuntutan atas hidup dan kehidupan diwarnai kenikmatan dan penderitaan, kekayaan dan kemiskinan, kebahagian dan kesengsaraan silih berganti meninggalkan kesan atau ingatan yang tidak terlupakan. Semuanya itu berbeda dengan logika hukum mengenai penerapan poligami dalam masyarakat. Kehidupan kadangkala diperlukan permasalahan kontroversial. Sementara, poligami dengan perumusan konsep tentangnya hingga sekarang belum diketahui dimana ujung pangkalnya. Sebagian besar orang masih mengingat, hidup dan kehidupan ini keras, dinamis dan penuh tantangan yang membuat akan diuji sejauh mana kita dapat bertahan, berjuang atau melarikan diri bahkan menyesali dan mengutuk kehidupan hanya karena bernasib malang pada dirinya.
Pengendalian dan pembatasan hukum poligami membuat setiap orang perlu berpikir ulang. Sebagaimana pengakuan aparat pemerintah melibatkan kategorisasi seperti sehat jasmani dan rohani maupun secara ekonomi. Penyesuaian salah pasangan suami istri itu bergantung pada pembatasan jumlah pasangan, diantaranya beristeri hingga empat. Satu hal perlu mendapat perhatian terhadap keadilan hukum tentang poligami, bahwa apapun konsep dan bentuknya tidak menyeret nilai dan penerapannya yang berlaku hanya pada wilayah tertentu. Anehnya, ada dua kondisi (i) hasrat berpoligami bersifat mikrokosmik, yaitu kecenderungan normal dan aktual dari salah satunya, antara pria dan wanita untuk memiliki perasaan saling menyayangi menuju ikatan pernikahan sebagai bagian dari nilai universal yang partikular (bersifat lokal, pribadi tetapi berlaku secara umum yang menyertakan dorongan hasrat); dan (ii) meskipun nilai kemanusiaan akan kasih sayang dan kecintaan yang abstrak sebagai nilai universal, tetapi nilai-nilai tersebut tidak dapat direpresi apalagi diabsolutkan menjadi ketentuan umum dan berlaku bagi setiap individu dan setiap masyarakat, sekalipun secara normal setiap orang memiliki kecenderungan dan potensi ke arah sana. Untungnya, pra deklarasi poligami masih bersifat lokal. Jadi, hasrat universal sebagai nilai yang dipenuhi melalui kasih sayang sesama manusia akan solid jika dipenuhi juga secara partikular (khusus). Kata lain, biarlah poligami menjadi potensi setiap pria dalam wilayah (lokal) masing-masing, tetapi tidak mudah dipaksakan nilai dan penerapannya di tingkat yang lebih luas dan besar cakupannya (universal). Kita perlu mengakui, poligami merupakan bagian dari perjuangan simbolik tanpa dominasi kelas, hirarki, dan sistem relasi lainnya (seperti maskulin-feminim, pria-wanita, perjaka-perawan, negara-rakyat). Pada tingkat atas, dari sisi kepemerintahan menciptakan rezim tanda hasrat untuk berkuasa pada pasangan lebih dari satu perlu memberikan teladan dan latihan sosial terhadap tingkat dibawahnya melalui pendidikan seks yang terspiritualkan, bukan aba-abu atau hanya selingan permainan boneka mainan belaka. Dalam perjuangan simbolik dan sosial bertugas untuk membebaskan diri kita dari cinta bernafsu nan gelap dan basah-basah. Ataukah mungkin dimulai dari basa-basi belaka? Saya kira demikian tidak relevan lagi untuk membicarakannya. Ada kemungkinan permasalahan lebih serius bin krusial selain permasalahan poligami.
Pada kenyataannya, terdapat alasan pembenaran atas kejadian yang menimpa bagi sebagian orang yang berlindung dari bahaya perzinaan senyap, kejahatan seks yang tidak diketahui orang lain atau karena alasan banyaknya praktek pernikahan siri, katakanlah dari pria Muslim. Legal secara syariah, ilegal secara hukum-administratif negara. Tidak ada yang sebenarnya siapa yang salah dan siapa benar. Sudah terlihat tekanan dan motif dibalik suara riuh rendah mengenai poligami di tengah-tengah masyarakat. Sekali lagi, biarlah waktu akan berbicara. Tidak mengherankan, permasalahan kontroversial tentang poligami menuai protes dan sebagian yang lain berharap mendukungnya. Yang menarik, penolakan dan penerimaan poligami tidak mengenal seks (jenis kelamin). Ada kaum pria yang menolaknya dan ada juga kaum wanita yang menerima bahkan mendukungnya.
Jadi, sesungguhnya bukan pokok permasalahan dominasi maskulinitas dan adanya pemujaan terhadap pria dari wanita, sebaliknya dari pria ke wanita dalam masyarakat. Bukan pula keterlibatan antara hasrat murni dan seksual, antara nilai universal dan lokal akan kasih sayang sesama manusia tanpa batas-batas geografis dan sosial-etnis tertentu. Mungkin juga, bukan permasalahan legal atau ilegalnya poligami. Dalam keseharian, kita berinteraksi dengan lingkungan masyarakat. Jangankan orang lain yang berucap, sesama sejawat atau teman-teman di lingkungan kita masing-masing kadangkala terjadi perbincangan diselingi dengan guyonan seputar pasangan, baik orang-orang yang telah berumah tangga maupun yang belum menjalaninya. Bagi seseorang yang telah berumah tangga dengan mimik yang tidak jarang serius mengatakan, “Anda berani tidak nombok bini”. Terus, teman yang satu menimpalinya, “bukan soal berani atau tidak, melainkan kesanggupan untuk menerima risiko, apapun yang terjadi, cerai atau anak-anak terlantar atau berantakan”. Terus, lantas kita menyalahkan keadaan. Kita tidak akan mengakhiri perbincangan sebelum semuanya berubah begitu cepat dan berakibat fatal. Perbincangan akan berkembang hingga akhirnya kita tidak memperbincangkan lagi hal-hal keremeh-temehan dari kerumah-tanggahan yang tidak mengenal jenis masyarakat primitif atau modern. Karena itu, hasrat atau fantasi akan berpoligami merupakan sesuatu yang alami. Ia melintasi zaman pengetahuan tentang seksualitas dan relasi-relasi yang memproduksi di belakang kelahiran dan perkembangangan melalui kuasa dan pengetahuan tentangnya.
Mungkin, suatu hal yang cukup menggelikan karena perlu kesiapan mental, dimana rancangan ketentuan dari produk hukum lokal mengenai poligami adalah kesiapan dari salah satunya harus diceraikan. Perceraian atau mendapat izin (dalam bisikan hati orang tidak pernah rela dimadu dengan wanita lain, sebaliknya pria juga begitu) berdasarkan syarat hukum yang berlaku, kecuali sangat darurat terutama jika kedua bela pihak tidak saling menyayangi. Nah, syarat bahkan lebih pokok adalah syarat atau prinsip keadilan ditunaikan dalam berpoligami. Kita membayangkan, jangankan dalam poligami, di luar poligami pun dituntut untuk memenuhi rasa keadilan dalam pergaulan maupun sisi lain dari kehidupan yang memerlukan bantuan atau pendekatan hukum.
Tidak main-main perkara ini, ada seseorang yang menafsirkan poligami merupakan bentuk keadilan sesama tatkala dilihat dari sudut pandang terhadap perbandingan jumlah penduduk wanita lebih banyak ketimbang jumlah penduduk pria. Ada sebagian yang lain masih tetap menjadikan alasan untuk menghindari penyimpangan seks dan yang lain lagi dan hal ini menjadi suatu pemicu dari pembenarannya hingga sekarang tidak dimengerti khususnya dari pihak wanita, yaitu keinginan untuk menambah lebih dari satu. Lagi-lagi di pikiran kita masih second class membayang-membayangi kaum wanita di tengah arus permasalahan tindak kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan anak-anak, kejadian gizi buruk anak dan seterunya.
Tidak keliru, relasi antara poligami dan kuasa mendekati hal-hal yang belum terjadi, suatu rangkaian kebijakan pemihakan pada sesama warga negara meliputi pemenuhan hak-hak atas pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, politik, dan hukum. Sepanjang ini, keadilan belum final sama dengan nilai demokrasi belum final yang memerlukan proses perubahan terus-menerus.
Sambil berjalan proses dan tahapan penyusunan rancangan Qanun Hukum Keluarga nampaknya masih diselimuti sebagian pihak dalam melihat penerapan hukum poligami secara pesimis jika tidak dikatakan belum ada kesiapan menghadapinya. “Singkapkanlah suara nurani Anda dan Saya menyaksikannya; “Kenikmatan ada dalam ketidaknikmatan akan poligami”. Permusywaratan sedikit memberi ruang untuk berbicara secara lunak. Wakil rakyat di DPRA dan wakil ulama di Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh angkat bicara. Semua dapat solid, setiap sesuatu ada kecenderungan dari desensus (tidak ada kesepakatan bersama). Politik harapan mengatur jarak dari orang-orang yang selama ini berpandangan keras untuk menolak poligami apapun konsep dan bentuknya serta pihak yang mengagung-agungkan kebanggaan seksual dan sosial atas yang lainnya.
Keadilan milik semua orang, kecuali poligami. Kita mesti berbicara separuh dari peristiwa yang tidak seluruhnya kita terlibat di dalamnya. Disinilah pentingnya saling berlapang dada untuk menerima pengetahuan dan sejarah kita sendiri. Pengetahuan akan seksualitas mungkin suatu saat tidak nampak tabu lagi dan di sebagian zaman ada orang yang berani mengeksploitasi nilai kebenaran dari poligami atas nama ketidaktabuannya dalam perbincanga dan tindakannya. Bahaya dari kekhilafan diri lebih dapat dimaafkan dibanding mengulang-ulang tindakan yang mengarah keteledoran akut sebagai rujukan dalam mengarungi bahtera rumaha tangga dan kehidupan lainnya yang lebih menantang.
Menurut Don Zakiyamani (2019) mengutip data dari simfoni KPPPA menunjukkan jumlah 400 lebih kasus KDRT sepanjang tahun 2018. Selanjutnya, per April 2019 telah terjadi kasus KDRT sebanyak 95 kasus kekerasan rumah tangga telah terjadi di Aceh. Suami tidak berlaku adil atau pernikahan siri dapat dijadikan pernyataan bahwa selama ini tidak lebih dari suatu untaian frasa atau ungkapan yang menyembunyikan kejadiaan sesungguhnya, yaitu kasus kekerasan (setidak-tidaknya kekerasan fisik, psikologis dan seksual belum teridentifikasi). Belum lagi kasus lain yang belum tertangani dengan baik, seperti kasus Stunting yang berdasarkan informasi meletakkan Aceh pada urutan ketiga secara nasional. Di mata ulama berpandangan, prinsip keadilan terutama bagi pria, jika suami tinggal di bersama istri pertama dalam kurun waktu 24 jam, maka suami juga harus tinggal di bersama istri kedua selama 24 jam memiliki kecenderungan kontraktual dengan mengelola dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk menyenangkan hati istri. Hal ini sama sekali tidak terjadi perbincangan mengenai data atau fakta yang ada di luar jangkauan dari prinsip keadilan. Mengapa sambil serius menangani poligami secara moderat juga merelakan dirinya dari semua pihak berkepentingan untuk membahas dan menerapkan pemenuhan hak-hak masyarakat pada tingkatan mikro, seperti hak-hak anak laki-laki dan perempuan serta istri sebagai perempuan dewasa. Dari data dan informasi tersebut di atas menunjukkan suatu gambaran bagaimana indikator cakupan pelayanan atas tindak kekerasan terhadap perempuan perlu perhatian serius dari pemerintah.
Berhubung karena terbatasnya kesempatan untuk menguraikan panjang lebar, maka secara singkat perbincangkan secara filosofis tentang keterkaitan tubuh. Bagaimanapun juga yang pada akhirnya kita akan kembali pada akhir dari pertanyaan filosofis tentang poligami dan tubuh di sekitar kita.
Budaya patriarki dalam praktek poligami berjalan secara alami, tetapi berselang hari berikutnya di Aceh negeri Serambi Makkah, tubuh-tubuh bergayutan dalam kebangkitan kembali kehidupan yang merasuki orang-orang yang terbebani akibat hak-haknya tidak sepenuhnya tertangani, justeru mengambil jarak yang jauh dari akar-akar permasalahan. Semuanya itu, kita perlu sejenak poligami mengaitkan dirinya dengan tubuh dan irama yang mengiringinya seperti musik.
Poligami sayang sekali sengaja digembar-gemborkan tanpa melalui kekuatan yang lain, kecuali tubuh. Adakah tubuh dimana seseorang bisa tidak berbicara omong kosong, beradaptasi, berevolusi, dan berkemajuan tanpa olehnya? Siapa yang berkuasa melalui tubuh? Siapa yang ingin mematuhi melalui tubuh? Keduanya adalah beban yang terlalu berat. Siapa berpoligami dan berkuasa tanpa tubuh? Semuanya tidak lagi menginginkan halaman yang sama sekaligus memperebutkan lahan yang sama. Semuanya untuk utang dan keagungan pada tubuh. Apa yang menjadikan tubuh lebih unggul terhadap seluruh titik koordinat, khususnya koordinat dari ego atau pikiran disebut sebagai kesadaran, adalah aktivitas dari arus-arus tidak sadar.
Fenomena tubuh dalam teks Deleuzian, dari sudut pandang intelektual lebih unggul dibandingkan dengan kesadaran kita, dibandingkan dengan semangat kita, dibandingkan cara berpikir kita, gagasan, merasakan, dan berkehendak. Seperti indera penciuman alias hidung lebih unggul dibandingkan telinga pendengaran kita atau dibandingkan aljabar dengan tabel perkalian. Kita Arus-arus yang tenang di atas permukaan dan deras di atas permukaan seperti aliran darah segar dalam tubuh membentuk diri dan mendefinisikan diri sebagai sebagai sesuatu yang lebih unggul dan menakjubkan atau menggoda. Segala sesuatu yang membujuk adalah tubuh; ia telah berada dalam metamorfosis, bertukar, dan berubah sekarang.
Pada suatu waktu, ketakjuban, kerusakan, dan kuburan massa tanda dari tubuh. “Keberadaan yang paling jinak, kuat, teladan, dan terjajah segera menghilang”. Ia ada di dalam tubuh Anda, ia adalah tubuh Anda. Anehnya, zaman ini adalah zaman kelelahan, tetapi tubuh itu sendiri tidak dihinggapi kelinglungan, kecuali kekuatan di luar dirinya. “Kerah baju atau baju anda terbalik! Anda tidak linglung, tetapi pikiran anda yang tidak fokus”. Kelinglungan dari kaum terpelajar, keletihan dari kaum buruh tidak datang dari dunia yang bersifat mekanis atau otomatis, melainkan dari orang-orang yang tidak menikmati dan mengagumi tubuhnya. Perempuan atau kalangan ibu-ibu boleh dikatakan tidak pernah menganggur, setidak-tidaknya dari pekerjaan domestiknya (rumah tangga). Dapatkah hasrat untuk menentang dan menang tanpa tubuh?
Bayangan tubuhnya sendiri yang akan dipantulkan padanya. Kita dapat bayangkan, apabila hasrat, selera, pikiran, semangat, dan kenikmatan tanpa tubuh, meskipun tubuh belum mengalami metamorfosis (dari tubuh murni ke tubuh virtual). Apa-apa yang dapat kita lakukan jika tidak ada tubuh? Kita tidak mendefinisikannya dengan mengatakan, bahwa ia merupakan regulasi terhadap yang lain. Suatu media yang diperebutkan dengan berbagai jaringan kode yang memprogram dan mengendalikan kita setelah ia menjadi kekuatan yang plural (secara tradisional, tubuh = komoditas). Karena di sinilah memang tidak ada ‘media’, tidak ada daya pikat dan daya tolak ataupun perlawanan. Apa yang menentukan suatu tubuh adalah keterkaitan yang silang menyilang antara daya pikat dan daya tolak yang dikuasai dan menguasai.
Seluruh hubungan kekuatan membentuk tubuh lainnya (fisik, modal, seksual, sosial, virtual), baik secara kimiawi, biologis, ekonomi, sosial, atau politik. Jika terdapat dua kekuatan yang tidak sama memasuki hubungan seperti ini, maka akan terbentuk tubuh. Inilah mengapa teks Deleuzian, bahwa tubuh selalu merupakan buah kemungkinan, jauh lebih menakjubkan dibandingkan dengan kesadaran dan semangat. Dengan demikian, lahirnya tubuh yang hidup dan nyata bukanlah sesuatu yang mengejutkan karena semua tubuh adalah hidup dan nyata. Ia menjadi produser hasrat atau kekaguman pada sesuatu.
Dalam tubuh, kekuatan yang dominan atau yang menguasai atas lainnya disebut sebagai “pencipta”, sedangkan wujud yang dikuasai disebut sebagai “ciptaan”. Pencipta dan ciptaan merupakan kualitas-kualitas murni yang mengekspresikan hubungan tubuh dengan tubuh lainnya. Tubuh tidak dikaitkan lagi dengan busana, perhiasan, olahraga, santai dan bahasa, tetapi tubuh yang saling tertukar, terubah dan termolekuler dengan tubuh lainnya (tubuh sosial, modal, virtual, seksual). Keterkaitan dengan poligami yang dimainkan oleh keadaan yang mengendalikan ada atau tidak adanya peraturan melalui kuasa atas tubuh (Foucauldian) Aceh tidak mewakili tubuh yang memiliki keterkaitan dengan poligami sejauh daerah lain menghadapi kondisi, potensi dan permasalahan yang berbeda. Jika mengungkit dalam persfektif sejarah, Aceh sudah lama terpotong-potong akibat ketidakadilan dari pusat dan memiliki seni kehidupan khas melalui musik, bukan jenis musik modern yang mengalami penghapusan dan pembalikan (seperti qasidah, rebana sulit ditemukan dan hilang dalam musik elektrik-digital: elektron, drum, apalagi gitar). Sebaliknya, poligami bukanlah penemuan yang juga memiliki kemiripan sebagian unsur yang terlibat dari musik, yaitu sejenis jiwa yang berbicara keluar dari tubuhnya.
Akibat ketidakadilan dari jauh sebelumnya, Aceh begitu terlatih dengan cobaan dan tantangan modernitas. Jadi, bukan soal kelompok (grup band) musik yang sedang asyik memainkan dua tiga lagu, lalu dipaksa dihentikan oleh sekelompok massa, melainkan masih terdapat gejala-gejala kesenjangan sosial yang belum tertuntaskan ditandai angka kemiskinan, perilaku koruptif, permasalahan pelayanan kesehatan dan kekurangan gizi masyarakat. Sehingga hal-hal yang sebenarnya bisa diselesaikan tidak kunjung ada kabar gembira bagi masyarakat. Justeru hal-hal lainnya, sekalipun media hiburan tidak berarti dapat memecahkan permasalahannya. Disini, saya berbeda dengan yang lainnya, dimana tubuh sosial berkelinjang karena permasalahan yang satu tidak selesai muncul lagi aneka permasalahan lainnya.
Bahwa ada alasan kehadiran grup musik band karena tidak sesuai dengan syariat, itu alasan lain diantara kegiatan ‘Aceh Culinary Festival’ berselang waktu dengan proses penyusunan rancangan Qanun Hukum Keluarga, satu diantaranya memuat permasalahan poligami. Terdapat lagi gejala konservatisme pemahaman keagamaan yang memandang penonton festival harus dipisahkan antara laki-laki dan perempuan, akhirnya aksi massa untuk membubarkannya telah berlangsung. Bukankah masyarakat Aceh cinta damai dan memuliakan tamu menjadi ciri khasnya? Mengapa muncul sikap intoleran hanya karena dianggap bertentangan nilai-nilai agama? Siapa yang memainkan guitar dan alat musik lainnya? Siapa yang memainkan poligami itu? Tahukah Anda bahwa tubuhlah yang akan merangsang pikiran?
Kembali pada nilai ketidakadilan yang tercederai sebagai akar permasalahan yang selama ini mendera Aceh. Mungkin, mereka akan memandang tubuh yang mengundang rangsangan seksual dalam bentuk pagelaran musik, dimana poligami redup dan muncul setengah dan akhirnya sama-sama menimbulkan rangsangan tubuh atas hasrat. Kita juga diberitahu bahwa, telah lama musik yang dimainkan oleh siapapun subyek pemerannya, apakah diperankan secara grup band atau perseorangan sangat sedikit berkaitan dengan indera pendengaran, tetapi terutama dengan sentuhan kulit melalui tarian jemari di atas tuts piano atau tarian jari bersama senar-dawai gitar. Dari sebagian hal-hal yang telah diketahui, musik lebih berkaitan dengan cita rasa atau bersifat sensual. Doktrin poligami dan penolakan padanya sekilas tidak memiliki keterkaitan dengan musik. Tetapi, musik dari genre mana saja seperti inilah yang lazim dimainkan. Musik dengan bagian yang ditangkap oleh pendengaranlah mendapat pengesahan sekaligus ketidakpuasan, seakan-akan bukan “jiwa” atau “hati”, tetapi tubuhlah yang menyerapkannya. Jenis musik yang dimainkan dengan “hati” tetap hinggap di hati. Musik yang tidak dimainkan dengan hati hilang di ruang lain: jari-jemari memainkan dawai gitar dengan alunan musik terdengar harmoni. Lantas kita tidak perlu lagi mengandalkan suatu kontrol tubuh, koordinasi, dan kontrol gerakan tubuh atas musik. Selanjutnya, menerima begitu saja dari tubuh yang menerjemahkan apa-apa yang tersembunyi untuk membentuk kelenyapan suara dan makna yang berbeda. Semuanya itu mengalami sentuhan kehidupan, kecuali tubuh dan musik bersifat alamiah membuka mata yang tidak perlu dipermainkan seenaknya, yaitu mata keadilan di Aceh. Tidak ada lagi waktu untuk mendengarkan musik yang berfungsi sebagai perekam, penerima dan penyalur. Para musisi yang memainkan suasana, tetapi tidak membuat kita terpesona dari kepuasannya, tetapi hasrat untuk mengetahui betapa perlunya kita menata kehidupan melalui tubuh dan musik terhadap poligami. (*)