Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Politik Berkeadaban dalam Islam: Antara Kekuasaan, Moralitas, dan Peradaban

×

Politik Berkeadaban dalam Islam: Antara Kekuasaan, Moralitas, dan Peradaban

Share this article

Oleh: Nengsih Romi Abbas (Mahasiswa Unismuh Makassar)

Islam, Politik, dan Peradaban Mencari Demokrasi yang Berkeadaban.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil…” (QS. An-Nisa: 58)

Peradaban yang besar lahir dari nilai, bukan sekadar kekuasaan. Politik, dalam peradaban Islam, bukan sekadar arena kontestasi, tetapi medium dialektika antara keadilan dan kebijaksanaan. Sayangnya, politik hari ini cenderung berkubang dalam polarisasi, pragmatisme, dan demagogi yang menjauh dari esensi demokrasi sebagai sistem yang meniscayakan etika dan rasionalitas.

Maka, apakah mungkin membangun politik yang tidak hanya demokratis dalam prosedur, tetapi juga beradab dalam substansi? Bagaimana Islam, sebagai epistemologi moral dan peradaban, dapat menawarkan jalan keluar dari demokrasi yang kian kehilangan dimensi etikanya?

Demos dan Ttika, Demokrasi yang Terlunta dalam Nihilisme.

Demokrasi, dalam pengertian klasiknya, bertumpu pada kehendak rakyat (demos). Namun, dalam praktiknya, kehendak ini sering kali disandera oleh oligarki dan populisme yang mengorbankan substansi demi elektabilitas. Politik menjadi sekadar seni memanipulasi opini, bukan lagi upaya mencari kebajikan publik.

Islam, dalam tradisi filsafat politiknya, tidak pernah menolak demokrasi sebagai instrumen, tetapi menuntutnya untuk berakar pada nilai. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya menegaskan ,bahwa Peradaban runtuh bukan karena lemahnya militer atau ekonomi, tetapi karena hancurnya asabiyyah solidaritas sosial yang menjadi fondasi politik berbasis nilai”. Demokrasi tanpa kebajikan hanya akan melahirkan anarki yang dikendalikan oleh elite yang lihai membentuk opini, bukan oleh mereka yang benar-benar berkompeten.

Di sinilah Islam Berkemajuan harus mengambil posisi, tidak sekadar membela demokrasi sebagai mekanisme, tetapi juga sebagai proyek etik yang meniscayakan kejujuran, keadilan, dan keberpihakan pada kemaslahatan universal.

Krisis Etika Politik, Antara Kekuasaan dan Kebijaksanaan.

Dalam sejarah peradaban Islam, politik tidak sekadar tentang perebutan kekuasaan, tetapi lebih dalam lagi, soal kebijaksanaan dalam menata kehidupan bersama. Rasulullah, dalam Piagam Madinah, menunjukkan bahwa politik yang luhur bukanlah politik yang hanya berpihak pada mayoritas, tetapi politik yang mampu menegakkan keadilan bagi semua.

Namun, hari ini, politik justru kian menjauh dari kebajikan. Kampanye politik lebih sering menampilkan absurditas daripada argumentasi. Para pemimpin lebih sibuk dengan kalkulasi elektoral ketimbang membangun narasi peradaban. Padahal, kepemimpinan dalam Islam adalah amanah, bukan sekadar hak.

Al-Farabi, dalam konsepnya tentang Al-Madina Al-Fadhilah (Kota Utama), menegaskan bahwa negara ideal adalah negara yang dipimpin oleh sosok yang memiliki hikmah (kebijaksanaan) dan adl (keadilan). Negara bukan hanya harus demokratis dalam tata kelolanya, tetapi juga harus berorientasi pada kebajikan kolektif.

Namun, yang terjadi hari ini adalah sebaliknya, pemimpin dipilih bukan berdasarkan kebijaksanaan, tetapi popularitas. Kebijakan ditentukan bukan berdasarkan keadilan, tetapi kepentingan ekonomi-politik. Demokrasi menjadi simulakra, kehilangan ruh dan substansinya.

Islam dan Politik Identitas, Memahami, bukan Mengeksploitasi,

Salah satu penyakit kronis demokrasi di Indonesia adalah penggunaan politik identitas secara destruktif. Agama, yang seharusnya menjadi sumber moralitas dan pemersatu, justru sering kali dijadikan alat legitimasi politik yang memecah belah

Namun, Islam tidak pernah mengajarkan politik berbasis eksklusi. Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa suatu pemerintahan bisa bertahan meskipun dipimpin oleh orang kafir, asalkan ia adil, tetapi akan runtuh meskipun dipimpin oleh Muslim, jika ia zalim. Artinya, ukuran utama dalam politik Islam bukanlah identitas, tetapi integritas dan keadilan.

Jika politik identitas terus menjadi strategi dominan dalam kontestasi demokrasi, maka yang kita saksikan bukanlah politik yang mencerahkan, tetapi politik yang mempersempit horizon berpikir umat. Islam seharusnya hadir dalam politik sebagai nilai yang membimbing, bukan sebagai alat yang dieksploitasi.

Mengembalikan politik ke jalan kebijaksanaan, Dalam konteks Islam Berkemajuan, ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk membangun demokrasi yang tidak hanya prosedural, tetapi juga substantif:

Meneguhkan politik berbasis nilai, bukan bekadar bepentingan. Islam menuntut politik yang beradab, bukan sekadar politik yang berkuasa. Demokrasi harus diarahkan pada kebajikan, bukan sekadar kompetisi kekuasaan tanpa moralitas.

Mengembalikan kepemimpinan pada prinsip amanah, Kepemimpinan dalam Islam bukanlah soal siapa yang paling banyak suara, tetapi siapa yang paling layak untuk memimpin. Demokrasi harus dikoreksi agar tidak hanya berorientasi pada kuantitas, tetapi juga kualitas kepemimpinan.

Mengelola perbedaan dengan hikmah dan musyawarah> Islam tidak menolak perbedaan, tetapi mengajarkan bahwa perbedaan harus dikelola dengan hikmah. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang mampu menciptakan sintesis dari perbedaan, bukan sekadar mempertajam kontradiksi

Membebaskan Politik dari polarisasi yang merusak, Polarisasi politik adalah ancaman terbesar bagi bangsa. Umat Islam harus menjadi kekuatan perekat, bukan sekadar menjadi bagian dari fragmentasi yang tidak produktif.

 

Memilih pemimpin berdasarkan kapabilitas, bukan sentimen. Demokrasi yang beradab harus mengedepankan kepemimpinan berbasis keilmuan dan kebijaksanaan, bukan sekadar preferensi emosional. Sejarah Islam menunjukkan bahwa para pemimpin besar selalu dipilih berdasarkan kapasitas mereka, bukan sekadar identitas mereka.

Garis Besarnya, Saatnya Politik Berkemajuan, Bukan Sekadar Politik Elektoral

Jika politik hanya dipahami sebagai perebutan kekuasaan, maka yang lahir adalah politik tanpa substansi. Namun, jika politik dipahami sebagai ikhtiar membangun kebajikan bersama, maka yang lahir adalah peradaban

Islam Berkemajuan tidak mengajarkan politik sebagai sekadar strategi elektoral, tetapi sebagai proyek etik untuk membangun demokrasi yang beradab. Politik yang hanya mengejar kekuasaan akan hancur dalam arus pragmatisme, tetapi politik yang berakar pada nilai akan melahirkan peradaban yang langgeng.

Demokrasi bukan sekadar tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah, tetapi tentang bagaimana keadilan ditegakkan. Dan dalam Islam, politik bukan sekadar alat untuk memperoleh kuasa, tetapi jalan untuk mencapai kemaslahatan.

Sebagaimana kata Al-Mawardi dalam Al- Ahkam As-Sultaniyyah, “Kepemimpinan adalah perjanjian yang mengikat antara pemimpin dan rakyat, bukan demi kepentingan individu, tetapi demi tegaknya keadilan dan kesejahteraan bersama.”

Maka, tugas umat Islam bukan hanya memilih pemimpin, tetapi juga mengawal demokrasi agar tetap beradab, bermoral, dan berorientasi pada kebajikan. Sebab, politik tanpa etika hanyalah jalan lain menuju kehancuran.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply