Oleh : Saifuddin al Mughniy
(OGIE INSTITUTE Research and Political Development)
KHITTAH.co- POLITIK terkadang sulit ditebak, karena ia memiliki dua mata pisau yang sama-sama tajamnya, yang bisa untuk digunakan untuk membunuh musuh-musuhnya (dalam buku ; Politik Tanpa Identitas). Yah, mungkin akan menjadi awal perspektif untuk melihat anasir-anasir perkembangan politik dan demokrasi saat ini. Di hampir laman media kita tentu tidak lagi terkejut, membaca, melihat, menyaksikan panggung-panggung yang dipenuhi dengan rumor dan mozaik politik. Dinamisasi itu berlangsung secara alamiah karena rasa empati, simpatik, fanatisme, egosentrisme menjadi pewarna indah bagi kehidupan politik yang sementara bergerak kearah yang demokratis.
Walau memang terkadang banyak hal yang menjadi perbincangan sekaligus pertimbangan bahwa politik semakin ranum tak berwarna, karena egosentrisme yang berlebihan, atau boleh jadi karena politik simulakra (kepalsuan) sementara diminati. Proses politik memang bergerak begitu cepat, melintasi batasan kebutuhan masyarakat secara ekonomi, sementara untuk mengukur demokratis atau tidaknya suatu bangsa sangat ditentukan oleh indikator kemakmuran, kecerdasan, serta tingkat kesehatan masyarakatnya. Nah, inilah yang menjadi persoalan sebab politik hanya sebatas dipahamkan untuk perebutan kekuasaan bukan bagaimana membangun peradaban kemanusiaan.
Sejak awal para filsuf telah berpendapat, bahwa manusia bukan sekedar hidup mempertahankan kehidupan tetapi ia adalah homo politicos (manusia politik), yang bergerak dan memproduksi aturan-aturan kehidupan (hukum) bagi lingkungannya. Sebagai manusia politik tentu ada dua hal yang melekat pada dirinya yaitu zoon society dan zoon politicon, ada hasrat kekuasaan yang digerakkan oleh politik, dan ada hasrat hubungan sosial dimana kekuasaan tidak cukup hanya mengandalkan figuritas tetapi lebih dari itu kekuasaan sejatinya diraih dengan bangunan interkoneksitas antar berbagai variable.
Dan akan sangat berbeda dengan para pemikir di abad pertengahan yang sudah melihat politik sebagai alat komoditas. Katakanlah cara berfikir Nicholas Maccievelli dengan konsep menghalalkan segala cara, yang dianggap sebagai instrument perebutan kekuasaan. Yah, kita bisa sependapat dengan itu, tetapi dalam teori politik kekuasaan juga dikedepankan nilai seperti etika, perilaku, budaya serta norma yang berlaku, orang sosiolog mendalilkannya bahwa kapan itu dilanggar maka ia sesungguhnya anti sosial.
Tetapi yang menarik adalah bagaimana kemudian politik itu dilihat dari sudut pandang intensubjektifitas (menguntungkan pada aspek semuanya), tidaklah menohok pada ajaran kapitalisme misalnya yang menghadiahi pemenang dan menindas yang kalah (baca Jacques Attali dari pikiran Alffin Tofler, millennium ketiga). Kapitalisasi politik yang sementara ini melanda dihampir seluruh dunia begitu memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap kehidupan demokrasi dan politik di negara yang bersangkutan. Yah, minimal kita lihat bagaimana kemudian IMF, World Bank dan beberapa lembaga donor lainnya menjadi pemantik bagi keberlangsungan penjajahan kapitalisme.
Dan Indonesia sebagai negara ketiga tentu tidaklah lepas dari cengkraman tersebut. Jumlah hutang luar negeri yang mencapai 3. 500 trilyun dengan bunga setiap tahunnya 150 Trilyun, tentu fakta ini akan memberikan dampak dari sebuah proses pembangunan nasional. Dengan kondisi tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi nasional. Perang terbuka antara blok barat dengan timur begitu sangat memperhatinkan, sebab negara digaris khatulistiwa ini yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, tentu akan menjadi ancaman kedua blok ini.
Pengaruh politik luar negeri ini, juga begitu kita rasakan bagaimana dinamika poltik itu berlangsung dengan gaya terseok-seok. Berbagai fenomena mewarnainya, aksi 411, 212, 412 bahkan sampai pada rencana bom panci yang berhasil dijinakkan oleh Densus 88, tangis Ahok di persidangan, cercahan nitizen baik yang pro maupun yang kontra, gempa Aceh, tanah longsor serta berbagai realitas yang ada, tentu adalah bagian proses kehidupan dibangsa ini yang perlu dijawab.
Perebutan panggung-panggung kekuasaan mewarnai setiap event politik, seperti politik pencitraan, sandera menyandera kekuasaan, figure yang saling serang, pemuda yang berkonflik dalam lingkungannnya sendiri, belum lagi sekte-sekte yang transdimensional, serta berbagai kekejaman kemanusiaan tumbuh dalam nalar politik kita. Pertanyaannya adalah, apakah ini satu bentuk kegagalan dalam membangun demokrasi politik ? mungkin kita secara sadar akan menjawabnya Ya, dengan asumsi bahwa tugu politik yang dibangun dari kekuatan budaya mulai mengalami keruntuhan. Orang bisa saja merebut kekuasaan dengan cara inkonstitusional (seperti kudeta atau melakukan makar, atau bisa juga melakukan tindakan dualism kepemimpinan dalam satu organ), nah, kalau ini muncul maka ini disebut sebagai “doyan kekuasaan”.
Dan proses politik ini seringkali melibatkan klien-klien sebagai sumber kekuasaan, sehingga dinamisasi politik tidak dibangun dari kedewasaan serta kecerdasan berpolitik. Kita meyakini bahwa dalam teori kekuasaan ada yang disebut dengan Patron-Klien, yang dimaksudkan adalah bahwa satu kelompok memiliki cantolan sebagai keterikatan emosional baik secara ekonomi terlebih pada hubungan politik. Oleh karena itu, etno-budaya sebagai sesuatu sumber kehidupan bernegara haruslah hadir menjadi perekat, walau memang kita sadari budaya politik kita jauh meninggalkan pusat studinya, tetapi lebih memperagakan politik transaksional. Satu kecelakaan berpolitik yang mengakibatkan rakyat masuk pada jebakan memperpanjang jejaring korupsi di negeri ini. Tentu ada aspek budaya sangatlah bertentangan, budaya menjunjung tinggi nilai keadaban dan kemanusiaan. Tentunya pemeliharaan dan perawatan akan kultur sejatinya menjadi varian terpenting untuk menjaga eksistensi demokrasi yang sementara ini bergerak.
Politik dalam skema perebutan mahkota kian mewarnai kontekstasi politik nasional, hal ini dapat dilihat bagaimana fenomena dualisme serta perseteruan antar geng politik yang sebagian orang menyebutnya sebagai klan politik. Banyak luka yang terurai akibat debut politik yang melewati nalar budaya, kemenangan kapitalisme telah menjadikan pemenang sebagai budak kekuasaan. Memang sangat miris sebab politik hanya sekedar dipahami sebagai “perebutan kekuasaan” bukan perebutan martabat kebangsaan.
Oleh karena itu, demokrasi sesungguhnya dipahami sebagai instrument penting guna melahirkan politisi yang bernartabat, berakal budi yang luhur, serta mampu menjembatani pikiran rakyat yang diwakilinya sebagai konsekuensi perwakilan politik. Bukan pengharapan tanpa kesadaran sebagaimana yang diungkapkan oleh Erich Froom (Revolusi Pengharapan), pengharapan kritis inilah yang sangat memungkinkan tercapainya tujuan dan cita-cita politik yang bermartabat.