Oleh: Ma’mun Murod Al-Barbasy
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ,
Pemerhati Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama
MENJELANG Aksi Damai Jilid II 4 November 2016, yang kemudian dikenal dengan Aksi Damai 411, dua ormas besar di Indonesia: Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) secara organisatoris (jamiyah) mengeluarkan imbauan yang hampir senada, agar warga (jamaah) yang mengikuti aksi tersebut tidak membawa atribut organisasi. Imbauan ini juga berlaku untuk Aksi Superdamai Jilid III pada 2 Desember 2016.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengimbau agar jamaah-nya tidak membawa atribut Muhammadiyah dalam aksi itu, karena mereka (aksi) selaku warga negara. Meski demikian, Mas Haedar menyatakan bahwa Aksi Damai 411 merupakan wujud penyampaian aspirasi dalam berdemokrasi.
Bahkan Mas Haedar meminta agar pemerintah dan Polri sensitif dalam merespons aspirasi umat dalam menangani kasus penistaan agama seperti yang dituntutkan. Jika terkesan menunda, mengulur, atau seolah mengambangkan, justru akan menambah persoalan makin meluas (30/10/2016).
Ketua Tanfidziyah PBNU KH Said Aqil Siradj juga melarang simbol-simbol NU dipakai dalam Aksi Damai 411. Kalau ada simbol-simbol NU, dikhawatirkan ada pihak ketiga yang memanfaatkannya. PBNU tak ingin simbol NU dipakai untuk tujuan di luar kepentingan jamiyah NU.
Kiai Said juga meminta semua warga NU tidak ikut-ikutan memperkeruh suasana dengan provokasi dan hasutan. Karenanya, Kiai Said meminta warga NU tidak ikutan (unjuk rasa). Kalaupun ada yang terpaksa ikut, Kiai Said berharap tidak ada simbol-simbol NU yang dipakai (28/10/2016).
Jamaah Tak Patuh Lagi pada Jamiyah
Meski sama-sama mengeluarkan imbauan terkait tidak bolehnya menggunakan simbol jamiyah, dalam menyikapi Aksi Damai 411 tampak ada perbedaan antara Muhammadiyah dan NU. Sikap Muhammadiyah tampak lebih lunak, bahkan cenderung ”mendukung” Aksi Damai 411. Dalam pandangan Muhammadiyah, Aksi Damai 411 semata hanya menyikapi penistaan terhadap Alquran yang dilakukan oleh Ahok. Tak ada kaitannya dengan masalah toleransi dan kebinekaan, apalagi terkait persoalan Pancasila dan NKRI.
Berbeda dengan itu, sikap NU terlihat lebih kaku dan menampakkan ketaksetujuan. NU tidak sekadar mengimbau jamaah-nya tidak menggunakan simbol-simbol NU, tapi juga memintanya tidak ikut aksi. Ada nada ”penggembosan”, bahkan nada ini semakin terlihat dalam menyikapi Aksi Superdamai 212. PBNU, misalnya, sampai harus mengeluarkan fatwa soal ketidaksahan salat Jumat di jalanan. Padahal, PBNU tentu tahu bahwa masalah salat Jumat di jalanan itu persoalan ikhtilaf di antara para ulama mazhab.
Lalu bagaimana jamaah Muhammadiyah dan NU menyikapi imbauan jamiyah-nya? Dalam Aksi Damai 411, praktis jamaah Muhammadiyah tidak mematuhi imbauan jamiyah-nya. Ketakpatuhan ini sepertinya karena jamaah melihat sikap lunak PP Muhammadiyah.
Meski mengimbau jamaah-nya tidak memakai simbol-simbol Muhammadiyah, PP Muhammadiyah seperti melakukan pembiaran ketika kantor PP Muhammadiyah dijadikan sebagai posko aksi. Ketika mendapati Kantor PW Muhammadiyah Jakarta di Kramat Raya dijadikan Posko Pusat Keberangkatan peserta Aksi Damai 411 dari perwakilan jamaah Muhammadiyah se-Indonesia pun PP Muhammadiyah tak bereaksi.
Beberapa PW dan banyak PD Muhammadiyah bahkan mengoordinasikan jamaah-nya yang akan mengikuti Aksi Damai 411. Jamaah Muhammadiyah juga membentuk kesatuan aksi yang diberi nama Kokam (Komando Kawal Al-Maidah), nama yang dilekatkan kepada Kokam yang berada di bawah naungan Pemuda Muhammadiyah.
Selama berlangsungnya aksi, simbol-simbol Muhammadiyah seperti bendera Muhammadiyah dan organisasi otonom juga berkibar di jalan. Beberapa elite Muhammadiyah tingkat pusat, wilayah, dan daerah turun langsung, ikut Aksi Damai 411.
Begitu juga warga nahdliyin, mereka tidak patuh menjalankan imbauan PBNU untuk tidak mengikuti Aksi Damai 411. Kalau selama ini NU sering mengklaim sebagai ormas terbesar di Indonesia dengan jumlah anggota mencapai puluhan juta, yang salah satu klaimnya biasanya didasarkan pada kebiasaan praktik ritual keagamaan yang mereka lakukan, maka hampir pasti peserta terbesar Aksi Damai 411 adalah warga nahdliyin.
Muhasabah bagi Muhammadiyah dan NU
Ketakpatuhan jamaah Muhammadiyah dan NU terhadap imbauan jamiyah-nya patut menjadi perenungan (muhasabah) bagi Muhammadiyah dan NU. Perenungan yang penting dilakukan setidaknya pada dua hal.
Pertama, terkait positioning Muhammadiyah dan NU. Selama ini Muhammadiyah dan NU kerap menyebut diri atau diposisikan sebagai representasi muslim Indonesia. Muhammadiyah dan NU selama ini diidentikkan sebagai organisasi yang mempunyai watak kemasyarakatan moderat (tawasuth), toleran (tasamuh), dan seimbang (tawazun). Secara konseptual, tentu watak ini sejalan dengan prinsip Islam, namun dalam praktiknya justru cenderung lebih dekat pada mentalitas yang sekadar ”mencari aman”.
Kedua, semakin berjaraknya jamiyah dengan jamaah. Ini juga perlu jadi perenungan. Sekadar contoh, ketika beredar berita bahwa Ahok akan datang ke Muhammadiyah untuk menjelaskan masalah terkait Al-Maidah 51, kontan rencana ini mendapat penolakan keras dari jamaah Muhammadiyah. Rencana pertemuan ini akhirnya dibatalkan sepihak oleh Ahok.
Kesediaan PP Muhammadiyah menerima Ahok tentu dimaksudkan untuk menjaga jarak, atau bahkan kedekatan yang sama dengan semua kandidat dalam Pilkada DKI Jakarta. Namun, menerima Ahok di kala hati umat Islam tengah terluka karena ulahnya yang menista Alquran, justru dinilai sebagai tidak nyambungnya jamiyah dengan jamaah.
Begitu juga NU. Hadirnya sebagian besar nahdliyin pada Aksi Damai 411 di kala PBNU mengimbau untuk tidak mengikuti aksi tersebut, bisa dimaknai sebagai semakin berjaraknya jamiyah NU dengan jamaah-nya. Bahwa kebanyakan mereka yang hadir tidak membawa simbol-simbol NU juga hendaknya tidak dimaknai sebagai bentuk kapatuhan terhadap imbauan PBNU. Sebaliknya, mesti dipahami sebagai bentuk kemasabodohan jamaah NU terhadap jamiyah-nya.
Realitas saat ini, di level akar rumput sekalipun, tingkat ketergantungan jamaah NU terhadap jamiyah-nya tidak lagi seperti ketika awal-awal NU lahir hingga 1980-an, di mana kata sami’na wa atha’na (kami dengar, kami taat) selalu mewarnai relasi jamaah dengan jamiyah-nya. Jamaah nyaris tanpa reserve mendengar dan taat terhadap apa pun yang dititahkan jamiyah atau para kiainya.
Dalam perkembangannya, sekarang jamaah NU tak lagi gampang untuk sami’na wa atha’na kepada jamiyah-nya, termasuk para kiainya. Saat ini kesadaran jamaah untuk sami’na wa atha’na praktis hanya dalam hal yang terkait dengan persoalan fikih. Bahkan fikih pun ranahnya begitu sempit, sebatas fikih ibadah(mahdzah) yang bersifat personal.
Terkait muamalah, terutama dalam soal politik, sosial dan kemasyarakatan, jamiyah NU atau pun kiai tak lagi menjadi sandaran atau tempat bertanya yang utama. Penyebab dominan pudarnya relasi ini karena ketaknyambungan antara jamiyah dan jamaah atau antara kiai dan jamaah.
Dan ketaknyambungan ini penyebabnya lebih banyak karena perubahan perilaku kiai atau mereka yang tengah menduduki jabatan di NU. Di awal-awal berdirinya NU, posisi kiai benar-benar dekat dan menjadi pembela jamaah—Geertz (1960) menyebutnya sebagai makelar budaya (cultural brokers).
Sekarang sebagian (elite) kiai sudah berubah menjadi makelar politik (political brokers), broker pilkada, pilgub, pilpres dan kerja-kerja lainnya yang sama sekali tak ada kaitan dengan tugas kekiaian. Kiai lebih suka bersikap abu-abu–tentu tak lupa mencari pembenaran fikih, termasuk pembenaran ke-tawasuth-an dan ke-tasamuh-an–di kala umat membutuhkan ketegasan sikapnya, terutama terkait masalah akidah, sosial, dan politik.
Dengan perubahan peran kiai ini, ke depan bisa jadi jamiyah NU tidak saja akan ditinggalkan jamaah-nya untuk sekadar bertanya terkait masalah sosial dan politik, tapi juga dalam masalah fikih ibadah sekalipun. Bisa jadi kiai tidak akan lagi menjadi tempat untuk bertanya. Wallahu a’lam.
http://nasional.sindonews.com/read/1163202/18/beda-jamiyah-dengan-jamaah-1481798523