Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Posisi Pelajar di Pilkada, Jadi Kacung atau Kritikus?

×

Posisi Pelajar di Pilkada, Jadi Kacung atau Kritikus?

Share this article
Fahrul Dason adalah salah satu Pimpinan Wilayah IPM Sulsel. (doc. pribadi)

Oleh: Fahrul Dason – PW IPM Sulsel

Opini – Partisipasi, dalam arti paling dasar, berarti keikutsertaan. Dalam konteks politik, ini berarti keikutsertaan warga dalam kegiatan yang memengaruhi proses pengambilan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi ini berlaku bagi semua lapisan masyarakat—mulai dari pegawai ASN, aparat, guru, mahasiswa, hingga pelajar sekalipun. Namun, apa makna partisipasi dalam politik?

Menurut dua ilmuwan politik, Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, partisipasi politik adalah kegiatan warga untuk memengaruhi keputusan pemerintah. Partisipasi ini dapat bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, damai atau penuh kekerasan, legal atau ilegal, dan efektif atau tidak efektif. Dengan kata lain, partisipasi politik bisa menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengharapkan perubahan positif dalam kebijakan.

Namun di Indonesia, makna partisipasi politik sering kali disempitkan menjadi dukungan terhadap calon tertentu atau keterlibatan dalam tim sukses. Anggapan semacam ini mempersempit orientasi keikutsertaan kita, sehingga partisipasi politik seolah hanya ada saat kontestasi politik, Pemilu dan Pilkada contohnya.

Tidak jarang juga, organisasi pemuda, mahasiswa, bahkan pelajar turut terlibat dalam setiap perhelatan Pilkada, tetapi dengan cara yang berisiko memojokkan mereka dalam pola politik transaksional.

Lalu, bagaimana seharusnya organisasi pelajar bersikap? Apakah organisasi pelajar hanya terbatas menjadi tim sukses atau penyokong calon tertentu? Ataukah ada bentuk partisipasi yang lebih bernilai bagi mereka?

Partisipasi Tak Konvensional

Lester W. Milbrath, seorang profesor politik dari Amerika, mengklasifikasikan partisipasi politik menjadi empat jenis: partisipasi apatis (menarik diri dari proses politik), spektator (melibatkan diri hanya saat pemilu), gladiator (aktif dalam proses politik), dan partisipasi tak konvensional.

Partisipasi tak konvensional merujuk pada bentuk partisipasi dimana warga aktif mengkritik kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan publik. Bagi pelajar, partisipasi ini dapat diwujudkan dengan mengadvokasi isu-isu pendidikan yang sering kali terabaikan dalam visi dan misi para kandidat Pilkada.

Saat ini, Pilkada hanya tinggal menghitung hari, nasib pelajar lima tahun ke depan juga akan ditentukan. Namun, menurut hemat penulis, pelajar masih sering menjadi sasaran empuk bagi politisi untuk dimanfaatkan. Meski begitu, belum ada kelompok yang lantang menyuarakan kepentingan pelajar, suara mereka akhirnya rawan terpinggirkan dalam pengambilan kebijakan. 

Lebih dari itu, organisasi pelajar pun rentan dijadikan alat politik praktis, sehingga mereduksi idealisme dan daya kritis mereka. Oleh karena itu, penting bagi organisasi pelajar seperti Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) untuk menjaga independensi mereka dalam menyikapi Pilkada.

IPM sebagai Basis Pelajar yang Independen

Sebagai organisasi pelajar, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) memiliki peran yang berbeda dari organisasi pemuda lainnya yang cenderung pragmatis. IPM, yang aktif mengadvokasi isu pelajar, harus memahami bahwa praktik politik kita kini tak lagi sehat. 

Aspinall dan Berenschot dalam bukunya, Democracy for Sale, menyebut praktik klientelisme yang sangat kuat di negara berkembang seperti Indonesia. Klientelisme adalah ketika politisi menjanjikan keuntungan kepada para pemilih demi mendapat dukungan, atau mendistribusikan anggaran kepada konstituen sebagai bagian dari hubungan patron-klien.

Praktik semacam ini sering kali kita temukan, salah-satunya pembagian sembako dan janji finansial tertentu di masyarakat, di mana patron (politisi) memberi dengan harapan timbal balik dari klien (rakyat), model seperti ini telah merusak nilai-nilai demokrasi di Indonesia.

Melihat kondisi ini dalam konteks Pilkada, seyogyanya IPM bisa menjaga jarak dengan tetap bersikap kritis terhadap kebijakan yang tidak memprioritaskan pelajar.

Alih-alih menjadi alat politik, IPM sebaiknya harus berperan sebagai pengawas yang mengingatkan kandidat akan kebutuhan pelajar, misalnya dengan aktif melakukan kritik dan membuka forum-forum diskusi.

Hari ini, partisipasi politik pelajar harus lebih progresif dan independen. Bukan lagi partisipasi yang konvensional dan rawan dipolitisasi, tetapi partisipasi tak konvensional yang mengedepankan kepentingan pelajar dalam kebijakan publik. 

IPM sebagai salah satu organisasi pelajar, dapat menjadi benteng moral di tengah praktik politik transaksional, sekaligus memastikan kebijakan yang dihasilkan lebih berpihak pada dunia pendidikan.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply