Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipMuhammadiyahOpini

Post-Muhammadiyah

×

Post-Muhammadiyah

Share this article

 

 Oleh : Muhammad Asratillah S

Sejak kelahirannya lebih dari satu abad yang lalu, Muhammadiyah lahir dan melakukan eksperimentasi-eksperimentasi sejarah dalam konteks ruang-dan waktu saat itu. Saat umat masih begitu terperangkap dalam jaring-jaring mitos dan adat, Muhammadiyah datang mewartakan akan pentingnya nalar. Saat umat mengalami kekeroposan secara kelembagaan sosia,l Muhammadiyah datang memperkenalkan sistem manajerial yang sifatnya rasional. Saat taqlid merupakan trend keberagamaan saat itu Muhammadiyah datang menawarkan dengan gagah berani tajdid dan ijtihad. Saat diam adalah kultur umat maka Muhammadiyah datang menawarkan praksis amar makruf nahi mungkar.

Gerakan Islam Modern barangkali ungkapan yang tepat untuk Muhammadiyah. Kalau Modernisme selalu dikaitkan dengan etika protestan, maka Muhammadiyah adalah Model Islam Protestanis. Menurut Sukidi salah satu Pendiri Pusat Studi Agama Dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah dalam artikelnya yang berjudul “Muhammadiyah Sebagai Reformasi Islam Model Protestan”, tesis Muhammadiyah sebagai Islam model Protestan dapat dibuktikan dengan adanya kemiripan reformasi Islam Muhammadiyah dan Reformasi Protestan. Pertama, baik calvinis protestan maupun kaum puritan Muhammadiyah, sama-sama mengajarkan skriptualisme: berdasarkan semata-mata pada kitab suci, inilah dikenal dengan istilah “Sola Scriptura” (kembali pada Kitab Suci). Kedua. Sebagai konsekuensi dari prinsip “sola scriptura” maka lahirlah prinsip “ sola fide”, tidak adanya perantara antara Tuhan dan kita. Ketiga, baik calvinis maupun Muslim puritan Muhammadiyah mengikuti apa yang disebutkan oleh weber “disenchantment of the world”, menolak semua piranti magis dan mendasarkan diri pada kehidupan asketis dan kalkulasi rasional di dunia.Keempat, sebagai konsekuensi dari prinsip keempat, Muhammadiyah puritan melakukan purifikasi iman untuk merasionalkan doktrin Islam.

Menurut Theodore Adorno dan Max Horkheimer dalam bukunya Dialectic of Enlightenment (1973), Modernisme yang spirit awalnya adalah untuk melakukan pembebasan terhadap nalar manusia dengan cara menghancurkan mitos-mitos kehidupan, telah melanggar sumpahnya sendiri karena dirinya telah mengambil alih citra musuh bebuyutannya yaitu mitos, modernisme telah manjdi mitos. Yang membedakan mitos masyarakat tradisional dengan mitos masyarakat modern adalah cara bertuturnya mitos itu. Jika Mitos masyarakat tradisional alat legitimasinya adalah magis maka mitos masyarakat modern alat legitimasinya adalah nalar. Tetapi semangat kedua mitos itu sama yaitu ; menolak the other (yang lain).

Sehingga jika Muhammadiyah yang sejak awal dengan karakter puritannya ingin membebaskan manusia dari penjara mitos tradisional, kembali terjebak oleh mitos-mitos baru dalam ritus-ritus modern. Ini bisa kita lihat dari analognya antara Muhammadiyah dengan “gajah gemuk” dengan arti Muhammadiyah itu besar, struktur birokrasinya kuat dan meluas, tetapi kurang cepat dalam merespon keadaan kontemporer, gagalnya Muhammadiyah menjadi gerakan alternatf bagi orang-orang yang terpinggirkan bahkan ada sinyalemen Muhammadiyah sekarang makin suka dengan kekuasaan, paham keagamaan muhammadiyah yang menurut saya kurang kritis dan progresif ini dilihat tiadanya sikap keagamaan yang jelas tapi sikap keagamaan yang malu-malu.

Muhammadiyah makin jauh dari tema zamanya barangkali perkiraan yang paling mungkin bagi Muhammadiyah. Dan ini adalah sebuah kekhilafan dan kesalahan . Tapi “janganlah terlampau marah terhadap kesalahan. Kata orang pula,kesalahan mungkin hanya satu tahap dalam mencari kebenaran. Anak pun bisa berjalan setelah ia pernah jatuh”(Goenawan Muhammad, Kenapa Orang Tua Punya Kelebihan, 1980).

Post-Muhammadiyah, itulah yang saya coba tawarkan, istilah ini mungkin bisa mengundang kesalahpahaman, karena Post-Muhammadiyah bisa berarti; “setelah” muhammadiyah sambil menafikan Muhammadiyah. Anggaplah Post-Muhammadiyah adalah antitesis terhadap beberapa kecenderungan (tidak semua) dari muhammadiyah, kecenderungan yang saya sebut watak “modernitas muhammadiyah”. Antitesis ini lahir bukan dalam rangka menafikan atau menghancurkan tesisnya, tetapi ada dalam rangka mengundang tesis (muhammadiyah) menjadi bagian diri dari antitesis (post-muhammadiyah) dan sebaliknya dalam rangka dialektika menuju sesuatu yang lebih baik.

Apakah Post-Muhammadiyah itu, ada bebarapa gagasan dasar yang saya coba tawarkan. Pertama, Post-Muhammadiyah mewartakan “kematian skriptualisme” karena skriptualisme adalah awal dari pereduksian terhadap pengalam keberagamaan baik secara individual maupun social. Post-Muhammadiyah mewartakan bahwa teks-teks agama termasuk Al Qur’an bukanlah barang jadi dan siap pakai, teks-teks itu menunggu dan membutuhkan pembacaan manusia dengan segala pengalaman dan perangkat kemanusiaannya. Kedua, Post-Muhammadiyah menawarkan bahwa tidak mungkin adanya hubungan yang transparan dengan Tuhan. Hubungan dengan Tuhan selalu mengimplikasikan aktivitas memanusiakan citra Tuhan.

Ketiga, Post-Muhammadiyah menawarkan Pluralisme realitas. Realitas sifatnya majemuk dan setiap realitas membutuhkan perangkat yang berbeda untuk memahaminya. Nalar bukanlah segala-galanya begitu pula dengan teks keagamaan secara harfiah. Masih banyak perangkat yang lain seperti intiuisi, imajinasi dan semuanya memiliki posisi yang sama pentingnya. Keempat, Purifikasi akan membawa konsekuensi akan pihak yang otoritatif untuk mempurifikasi. Iman selalu berdampingan dengan kebenaran, karena iman yang benar artinya kebenaran itu sendiri. Pihak yang merasa berhak melakukan purifikasi dan merasa imannya pure (murni), adalah pihak yang merasa berada pada posisi kebenaran. Post-Muhammadiyah menawarkan konsep kebenaran yang polyfonik dan berwajah banyak.

Kelima, Post-Muhammadiyah ingin menghidupkan kembali tendensi emansipatoris dari spirit Al- Mauun di Muhammadiyah yang selama ini terkubur dan hanya dijadikan slogan. Post-Muhammadiyah ingin memerangi watak borjuis yang ditentang oleh semangat kenabian dan menjadikan kaum marjinal sebagai teman hidupnya. Keenam, bila kita meminjam gagasan Michael Foucoult, Muhammadiyah telah menjadi sebuah penjara yang hasratnya adalah untuk mendisiplinkan. Mulai dari gagasan, pandangan keagamaan hingga ritual organisasi sehari-hari, yang melenceng akan dengan mudahnya di cap “sesat”. Panopticon itulah barangkali istilah yang tepat, yaitu suatu istilah yang menggambarkan menara pengawas yang memperhatikan dan mengawasi gerak-gerik tahanan setiap waktu. Pengawasan tidak hanya dijalankan dari para pimpinan kepada para kader dan pimpinan , tetapi dengan mekanisme perkaderan yang tidak mencerahkan para kader dan anggota mengawasi diri sendiri setiap saat. Post-Muhammadiyah menawarkan untuk membongkar semua ini dan melakukan perayaan kesadaran kapanpun dan dimanapun.

Barangkali gagasan-gagasan di atas tidaklah begitu mendalam, disebabkan oleh terbatasnya ruang dan kapasitas penulis. Tapi mudah-mudahan gagasan-gagasan ini bisa menyulut dialog yang lebih intens dan tajam di kemudian hari.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply