Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Prinsip dan Modal Kehidupan dari Rukun Iman

×

Prinsip dan Modal Kehidupan dari Rukun Iman

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH. CO – Episode kehidupan yang dilewati oleh setiap manusia itu berbeda-beda. Ibarat mengarungi lautan, terkadang melewati ombak yang tenang. Namun, pada situasi lain atau mungkin oleh orang lain harus berjuang menghadapi dan untuk melewati badai. Kehidupan pun terkadang diwarnai dengan tawaran kenikmatan yang menggiurkan dan sebaliknya terkadang ada ancaman yang mungkin menyakitkan dan menakutkan. Meskipun untuk kedua yang terakhir ini, tidak semua orang pernah mengalaminya. Hanya orang-orang tertentu.

Kehidupan berlari kencang, bahkan tidak sedikit yang mengalami ekstasi kecepatan. Mereka terburu-buru sehingga kenikmatan proses pun terlewatkan begitu saja. Teknologi digital hadir dengan kekuatan elektromagnetiknya melumpuhkan dan menaklukkan ruang dan waktu dalam setiap hitungan detiknya sehingga ekstasi kecepatan terasa sebagai keniscayaan, maka dunia pun terlipat tanpa ada lagi batas-batas yang bisa menjadi pembeda yang jelas. Keseriusan dan kedalaman pun banyak yang telah diobrak-abrik oleh pengaruh ketergantungan penuh pada perangkat dan teknologi digital.

Mesin hasrat bekerja semakin intens tanpa kenal waktu, ruang, dan kondisi kehidupan. Keinginan manusia pun melambung tinggi melampaui jauh dari kebutuhan, bahkan kemampuan pemenuhannnya itu sendiri. Berbagai cara dihalalkan demi memenuhi keinginan dan nafsu, sehingga etika, moralitas, serta nilai dan ajaran agama pun terlupakan.

Dalam kehidupan yang lebih formal, yang dibingkai dengan regulasi, dibarengi dengan manajemen modern, didukung oleh teknologi canggih, diikat oleh kode etik kelembagaan, dikelilingi oleh lembaga pengawasan dan penegakan hukum, dan kinerjanya diawali oleh sumpah/janji jabatan, tetapi semuanya belum mampu menjamin tegaknya etika, moralitas, nilai, dan prestasi gemilang yang berbasis pada kerja cerdas yang terbingkai dengan spiritualitas ihsan. Padahal kita dan mereka juga adalah orang-orang yang beragama.

Pada situasi lain ada orang yang hidupnya biasa-biasa saja, punya kebutuhan yang belum terpenuhi. Namun, ketika menemukan tas berisi uang banyak di jalanan, dirinya pun seketika berniat dan mencari cara agar apa yang ditemukannya bisa segera kembali kepada pemiliknya. Ada pula sosok yang tidak pernah tergoda oleh kenikmatan dan kursi kekuasaan, jika itu harus ditempuh dengan cara yang tidak benar. Tidak sesuai dengan suara hati yang merupakan suara ilahiah itu.

Di antara kita pun masih ada sosok manusia yang seakan penyakit dan cobaan berat dalam hidupnya tidak mampu menggerogoti bangunan kebahagiaan dalam dirinya. Imannya tetap kokoh meskipun disiksa seperti kisah Bilal bin Rabah. Di negeri kita pun, Indonesia, tetap masih ada sosok yang memiliki kekukuhan iman, kekuatan integritas, dan penjaga moralitas bangsa. Nyawa dan jabatan pun rela dipertaruhkan demi menegakkan kebenaran, aturan, komitmen, etika, moralitas, dan nilai. Hanya saja, sosok yang seperti ini semakin berkurang padahal memang jumlahnya sangat sedikit.

Apa yang terungkap di atas, kita semua pasti mengetahui dan memahami, bahwa itu hanya sebagian kecil dari sekian banyak warna, dinamika, pergumulan, dan pergulatan hidup dalam kehidupan ini. Perbedaan sikap dan tindakan kita dalam merespons, menyikapi, dan memahami berbagai warna atau dinamika kehidupan tersebut sangat tergantung pula oleh “modal” dan prinsip yang dimiliki. Bahkan bentuk respons, sikap, dan tindakan kita, apakah itu akan menggerogoti dimensi ideal kemanusiaan dan keilahian kita dalam diri atau kita mampu mempertahankan nilai kemuliaannya atau fitrah idealnya, sangat tergantung dari prinsip yang kita anut.

Ada sosok manusia dalam menjalani kehidupannya hanya mengandalkan modal material dan sedikit modal psikologis yang dimilikinya.Pikiran dan/atau akal pun sebagai salah satu modal psikologis sering kali kurang diasah sehingga dalam hidupnya lebih mengandalkan modal material ketimbang modal psikologis. Namun, ada pula sosok manusia yang lebih mengutakamakan dan memaksimalkan modal psikologis dan terutama diperkuat dengan modal teologis-spiritualitas dalam mengarungi hidupnya.

Dari sini kita bisa memahami dan menyadari betapa pentingnya prinsip dan modal tersebut, meskipun kita harus memahami dan memilih lebih lanjut dengan tepat prinsip dan modal yang sesuai dengan jati diri manusia berdasarkan fitrahnya yang bukan hanya sebagai makhluk fisik-biologis, tetapi termasuk sebagai makhluk psikologis-spiritualitas. Bukan hanya sebagai makhluk individual tetapi sekaligus sebagai makhluk sosial. Begitu pun sejatinya orientasi hidupnya bukan hanya untuk dunia semata tetapi bekal akhirat pun menjadi utama.

Prinsip sebagai sesuatu yang melekat secara psikologis dalam diri kita, itu punya pengaruh yang sangat kuat dalam memengaruhi sikap dan tindakan, termasuk dalam membuat kesimpulan sampai pengambilan suatu keputusan. Bahkan, saya mampu merasakan bahwa prinsip itu terasa sebagai algoritma diri, di mana input, variabel, informasi, rasa, emosi, dan segala yang akan berujung pada sikap dan tindakan akan melewatinya untuk selanjutnya memengaruhi segalanya.

Ada banyak jenis prinsip yang bisa atau telah dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan ini, meskipun tidak semua sesuai dengan nilai fitrah kemanusiaan,keilahian, dan nilai universalitas. Ada yang sikap dan tindakannya negatif dan destruktif, itu karena pengaruh prinsip yang keliru.

Bilal bin Rabah bisa bertahan dalam siksaan yang luar biasa karena prinsipnya yang kuat untuk berpegang teguh pada keimanan dan agama Allah, ajaran dan nilai agama yang benar berdasarkan keyakinannya. Para pejuang bangsa bisa mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaannya karena prinsipnya yang kuat “Merdeka atau mati”—padahal yang digunakan hanya dengan senjata yang sederhana. Kerakusan dan ketamakan para koruptor itu juga karena prinsipnya, bisa jadi prinsipnya adalah “Kenikmatan dan kemewahan dunia adalah segalanya”.

Saya sebagai seorang Muslim, sangat meyakini dan memahami, bahwa agama Islam itu mengandung ajaran berupa pedoman hidup untuk menjalani kehidupan secara benar dan baik. Mengandung ajaran yang mengindahkan nilai-nilai etika, moralitas yang sesuai dengan dimensi fitrah kemanuisaan yang berkontribusi positif dan konstruktif bagi kehidupan duniawi tanpa mengabaikan orientasi akhirat.

Meskipun, dalam buku Berubahnya Pemahaman Agama di Era Google (2021), Denny JA mengungkapkan hasil riset dan data yang bisa disimpulkan “Agama tidak berkontribusi positif terhadap pencapaian suatu negara untuk menjadi ‘Top’ paling bahagia, paling bersih dari korupsi, dan paling sejahtera”—dan untuk konteks Indonesia, diperkuat dengan fenomena nyata tingkat korupsi yang sangat tinggi. Namun, saya—dan mungkin di antara sahabat pembaca sepakat—masih meyakini bahwa agama itu mampu memandu diri kita menjalani hidup secara benar dan baik.

Jika kita menemukan fakta atau fenomena kehidupan yang terkesan sikap dan tindakan umat beragama khususnya yang kita bisa menyebutnya sebagai “Muslim” itu paradoks dengan nilai dan ajaran agama, bisa jadi itu karena—sebagaimana penegasan Henry Manampiring—“Agama hanya dijadikan sebagai tiket masuk surga semata”. Berbagai ritual agama, hanya dijadikan sebagai ceklist yang harus dicentang satu persatu sebagai syarat untuk masuk surga. Mereka lupa atau tidak tahu atau memang tidak mau tahu dan membawa agama dalam orientasi—sebagaimana penegasan Ahmad Norma Permata—memiliki mekanisme institusionalisasi, memiliki mekanisme untuk mengubah kondisi kehidupan.

Senada dengan pandangan Norma Permata, M. Quraish Shihab menyebutnya “Membumikan Al-Qur’an” (tentunya termasuk Membumikan nilai-nilai dan ajaran agama) dan Prof. H. Nasaruddin Umar menyebutnya “Islam fungsional”. Maka, relevan dengan ini, saya memandang dari rukun Iman—awalnya saya memahami ini dengan baik dari buku Ary Ginanjar Agustian pun, kemudian saya pun memperluas maknanya dalam dimensi kehidupan yang lebih luas—bisa menjadi prinsip hidup yang kokoh untuk memandu segala sikap dan tindakan untuk tetap berjalan di atas platinum track (jalan kemuliaan yang positif, produktif, konstruktif, fungsional, dan berorientasi dunia-akhirat dalam bingkai rida Allah).  

Iman kepada Allah sebagai rukun iman pertama, sejatinya bukan hanya bahan hafalan atau lebih jauh hanya sekadar yakin atau percaya, bahwa ada Allah supaya tidak sama dengan para ateis. Iman kepada Allah sejatinya terserap ke dalam diri beberapa nilai dan makna yang bisa menjadi energi, fondasi, pengendali, pengarah, dan benteng pertahanan diri yang kokoh.

Iman kepada Allah harus mampu melahirkan prinsip dalam diri, bahwa kita—bahkan semuanya—adalah  milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Jika ini kuat maka dipastikan minimal melahirkan keikhlasan dan kesabaran yang kuat dalam menjalani hidup. Bahkan, bagi Ustaz Adi Hidayat menyebut “Aku punya Allah” adalah kalimat termahal dalam menyelesaikan segala persoalan hidup.

Iman kepada Allah, berarti kita pun harus mampu—minimal—merefleksikan Asmaul husna dalam kehidupan, minimal dalam makna jika Allah itu al-Jabbaar (Maha Perkasa) tetapi kita harus mampu memahami, menyadari, dan merefleksikan pula bahwa Allah itu Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang). Sehingga manusia yang menjadikan ini sebagai prinsip tidak akan tamak dan rakus di balik keperkasaan dan kekuasaannya, melainkan akan senantiasa memancarkan welas asih.

Iman kepada Allah, kita pun akan meyakini dan itu akan menjadi prinsip bahwa Allah itu Al-Bashir (Maha Melihat). Sehingga, jika ini telah menjadi prinsip dalam diri, kita pun dalam setiap tindakan akan senantiasa merasa dilihat oleh Allah. Sehingga, segala tindakannya akan selalu terukur agar tetap berada dalam bingkai rida Allah.

Iman kepada malaikat, bukan hanya bagaimana kita menghafal nama-nama malaikat lengkap dengan tugasnya masing-masing. Makna fungsionalnya dalam konteks kehidupan adalah kita bisa memetik pelajaran dan nilai dari malaikat terkait ketaatan dan kerja terbaiknya dalam menjalankan amanah yang diterimanya. Kinerja berbasis spiritualitas ihsan, kita bisa mendapatkannya dari bagaimana malaikat menjalankan tugas yang diberikan kepadanya oleh Allah Swt.

Iman kepada kitab-kitab Allah mengandung makna fungsional pentingnya prinsip “pembelajaran yang tinggi” atau “semangat belajar yang tinggi”. Kitab, terutama Al-Qur’an adalah literatur terbaik di alam semesta ini dan kita pun harus memahami bahwa isinya yang berisi pedoman hidup, ajaran, larangan, perintah, hukum, kisah/sejarah sudah pasti harus dipelajari. Apa lagi ayat pertama dalam Al-Qur’an menegaskan perintah “iqra” yang tentu saja maknanya bukan hanya membaca atau bacalah tetapi termasuk belajarlah. Makna iqra yang beragam, saya memahaminya dari M. Quraish Shihab.

Iman kepada nabi dan rasul Allah pada dasarnya mengandung prinsip “keteladanan”. Sepatutnya kita harus meneladani sikap, tindakan, dan sifat para nabi dan rasul Allah, terutama Rasulullah Muhammad Saw. Selain prinsip keteladanan pada makna keimanan keempat dari rukun iman ini adalah pentingnya “kepemimpinan”. Makna kepemimpinan dalam pemahaman saya yang paling positif, produktif, konstruktif, dan fungsional adalah “Mengarahkan segala potensi diri, orang lain, lingkungan, ke arah yang lebih positif, produktif, konstruktif, dan fungsional”. Jika ini dimiliki maka bisa dipastikan dalam mengemban amanah pun tidak akan melakukan sikap dan tindakan yang justru berpotensi negatif dan destruktif.

Iman kepada hari akhir jika mampu diinternalisasi nilai dan maknanya dalam diri sebagai prinsip dan modal kehidupa, maka segala sikap dan tindakan kita orientasinya, bukan hanya bermuara pada kepentingan duniawi dan material semata. Namun, segalanya sikap dan tindakan selain diorientasikan untuk memberikan hal positif, produktif, dan konstruktif bagi kehidupan dunia, terutama akan diharapkan untuk orientasi akhirat sehingga ukurannya akan senantiasa diupayakan dalam bingkai rida Allah. Sebagai berbicara akhirat itu sudah pasti harapan utamanya adalah surga bukan negara. Sedangkan berharap surga itu sangat tergantung dari rida Allah Swt atas segala sikap dan tindakan kita di dunia

Iman kepada Qada dan Qadar akan menanamkan prinsip sebagaimana firman Allah QS. Al-Qamar [54]: 49 “Sesungguhnya, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran”. Makna fungsional dari rukun iman jika dijadikan sebagai prinsip adalah akan tumbuh subuh keikhlasan, ketulusan, kesabaran, ketenangan, dan kebahagiaan hidup seperti apa pun takdir yang dihadapi dan dijalani.

Tulisan ini hanya refleksi sederhana dari apa yang saya pahami dari rukun iman yang di dalamnya mengandung harapan agar kehidupan yang kita jalani bisa lebih baik dari hari ke hari.

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital & Kebangsaan.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UNIMEN

Leave a Reply