Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Profesor Kehormatan

×

Profesor Kehormatan

Share this article

Oleh: Irwan Akib (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah)

Kamis,10 April 2025, saya menghadiri undangan pengukuhan guru besar,  Prof. Dr. Jebul Suruso, S.Kep, Ns, M.Kep yang juga merupakan Rektor Univeristas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) di Auditorioum Ukhuwah Islamiah Kampus UMP. Prof. Jebul dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang ilmu majanemen keperawatan.

Acara pengukuhan dihadiri beberapa tokoh nasional dan kerabat Prof. Jebul,  hadir antara lain Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si berserta ibu Dr. Sitti Noorjannah Djohanti, M.Si,  Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.Ap (Penasehat khusus Presiden Bidang Haji/Ketua PP Muhammadiyah), Prof. Dr. Fauzan, M.Pd (Wamen Diktisaintek), Dr. Fajar Riza Ulhaq (Wamen Pendidikan Dasar Menengah), Datuk Zuraidah (tokoh politik dan pengusaha dari Malaysia), Ketua dan mantan Ketua Majlis Diktilitbang PPM,   serta para rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah (PTMA) dari seluruh Indonesia yang sehari sebelumnya telah hadir pada kegitan Forum Rektor PTMA.

Pada kesempatan pengukuhan tersebut Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PPM) menyampaikan amanah, yang menenkankan pentingnya kehadiran PTMA dalam memberikan kontribusi bagi kepantingan ummat dan bangsa. PTMA diharapkan dapat melahirkan riset-riset yang dapat memberi kontribusi bagi pengembangan ilmu dan juga memberi kontribusi bagi kesejateraan masyarakat, bagi kepentingan ummat, dan bangsa.

Selain itu, Prof. Haedar menekankan pula agar PTMA tidak ikut-ikutan memberikan profesor kehormatan, bahkan beliau mengulang dan memberi penekanan khusus masalah profesor kehormatan ini. Beliau mengatakan bahwa anggap ini instruksi dari Ketua Umum PPM walaupun  belum ada surat resmi dari PPM. Beliau menegaskan bahwa profesor itu melekat pada profesi dan institusinya.

Keesokan harinya, saya diwanacarai oleh wartawan CNN via telepon sebagai Ketua PPM yang membidangi Pendidikan, Seni Budaya, dan Olahraga. Saya menekankan bahwa apa yang disampaikan ketua umum tersebut adalah hal yang sangat logis karena sesungguhnya profesor itu bukan gelar tetapi jabatan/pangkat akademik dari seorang dosen, dan untuk mendapatkan pangkat atau jabatan akademik tersebut ada prosesdurnya. Jabatan tersebut memiliki jenjang yang terdiri dari asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan guru besar (profesor), sehingg menjadi aneh bila ada yang tiba-tiba mendapatkan jenjang pangkat akademik tertinggi tanpa melalui jenjang jabatan sebelumnya walaupun diembel-embeli dengan kata kehormatan, yang makna kehormatan itu sendri sering disalahgunakan sehingga pemakainya menjadi tidak terhormat.

Pengangkatan profesor kehormatan di suatu perguruan tinggi berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Tekonilogi, Nomor 38 Tahun 2021. Yang sebelumnya telah lahir Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pengangkatan Profesor/Guru Besar Tidak Tetap pada Perguruan Tinggi Negeri, yang kemudian keluar lagi Peraturan Menteri Nomor 88 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Dosen Tidak Tetap dalam Jabatan Akademik di PTN. Peraturan menteri  ini sekaligus menegaskan tidak berlakunya lagi Permen Nomor 40 Tahun 2012. Sehingga dengan demikian, profesor kehormatan secara yurudis memiliki dasar hukum.

Permen Dikbudristek No. 38 Tahun 2021 Pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa profesor kehormatan adalah jenjang jabatan akademik profesor pada perguruan tinggi yang diberikan sebagai penghargaan kepada setiap orang dari kalangan non akademik yang memiliki kompetensi luar biasa.

Memaknai bunyi pasal 1 ayat 2 tersebut di atas, dapat kita simak, bahwa profesor itu adalah jabatan akademik, bukan gelar akademik layaknya sarjana, magister dan doktor yang melekat pada orang yang telah memperoleh gelar tersebut. Sebagai jabatan akademik, profesor memiliki masa waktu tertentu sehingga dengan sendirinya berakhir apabila yang bersangkutan tidak lagi menyandang sebagai dosen atau akademisi di kampus. Oleh karena itu, penggunaan jabatan profesor harusnya hanya bagi orang-orang yang berkecimpung dalam dunia akademik.

Keberadaan peraturan menteri yang memungkinkan seseorang di luar akademisi dapat diberi profesor kehormatan dengan persyaratan tersebut, ya, secara yuridis memiliki dasar hukum, namun secara etika perlu dikaji lebih mendalam. Apakah etis orang yang bukan dari kalangan akademisi, karena dengan keahliannya tiba-tiba mendapatkan jabatan akademik tertinggi dengan sebutan profesor kehormatan. Sedangkan, para akademisi untuk mendapatkan jabatan tersebut harus berjenjang mulai dari asisten hingga profesor dengan persyaratan yang demikian ketat, yang tentu keahlian mereka tidak diragukan.

Sesungguhnya untuk apa mereka harus diberi jabatan kehormatan sebagai profesor kehormatan dengan kompetensi luar biasa yang mereka miliki? Apa tidak cukup instansi atau lembaga terkait dengan keahlian atau komptensi yang bersangkutan memberikan penghargaan? Apakah itu semacam award atau penghargaan yang lebih tinggi lagi dengan sejumlah fasilitas yang sesuai dengan komptensi dan kontribusi yang bersangkutan tanpa harus diberi embel-embel akademik yang harus nempel di depan nama yang bersangkutan.

Sedangkan untuk kegiatan akademik, apa bila yang bersangkutan sangat dibutuhkan komptensinya dapat diundang memberikan kuliah umum. Selain itu, untuk durasi yang lebih lama lagi,  diundang sebagai dosen tamu untuk memberikan kuliah kepada mahasiswa sesuai bidang dan kompetensi yang bersangkutan.

Memang maraknya penggunaan gelar baik gelar akademik maupun gelar lainnya menjadi fenomena tersendiri di tengah masyarakat. Sebagian dari kita masih menghargai orang sesuai gelar dan status sosialnya. kita memandang seseorang bukan pada kualitas yang mereka miliki tetapi pada gelar, jabatan, dan pangkat yang mereka miliki. Sehingga tidak sedikit juga orang yang ingin selalu dipandang ”terhormat”, sangat membutuhkan embel-embel gelar melekat pada namanya, bahkan tidak sedikit yang tersinggung atau marah bila gelar terserbut tidak diikutkan pada namanya, yang dengan demikian bukannya menjadi terhormat tetapi sebaliknya dengan kemarahan dan ketersinggungan tersebut membuatnya dia menjadi ”tidak terhormat”.

Mental feodal masih melekat di sebagian masyarakat kita, yang anehnya mental feodal ini bukan hanya ada pada masyarakat awam tetapi juga justru menghinggapi masyarakat terpelajar. Bahkan sangat memungkinkan ada seseorang yang telah memiliki gelar akademik tertinggi tetapi masih bermental feodal.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UNISMUH MAKASSAR

Leave a Reply