Oleh: Agusliadi Massere*
Sekilas, jika mengedepankan pikiran pragmatis, kita akan berkesimpulan bahwa kualitas hidup salah satunya diawali dengan “kualitas kerja”. Orang-orang yang mengedepankan paradigma pragmatik, bahkan bisa saja sampai pada kesimpulan, bukan “kualitas ibadah” yang menentukan kualitas hidup. Bagi muslim sejati, sudah pasti tidak mengedepankan paradigma yang seperti itu.
Keseimbangan kualitas ibadah dan kerja, sepertinya, berdasarkan hasil perenungan sangat menentukan atau bahkan memiliki korelasi positif terhadap kualitas hidup. Saya menjumpai dalam kehidupan keseharian, ada orang-orang yang ingin fokus ibadah demi pencapaian kualitas ibadahnya, dan bahkan besar keinginannya untuk tidak bekerja. Sebaliknya, ada pula yang karena alasan bekerja demi menunjukkan kualitas kerja, sehingga ibadah diabaikan.
Salah satu ibadah yang saya maksud, dan sangat relevan dengan apa yang telah saya ungkapkan di atas adalah puasa. Sepuluh sampai dua puluh tahun yang lalu, saya pun menjumpai orang-orang yang saya kenal, pada bulan Ramadhan ada di antaranya karena ingin fokus berpuasa, tidak mau lagi bekerja. Dan sebaliknya, ada pula karena alasan sedang bekerja, dirinya tidak mau melaksanakan ibadah puasa.
Padahal, berdasarkan pengalaman pribadi, yang mungkin sifatnya sangat subjektif pada saat berpuasa justru terjadi peningkatan kualitas bahkan kuantitas kerja dan/atau kinerja. Masih kuat terpahat dalam ingatan pada waktu masih menempuh pendidikan bangku sekolah menengah pertama dan berlanjut pada masa sekolah menengah atas. Pada saat itu, setiap bulan Ramadhan pun saya bekerja, baik sebagai buruh tukang las maupun sebagai buruh bangunan. Saya melakukan pengamatan sederhana dan sangat terasa, ternyata energi kerja saya, jauh lebih besar pada bulan Ramadhan ketimbang di luar bulan Ramadhan.
Awalnya, ini terkesan sangat subjektif apalagi, saya pun tidak pernah melakukan riset serius untuk menemukan relasi dan korelasi positif antara puasa dan kualitas kerja. Tetapi membaca beberapa referensi, meskipun secara tidak langsung membahas tema di atas, saya mencoba menarik garis relasi dan relevansi antara keduanya: puasa, dan kualitas kerja. Sebelum saya menghamparkan argumentasi yang menguak garis relasi atau relevansi dari keduanya, saya ingin memaparkan beberapa terkait kerja, motivasi kerja, dan berbagai determinannya.
Dari Jamil Azzaini, dkk., penulis buku Kubik Leadership: Solusi Esensial Meraih Sukses dan Hidup Mulia, menegaskan kekuatan 3 AS. Yang dimaksud Jamil, dkk., sebagai kekuatan 3 AS adalah kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas. Saya sepakat—meskipun kadar keilmuan saya belum sampai pada tingkatan otoritatif untuk memberikan penilaian terhadap konsepsi Jamil, dkk.,—bahwa tidak cukup dengan hanya mengedepakan “kerja keras”. Dibutuhkan dua jenis kerja lainnya: “kerja cerdas” dan “kerja ikhlas”. Jadi untuk mencapai kualitas kerja atau kinerja yang baik dan berkualitas maka syaratnya kekuatan 3 AS tersebut.
Secara sederhana dengan membaca buku Kubik Leadership, kita akan memahami bahwa “kerja cerdas” itu dua “ber” yang paling banyak dipergunakan yaitu “berilmu” dan “bersyukur”. Dan dalam memaksimal “kerja cerdas” ini, sebagaimana pandangan Jamil, dkk., memaksimalkan empat mesin kecerdasan: mesin Sensing, mesin Thinking, mesin Intuiting, mesin Feeling, dan mesin Instinct (STIFIn).
Kerja ikhlas, dari buku Kubik Leadership, saya memahami sebagai suatu usaha yang untuk mendapatkan hasil menggunakan kesucian hati. Siapa saja yang bekerja dengan ikhlas, itu berarti membuat energi negatif yang ada. Dan perlu pula kita pahami bahwa, kerja ikhlas yang bernilai tinggi adalah yang diawali dengan “kerja keras” dan “kerja cerdas”.
Yang harus pula dipahami, bahwa dalam bekerja seringkali kita memiliki dorongan tersendiri. dorongan ini bisa berupa to have (keinginan untuk memiliki), to be (keinginan untuk menjadi / berprestasi), dan to valensi (keinginan untuk meningkat potensi diri dan memberikan manfaat sebanyak mungkin dalam kehidupan).
Selain itu, saya terinspirasi dari Bobby DePorter & Mike Hernacki, penulis buku Quantum Learning. Hal inspiratif yang saya maksud, bisa diparafrasekan seperti ini “jika kita ingin menjatuhkan pilihan pada sesuatu, dan memaksimalkan diri untuk mengerjakan/melakukannya (tentunya ini akan bermuara pada kualitas kerja dan/atau hasil), maka kita harus merumuskan sebanyak mungkin, yang oleh DePorter & Hernacki menyebutnya “AMBak”. AMBak adalah singaktan dari “Apa Manfaatnya Bagiku”. Semakin banyak “AMBak”-nya, maka selain akan menjatuhkan pilihat terhadap sesuatu itu, kita pun akan semakin tekun melakukannya, sehingga secara otomatis akan menjamin pencapaian kualitas.
Dari hamparan argumentasi yang telah diuraikan di atas, mungkin pembaca akan berkata “lalu di mana relasinya dengan puasa?”
Dalam sosiologi agama, saya menemukan bahwa dorongan terkuat dalam diri manusia untuk menjalani proses kehidupannya, adalah sesuatu yang dimaknai “spiritualitas”. Demokrasi liberal, dan Kapitalisme yang dinilai “sekuler” saja, di dalam dirinya terdapat “basis nilai” yang bisa dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat “spiritual”. Dari Francis Fukuyama, saya menemukan bahwa basis “spiritualitas” demokrasi liberal adalah—yang dalam falsafah Plato—dinamakan “thymos” (keinginan untuk diakui, dihargai, dan persamaan hak). Sedangkan Kapitalisme, kita bisa memahami dari Max Weber, bahwa basis spiritualitasnya adalah “calling”. Weber menegaskan calling (memanggil) memiliki konotasi religious sebagai tugas yang dimandatkan oleh Tuhan.
Untuk apa, penulis memaparkan pandangan Fukuyama, dan Weber di atas? Apa lagi relasi dan relevansinya dengan puasa? Saya sesungguhnya ingin menegaskan terkait bukti kuatnya dorongan spiritualitas dalam menjalani hidup dan kehidupan. Selain itu, saya pun ingin menegaskan bahwa sesuatu, yang sekilas terkesan “sekuler” masih memiliki basis spiritualitas. Dan saya pun menegaskan, bahwa di luar Islam pun memandang penting peran “spiritualitas”.
Puasa, terutama yang dilakukan pada bulan Ramadhan sejatinya memiliki basis spiritualitas yang kuat. Apa lagi dalam bulan Ramadhan ini, miliaran umat Islam yang secara bersama-sama menjalankannya, sejatinya frekuensi-frekuensi yang terpancar dari orang-orang yang berpuasa membentuk satu titik pusat energi yang selanjutnya memancarkan kembali energi dahsyat tersebut ke dalam diri umat Islam. Frekuensi dan “pancaran-kembali” atas energi yang ada relevan dengan law of attraction.
Saya yakin, tidak ada yang bisa membantah pernyataan Prof. Haedar Nashir, bahwa secara verbal syariah, puasa memang dimaknai “…menahan diri dari makan, minum dan pemenuhan kebutuhan biologis dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Tetapi secara hakiki menahan hawa nafsu atas dunia”. Sehingga dorongan bekerja yang dilandasi “to have” yang berlebihan dan seringkali memantik egoisme, individualistik, kerakusan khususunya, dan selanjutnya mengurangi kualitas kinerja, terutama dalam sebuah lembaga, itu bisa di atas dari makna hakiki puasa yang diungkapkan oleh Haedar.
Berpuasa itu akan menanamkan satu nilai dalam diri untuk senantiasa memuarakan atau membingkai segala yang dilakukannya dalam nilai ibadah—yang dalam pandangan teori konsep diri dan visi-misi hidup yang saya susun sendiri—menyebutnya “ridho Allah”. Sejatinya baik ketika sedang berpuasa maupun setelah berpuasa, maka bekerja pun senantiasa diarahkan dalam bingkai ibadah/ridho Allah. Mengarahkan segala aktivitas, pekerjaan, atau apapun yang kita kerjakan kea rah Ridho Allah, hal ini bisa melampaui konsepsi “AMBak”-nya DePorter & Hernacki.
Berpuasa, bisa dipastikan bahwa orang yang bersangkutan, hatinya akan senantiasa tertaut pada ingatan akan kehadiran Allah. Mengingat Allah, sebagaimana janji Allah, hati akan tenteram. Dan jika merujuk pada skema yang dirumuskan oleh DePorter & Hernacki dalam buku karynya Quantum Learning, yang bisa membangkit kedahsyatan otak adalah hati yang tenteram. Meskipun saya sering menyebutnya “suasana hati yang TSB”. TSB itu, Tenang, Senang, dan Bahagia. Bukankan otak adalah pusat dari semua syaraf yang akan memengaruhi kedahsyatan “kerja keras” dan “kerja cerdas”.
Apa lagi mesin kecerdasan yang oleh Jamil, dkk.,—sebagaimana yang telah, saya uraikan di atas—disebutnya “STIFIn” itu sangat dipengaruhi oleh suasana hati yang tenteram. Orang-orang yang berpuasa, jika niat-niatnya benar-benar ikhlas karena Allah, maka hatinya akan selalu tenteram dan selanjutnya memengaruhi mesin kecerdasan STIFIn.
Apa lagi “Kerja Ikhlas” yang sangat mengutamakan “kesucian hati”, maka puasa—jika merujuk pada gagasan spektakuler 165 Ary Ginanjar Agustian, yang berbasis pada ihsan, rukun iman, dan rukun Islam—hati yang suci harus dilapisi dengan “besi baja” berupa rukun iman. Dan agar rukun iman sebagai “besi baja” ini tidak berkarat, tetap kokoh melindungi hati, maka wajib terus diasah dengan rukun Islam, salah satunya adalah puasa. Dalam artian, dengan berpuasa, baik langsung maupun tidak langsung mampu menjaga kesucian hati, sehingga bisa mempertahankan “kerja ikhlas” yang kedahsyatannya tidak tertandingi oleh “kerja keras” dan “kerja cerdas”.
Berpuasa pun, sebagaimana makna hakikinya adalah pengendalian “hawa nafsu”. Maka sejatinya puasa pun mengendalikan hawa nafsu yang senantiasa mendorong untuk bermalas-malasan, bekerja ala kadarnya tanpa orientasi kualitas. Saya yakin para pembaca memahami, bahwa sesungguhnya hawa nafsu pun, ada yang mengarah pada sifat malas atau agar kita bersifat malas. Malas bekerja, dan bentuk kemalasan lainnya.
Mungkin urain ini, sudah cukup panjang dalam konteks ruang berupa media online. Oleh karena itu, meskipun masih banyak hal yang bisa diuraikan, alangkah baiknya jika untuk sementara hamparan argumentasi dan perspektif ini, saya hentikan sampai di sini. Mungkin pada kesempatan lain di luar bulan Ramadhan, saya bisa menguraikannya lebih jauh dan mendalam.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.