Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Puasa Mengasah Iman

×

Puasa Mengasah Iman

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*


KHITTAH.CO, – Perjalanan hidup menuju sukses dan bahagia adalah perjalanan yang penuh dengan kompleksitas. Ada banyak pilihan, dan Allah telah memberikan kebebasan kepada hamba-Nya untuk memilih. Bukan berarti Allah tidak berkuasa untuk memaksa hamba-Nya agar cukup satu pilihan saja. Allah ingin menguji, siapa yang tetap berjalan dan menjaga fitrah kesuciannya.

Bersama kelahirannya, dalam diri manusia telah built-in seperangkat hardware dan software untuk tetap pada fitrahnya. Fitrah di sini, saya sendiri tidak sepakat untuk memaknainya seperti “tabula rasa” bagaikan kertas kosong, yang putih bersih, tidak mengandung apa pun. Fitrah manusia mengandung potensi ilahiah.

Lalu mengapa ada manusia yang sikap dan perbuatannya tidak sesuai dengan nilai-nilai ilahiah. Hal itu karena manusia telah diberikan freedom of choice (kebebasan memilih). Namun, meskipun demikian, Allah pun tetap masih memberikan pedoman dan tuntunan hidup, menciptakan satu mekanisme, hukum yang teraktivasi dalam alam semesta (makrokosmos) dan pada diri manusia (mikrokosmos). Di antara itu ada yang terlembagakan menjadi sebuah agama.

Sesungguhnya jika kita melakukan inner journey (penelesuran ke dalam diri) maka ada banyak tanda-tanda kebesaran Allah. Bukan hanya tanda, termasuk piranti yang bisa diaktivasi, dijaga, dirawat, dan difungsikan menuju ridho-Nya. Jadi sesungguhnya Allah sangat mencintai hamba-Nya.

Dalam diri manusia (mikrokosmos) terdapat segumpal daging, jika itu baik maka baiklah seluruh tubuh. Segumpal daging itu adalah hati. Hati di sini bukanlah organ tubuh yang disebut liver (hati) tetapi heart (jantung). Itulah, sehingga ketika kita menyayangi seseorang maka kita akan senantiasa mengatakan, “oh my heart” (bukan oh my liver) sambil menyentuh dada.

Meskipun demikian, beberapa buku yang pernah saya baca justru lebih rasional, jika yang dimaksud adalah otak. Untuk ini, saya masih proses pendalaman pemahaman apakah jantung atau otak yang dimaksud segumpal daging itu. Perbedaan yang ada masing-masing memiliki landasan argumentasi yang rasional.

Kita tinggalkan dulu, perdebatan apakah jantung atau otak yang dimaksud segumpal daging itu. Tetap pada hati sebagaimana pada umumnya yang kita pahami. Hati dalam pemahaman saya, memiliki dua fungsi amar ma’ruf (ajakan kebaikan) dan nahi munkar (mencegah keburukan). Jika dicermati, berarti pada hakikatnya adalah orientasi kebaikan/kebenaran.

Suara hati sebagai suara kebenaran bahkan bisa disebut God Spot (suara ilahi). Sejatinya yang senantiasa terpancar dan memengaruhi sikap dan perilaku kita adalah berdasarkan kedua fungsi di atas. Yang pada esensinya berorientasi kebaikan dan kebenaran.

Seringkali, kita tidak lagi mendengarkan suara (bisikan) hati berdasarkan kedua fungsinya tersebut. Terdengar adalah suara lain, yang justru bertentangan dengan suara ilahiah. Sebagai contoh, mungkin ada satu kesempatan, di mana ada peluang untuk mengambil secara bebas milik orang lain, lalu yang terdengar adalah suara kebenaran itu, “jangan ambil, itu bukan milikmu!” Namun pada kesempatan lain, bukan lagi suara itu yang terdengar tetapi sebaliknya, “ambillah cepat, mumpung tidak ada orang lain yang melihat!”

Pada saat suara hati, suara kebenaran tidak lagi mampu didengar, itu berarti hati kita sedang kotor, atau dalam istilah Ary Ginanjar, hati kita sedang terbelenggu. Ada tujuh yang membelenggu hati: Pertama, Prasangka negatif; Kedua, prinsip hidup yang salah; Ketiga, pengalaman negatif; Keempat, kepentingan pribadi; Kelima, sudut pandang yang sepihak dan satu aspek; Keenam, pembanding yang salah/keliru; dan ketujuh, literatur yang salah.

Meskipun tujuh belenggu hati ini menarik untuk dibahas, dan seringkali saya bawakan materinya melalui forum perkaderan dan LDK OSIS, namun saya merasa tidak cukup ruang membahas dalam konteks tulisan ini.

Saya langsung melompati satu tahapan dari konsepsi ESQ Ary Ginanjar, dengan asumsi belenggu hati telah dilakukan zero mind process, telah dilakukan penjernihan hati. Telah mampu memancarkan kecerdasan spiritualitas, telah mampu memercikkan secara empirik apa yang disebut dengan spiritualitas ihsan. Satu hal yang harus dilakukan berikutnya, hati harus dilindungi dan dilapisi “besi baja” agar tidak ternodai lagi.

Lalu apakah sesuatu itu, yang bisa diandaikan sebagai “besi baja” untuk melapisi dan melindungi hati yang telah memancarkan cahaya ilahiah. Agar tidak lagi ternodai dengan 7 belenggu hati tersebut di atas. Jawabannya adalah “iman”.

Iman yang bisa mengokohkan dan menjaga hati agar tetap memancarkan, membisikkan suara kebenarannya. Sehingga apa pun godaan yang datang, apa pun situasi yang dihadapi, kedua fungsi hati tersebut akan senantiasa hadir memberikan pedoman atau tuntunan. Di sinilah salah satu urgensi dan implikasi iman dalam hidup.

Membaca buku spektakuler Ary Ginanjar Agustian, ESQ: Emotional Spiritual Quotient (yang pada tahun 2005 saja telah tercetak sebanyak 390.000 eksamplar) kita menemukan pemahaman progresif. Iman, dan dalam hal ini termasuk enam rukun iman dipandang sebagai sebuah prinsip kokoh yang wajib dimiliki.

Derivasi daripada pemahaman rukun iman, mampu membentengi diri untuk memengaruhi kehidupan agar tetap berselancar dengan badai sekalipun. Kita mampu berjalan di atas kekuatan yang sangat kokoh.

Memahami rukun iman, yang pemaknaannya jauh berbeda dengan yang dipahami pada umumnya, saya semakin tidak membutuhkan—meskipun banyak godaan—pada ilmu-ilmu yang tidak benar seperti “ilmu hitam” dan bahkan tidak gentar menghadapi ancaman yang selalu dilekatkan dengan “ilmu hitam”. Iman atau pun keenam rukun iman itu sendiri, sesungguhnya adalah benteng yang sangat kokoh bagi siapa saja yang berlindung dibaliknya.

Selain urgensi dan implikasi iman dalam kehidupan yang telah dijelaskan, ternyata iman—bersama ilmu—adalah prasyarat yang harus dimiliki agar Allah—sebagaimana janji-Nya dalam QS. al-Mujadalah [58]: 11—memberikan keunggulan dalam hidup.

Hanya saja, iman—sebagaimana dalam “gambar ESQ Model” Ary Ginanjar—yang bisa diibaratkan bagaikan “besi baja” yang melindungi hati dan suara kebenarannya, tetap saja akan “berkarat” jika tidak dirawat dan diasah. Dan sebagaimana telah dipahami, bahwa iman itu seringkali “bertambah” dan “berkurang” atau “naik-turun”.

Iman yang terkadang “bertambah” dan “berkurang” ini, terutama jika berkurang maka di sinilah urgensi “mengasah iman”. Meskipun makna mengasah hanya makna konotatif, namun sesungguhnya saya yakin pembaca sudah memahaminya. Sebagaimana pengandaian di atas, iman bagaikan “besi baja”. Berarti agar tidak berkarat, besi baja itu tetap kokoh maka harus senantiasa diasah.

Puasa, apalagi puasa Ramadan selama 29 / 30 hari lamanya—berdasarkan pemahaman saya dari konsepsi ESQ Ary Ginanjar—berfungsi untuk mengasah iman. Meskipun demikian, sebenarnya bukan hanya puasa yang bisa mengasah iman, tetapi pada dasarnya 5 rukun Islam, itu adalah berfungsi untuk mengasah iman agar tetap kokoh melindungi hati yang di dalamnya terdapat suara kebenaran.

Khusus bulan Ramadan, 4 rukun Islam, sangat intens mengasah iman: “rukun Islam pertama”, mengucapkan dua kalimat Syahadat, minimal dibaca 9 kali (sehari-semalam) pada saat melaksanakan shalat; “rukun Islam kedua”, mendirikan shalat, dilaksanakan 5 kali sehari-semalam; “rukun Islam ketiga”, puasa, dilakukan minimal 29/30 hari dalam setahun; “rukun Islam keempat”, mengeluarkan zakat, dilakukan minimal 1 kali setahun.

Selama bulan Ramadan, rukun Islam ini, secara intens mengasah iman. Ibarat tata surya, pusat orbitnya adalah hati dilapisi oleh 6 rukun Iman. Di luar itu, ada 5 rukun Islam yang bagaikan planet terus berotasi pada garis orbitnya masing-masing atau berdasarkan manzilahnya.

“rukun Islam kelima”, naik haji bagi yang mampu, minimal dilakukan satu kali seumur hidup juga berfungsi mengasah iman. Maka utuhlah pemahaman kita, bahwa 5 rukun Islam berfungsi mengasah iman.

Mengasah iman memiliki urgensi dan implikasi yang besar dalam hidup. Mengelaborasi perspektif Ary Ginajar, “iman” memengaruhi—dan sekaligus sebagai—“prinsip” yang sangat kuat dan tidak akan pernah goyah meski harus menghadapi berbagai rintangan dan permasalah berat sekalipun. Namun tentunya, dengan syarat harus senantiasa diasah dengan 5 rukun Islam.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply