KHITTAH.CO, – Bagaikan galaksi, di dalamnya ada satu “titik” sebagai pusat orbit. Yang lainnya beredar mengelilingi pusat orbit di atas garis orbit. Ketika terjadi perubahan kecepatan gerakan dan pergeseran sedikit saja dari garis edar yang telah ditentukan maka bisa dipastikan terjadi bencana besar. Begitu pun seluruh alam semesta ini, dunia (kehidupan) dan manusia terhadap Allah.
Ada satu ilmu yang disebut teologi (ilmu kalam) untuk mendapatkan pemahaman dan menumbuhkan kesadaran terhadap relasi manusia dengan Allah dan alam semesta. HM. Yunan Yusuf menjelaskan, teologi adalah ilmu yang membahas tentang Tuhan serta hubungannya dengan alam semesta, terutama manusia.
Pola hubungan manusia dengan Tuhannya dalam keyakinan seseorang menjadi faktor utama bagi pembentukan persepsi dunianya. Selanjutnya bisa ditegaskan bahwa ini akan menentukan watak sosial seseorang. Pada kesimpulannya, Yunan menegaskan bahwa paham teologi seseorang mempunya relevansi yang kuat dengan dinamis atau fatalisnya seseorang.
Dari penegasan di atas, setelah Allah, manusia menjadi titik sentral terciptanya harmonisasi dan keseimbangan kehidupan di muka bumi, dalam dunia, termasuk dunia dalam diskursus semiotik. Bisa disederhanakan dengan ilustrasi, bahwa baik dan buruknya kehidupan makrokosmos berawal dari baik buruknya hidup manusia dalam mikrokosmos.
Manusia yang menjadi pangkal kedamaian, harmonisasi dan keseimbangan dunia, adalah manusia yang tetap mengorbit pada titik fitrahnya. Namun, sangat disayangkan tidak sedikit yang sedang menjauh dari fitrahnya, sehingga pada akhirnya dalam kehidupan dunia, di muka bumi ini terjadi pula kekacauan yang amat dahsyat.
Hari ini dunia sedang berlari dengan kecepatan penuh, menjelajahi sampai pada titik ruang dan waktu terjauh dan tercepat. Manusia berada dalam ekstasi kecepatan sehingga logika speed is power lebih dominan daripada logika sebelumnya knowledge is power. Dunia kini adalah dunia yang sedang dilipat, menurut Yasraf Amir Piliang. Ulah manusia seakan memasang alarm bahaya, kiamat segera akan terjadi. Di antara kita ramai-ramai menolak teori evolusi Darwin—namun sesungguhnya memperhatikan narasi pencerahan Yudi Latif pagi ini melalui akun facebooknya—saya menyimpulkan kita sedang mengaktivasi hukum evolusi itu, berlaku hukum yang kuat sebagai pemenang tunggal.
Dalam kehidupan pun, telah terjadi respon dan kepanikan luar biasa terhadap krisis material daripada krisis moral. Telah terjadi pula kekacauan organisme kebudayaan. Dua contoh saja, ketika organ kepala berubah menjadi dengkul, sehingga ini yang menyebabkan manusia hari ini lebih banyak bertindak daripada berpikir. Organ mata telah menjelma menjadi otak, sehingga lebih banyak menonton daripada merenung.
Agama pun seringkali menjadi alat legitimasi atas kekerasan, pertumpahan darah dan pembunuhan (terhadap orang-orang tidak berdosa atau sulit diprediksi apa dosa/kesalahannya) yang dilakukan oleh segelintir orang. Seakan lupa bahwa pilar utama agama adalah tauhid, dan salah satu dimensinya adalah unity of creation (kesatuan penciptaan). Siapa pun dia, apapun agamanya, identitas primordial apapun yang melekat, satu yang pasti dia atau mereka ciptaan Allah juga. Tidak jauh berbeda dengan agama yang dijadikan sebagai alat legitimasi, hasrat pun telah menjadi instrumen destruktif dan kerakusan mempercepat kiamat ekologi, mengacaukan tatanan ekonomi negara dan memporak-porandakan kohesivitas sosial. Dan selain itu, keadilan sosial masih menjadi pemantik perjuangan, bahkan oleh sebagian menjadi alasan jihad. Dan tidak sedikit yang justru pesimis.
Semua ini berawal, karena kita sedang jauh dari titik fitrah manusia. Kita perlu kembali pada fitrah dan mengokoh titik fitrah agar diri kita sebagai sentral (setelah Allah) di muka bumi ini, mampu menjaga keseimbangan dunia beserta segala entitas yang melekat di dalamnya.
Fitrah manusia adalah memiliki kedekatan, telah pernah mengikrarkan sebuah komitmen dan monoloyalitas kepada Allah. Sebagaimana yang pernah saya jelaskan pada tulisan sebelumnya, bahwa irama kehidupan yang telah Allah tiupkan dalam diri manusia adalah irama “beribadah” yang dalam pemaknaan saya adalah “ridho Allah”.
Selain itu jika merujuk dalam Al-Qur’an ada empat kosakata yang mengarah pada makna manusia. Dr Asep Zainal Ausop menjelaskan secara rinci sebagai berikut: Bani Adam, al-basyar, al-insan, dan an-nas. Disebut Bani Adam, karena manusia adalah anak cucu Adam a.s; al-basyar bahwa manusia sebagai makhluk biologis yang seksdar berada (being).
Insan berasal dari kata nasiya (lupa) diarahkan kepada manusia yang dihubungkan dengan sifat psikologis dan spiritual manusia. Dan saya menilai manusia sebagai insan inilah yang membedakan manusia sebagai al-basyar. Kalau basyar hanya sekadar berada (being) maka insan harus menjadi (becoming), ada proses atau upaya untuk terus mengalami dan menciptakan kehidupan yang lebih maju.
An nas sebagai jamak dari kata insan yang diarahkan kepada segenap manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial kolegial. Yang saya garisbawahi di sini kata sosial kolegial. Itu berarti bahwa kita bukan hanya sekadar menjadi bagian dari kehidupan sosial karena secara material ada hal yang dibutuhkan dari dia atau mereka. Lebih daripada itu ada kedekatan, keakraban, perasaan yang diikat oleh ikatan yang lebih kokoh seperti kesadaran unity of creation.
Selain daripada itu dari sosial kolegial ini, relevan dengan satu aksioma dalam sistem sosial, bahwa setiap pilihan sikap dan perilaku mengandung konsekuensi tertentu. Dan setiap konsekuensi, seringkali bukan hanya berimbas kepada pelaku tetapi bisa kepada yang lainnya, ibarat galaksi, pergeseran satu planet atau benda langit dari garis orbitnya, mengancam atau mengganggu tatanan planet lain. Di sinilah pula dibutuhkan kesadan dakwah dan kesadaran manusia sebagai an-nas.
Kesadaran akan ikrar komitmen kepada Allah di alam arwah dan pemahaman tentang manusia itu sendiri menjadi modal utama untuk tetap pada titik fitrah. Karena sesungguhnya di sinilah fitrah manusia. Begitu pun dari sini, telah tersirat manusia sebagai makhluk berakal.
Lalu apa relasi puasa Ramadan yang dipandang sebagai mekanisme teologis kembali ke titik fitrah? Secara teologis sebagaimana QS. Al-Baqarah [2]: 183. Manusia sedang diingatkan bahwa atau diajak kembali mengorbit kepada “komitmen ilahiah”, atau ”kesadaran ilahiah” dengan satu panggilan “orang beriman”. Ini mengingatkan kita bahwa sesungguhnya kita orang beriman. Ada Allah sebagai garis orbit utama. Jika galaksi memiliki pusat orbit, kumpulan galaksi pun memiliki pusat orbit. Komitmen dan kesadaran, penting untuk dikembalikan dengan mekanisme teologis melalui puasa. Apalagi kehidupan hari ini, menurut Yasraf Amir Piliang, “secara historis ada tiga fase ‘kehadiran’ Tuhan di dunia, yang secara berurutan menunjukkan semakin menjauh dan ‘menghilang’-nya Tuhan” yaitu fase, teosofi, teknosofi, dan libidosofi.
Teosofi, dunia dipenuhi oleh representasi dan kehadiran Tuhan. Teknosofi, kehadiran Tuhan ditandingi oleh kehadiran teknologi. Dan libidosofi dunia dikuasai sepenuhnya oleh ide-ide, gagasan, citra, objek dan merupakan refleksi dari hasrat-hasrat manusia. Dalam fase ini, seringkali “kehadiran” Tuhan tidak dibutuhkan.
Dengan berpuasa Ramadan selama 29 / 30 hari dan harapannya itu menjadi karakter yang mewarnai perjalanan hidup 11 bulan lainnya di luar Ramadan. Teosofi, kehadiran Tuhan (saya lebih nyaman menyebut Allah) semakin massif, intens dan kokoh selama menjalankan puasa Ramadan. Untuk kembali memberikan titik keseimbangan dari pengaruh teknosofi dan libidosofi yang membuat manusia jauh bahkan menghilangkan Allah dalam hidupnya.
Dan saya tegaskan sebagai sebuah mekanisme teologis. Yang mungkin saja, kata “mekanisme” adalah diksi yang kurang tepat dilekatkan pada kata “teologis”. Saya menggunakan diksi “mekanisme teologis” dengan harapan bahwa kita tidak boleh juga terlalu ekstrem untuk fokus hanya urusan spiritualitas semata dan meninggalkan urusan dunia. Perlu ada keseimbangan sebagai nilai atau pesan wasatiyatul Islam (sebagaimana tulisan saya sebelumnya, “Puasa sebagai Madrasah Wasatiyatul Islam”).
Teologi yang saya maksud di sini dan mampu mengembalikan fitrah manusia untuk tetap berada pada titik keseimbangan adalah jenis teologi rasional, bukan teologi tradisional sebagai antitesa. Ciri-ciri teologi rasional: (a) hanya terikat pada ajaran yang dengan jelas dan tegas disebut oleh nash-nash qath’y; (b) memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat kepada manusia; (c) meletakkan daya kuat pada akal; dan (d) memahami kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan terbatas oleh kebijaksanaan Tuhan sendiri (Yunan, 2010).
Memilih teologi rasional, menjadi penting untuk menjaga fitrah manusia dan fitrah kehidupan ini. Fitrah manusia juga merupakan makhluk biologis, sehingga harus memperhatikan kebutuhan biologis bukan hanya spiritulitas. Manusia juga makhluk sosial, sehingga tidak boleh anti dunia atau memandang dunia sia-sia, tetapi harus eksis, dengan kekuatan akal untuk terus berkarya demi kemajuan kehidupan dunia.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhamadiyah Bantaeng, Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.