Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LingkunganOpini

Puasa sebagai Madrasah Wasatiyatul Islam

×

Puasa sebagai Madrasah Wasatiyatul Islam

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO, – Dari video pencerahan singkat (berdurasi 30 detik) Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA (Rektor UIN Sumatera Utara), saya terinspirasi dan melahirkan judul tulisan ini. Secara esensial Prof. Syahrin menegaskan “dalam kehidupan manusia selalu terjadi tarik menarik antara dominasi materialistik dan spiritualistik. Islam mencoba menginternalisasi ajaran keseimbangan melalui puasa sebagai pesan wasatiyatul Islam.

Dari tarik menarik ini, saya menemukan kecendrungan untuk berada pada pendulum ekstrem. Untuk konteks pencerahan Syahrin di atas: ada yang ekstrem materialistik dan spiritualistik.

Sebagaimana temuan akademik Prof. M. Amin Abdullah dalam konteks beragama, umumnya umat beragama memilih pilihan either or, memilih salah satu dari dua jenis pilihan yang tersedia. Atau disebut dengan corak berpikir binary (memilih antara dua pilihan yang tersedia).

Pilihan either or maupun corak berpikir binary bukan cuma dalam konteks pemikiran keagamaan dan relasinya dengan jenis pemikiran ilmu pengetahuan umum, ilmiah atau saintifik lainnya. Termasuk hal ini terjadi dalam model gaya hidup: orientasi materialistik atau spiritualistik.

Selain Syahrin, Prof Syafiq G. Mughni, justru langsung menyimpulkan dan menegaskan “persoalan besar yang muncul di tengah-tengah umat manusia sekarang ini adalah krisis spiritulitas”. Dan baginya—berbeda dari Syahrin yang fokus pada materialistik (dalam videonya)—“kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dominasi rasionalisme, empirisme dan positivisme ternyata membawa manusia ke kehidupan modern di mana sekularisme menjadi mentalitas j[z]aman dan spiritualisme menjadi anatema kehidupan”.

Kembali fokus pada kedua pendulum ekstrem: dominasi materialisme dan spiritualisme. Jika kita mau jujur dan memperhatikan kondisi kehidupan hari ini—minimal berdasarkan keterbatasan saya dalam menemukan fenomena kehidupan secara keseluruhan—manusia lebih cenderung ke materialisme.

Fenomena yang ada terkesan, tesis Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, yang secara esensial menyimpulkan sejarah telah berakhir dan dimenangkan oleh (demokrasi) dan kapitalisme liberal, nampak nyata dalam kehidupan. Jadi nilai-nilai Islam jika meminjam tesis Fukuyama biasa dipandang sebagai ideologi yang sudah kalah dalam clash of civilization

Ini pula yang diungkap oleh Seyyed Hossein Nasr bahwa “zaman ini kita dihadapkan pada paradoks: keberlimpahan materi dan kemiskinan ruhani. Hal ini terjadi—jika merujuk pada Yasraf Amir Piliang—karena dalam diri kita ada sebuah Hasrat (desire). Yasraf menegaskan Hasrat itu adalah sebuah mekanisme psikis di dalam diri manusia, yang selalu menuntut pemenuhan setiap dorongannya akan kepuasan (pleasure).

Dalam hasrat sebagai sebuah potensi purba manusia, hanya memiliki satu tujuan yaitu “kepuasan”. Dan dalam mekanisme kerja hasrat diperparah oleh adanya mesin hasrat yang digerakkan, didorong secara massif oleh ideologi tertentu—yang meskipun di dalamnya ada nilai dan moralitas—tetapi cenderung mengabaikan kehadiran agama (bahkan nilainya sendiri) sebagai sesuatu yang dipandang bisa mengendalikan, mencegah dan membatasi hasrat.

Dan oleh ideologi tertentu—kapitalisme dan konsumerisme—hasrat ini “dimainkan” sehingga semakin mencapai titik ekstrem. Saya memahami dari Yasraf—dalam pemenuhan kebutuhan, sesuai konteks tulisan ini—pemenuhan kepuasan (kebutuhan dan/atau konsumsi) tidak lagi sekadar berdasarkan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi utilitas.

Pemenuhan kepuasan (kebutuhan dan/atau konsumsi) sangat berkaitan dengan unsur-unsur simbolik sosial tertentu. Cara pemenuhan kebutuhan material mengekspresikan posisi sosial dan identitas kultural seseorang di dalam masyarakat. Atau Yasraf menyebutnya sebagai fungsi “diferensiasi sosial”

Khsusunya sebelum masa pandemi Covid-19, saya menemukan fenomena pemenuhan kebutuhan (contoh kebutuhan konsumsi/makan-minum) bukan hanya sekadar menunjukkan untuk memenuhi dahaga atau rasa lapar. Tetapi apa yang dikonsumsi oleh sebagian orang harus (dan bahkan terkesan ‘wajib’) memenuhi fungsi “diferensiasi sosial”. Jadi bukan memenuhi kebutuhan untuk fungsi utilitas tetapi akan menentukan status sosial.

Sebagai contoh sederhana saja, minum kopi bukan hanya sekadar untuk memenuhi selera dan kebutuhan utilitas tubuh terkait kopi. Tetapi tempat di mana minum kopi, dengan siapa yang sering ditemani ngopi (minum kopi) tujuannya adalah memenuhi fungsi “diferensiasi sosial”.

Terkait cara pemenuhan kepuasaan dan kebutuhan,—berdasarakan temuan akademik Yasraf—“salah satu perubahan sosial yang menyertai kemajuan ekonomi di Indonesia belakangan ini adalah berkembanngya berbagai gaya hidup, sebagai fungsi dari diferensiasi sosial”.

Hal di atas merupakan sisi lain yang menunjukkan kecenderungan pada pendulum ekstrem “materialistik” atau dominasi materialistik. Pada sisi lain, tentunya bisa juga ditemukan, meskipun jika saya pribadi sangat jarang menemukan ada juga yang akan memilih “ekstrem” spiritualistik. Yang bisa saja akan menolak bahkan mengharamkan produk kebutuhan konsumsi tertentu bukan hanya karena pertimbangan teologis, tetapi siapa yang memproduksi.

Selain indikator dominasi spiritualistik, bisa saja ada fenomena “hijrah” yang harapan besarnya adalah agar dominasi spiritualistik lebih menghegemoni daripada dominasi materialistik. Hanya saja jika saya pribadi, dominasi spiritualistik atau tepatnya kecendrungan, masih perlu berhati-hati.

Saya memandang perlu berhati-hati, karena ideologi-ideologi yang memainkan/menjalankan mesin hasrat ini sangat lihai. Masih bisa berupaya menjadikan “agama” sebagai komoditi, sehingga tidak salah jika ada kesimpulan bahwa agama hanya sebagai “religion tainment” atau agama hanya sebagai “pseudo religious”. Terkait ini, dalam kehidupan bisa dengan jelas menemukan fenomenanya.

Islam yang sesungguhnya secara esensial mengandung ajaran-ajaran yang moderat—salah satunya melalui bulan Ramadan, melalui puasa Ramadan bermaksud atau diharapkan untuk mampu menginternalisasi ajaran keseimbangan sebagai sebuah pesan wasatiyatul Islam.

Saya menemukan dengan sangat jelas pesan wasatiyatul (moderasi) dalam ajaran Islam. Islam moderat sesungguhnya mampu mengintegrasikan antara wahyu dan akal. Islam adalah agama yang rasional. Islam sesungguhnya tidak anti dengan kemajuan peradaban yang identik dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Islam sebagai agama pada dasarnya memiliki fungsi untuk membatasi hasrat. Begitupun puasa, salah satu makna esensialnya adalah menahan dan mengendalikan diri, terutama kecenderungan yang sifatnya material.

Dari sini bulan Ramadan atau puasa bisa dipandang sebagai madrasah wasatiyatul Islam. Sebagai sebuah wadah, momen pembinaan, melatih pengendalian diri sampai akhirnya tercapai karakter (dalam konteks bahasa QS. Al-Baqarah [2]: 183 adalah takwa) untuk terwujud dalam diri sebuah habitus, kebiasaan yang mampu menyeimbangkan antara kebutuhan material dan spiritual dalam diri.

Puasa dalam bulan Ramadan tentu dipandang pelaksanaannya tidak bersifat personal tetapi kolektif umat Islam, sehingga sebagai madrasah, maka akan melahirkan tradisi, perilaku yang mampu menyeimbangkan antara kebutuhan material dan spiritual.

Tanpa perlu mencari landasan teoritik, semua akan memahami bahwa sudah tepat puasa sebagai madrasah wasatiyatul Islam, atau madrasah yang akan menyampaikan pesan dan nilai pentingnya keseimbangan.

Dan tidak hanya berhenti pada pesan dan nilai pentingnya keseimbangan semata, tetapi menjadi aktus yang nyata selama 29 / 30 hari. Sehingga jika memperhatikan tentang filosofi habits, charger kehidupan yang saya tulis pada hari –hari sebelumnya. Puasa bukan hanya membangun kebiasaan dan meng-charge dimensi fisik (material) tetapi termasuk dimensi psikologi-spiritualistik.

Dalam puasa tepatnya bulan Ramadan, proses ta’lim, ta’dib dan tarbiyah berjalan dengan baik meskipun tidak jelas siapa yang berperan sebagai mu’allim, muaddib dan murabbi. Bisa masing-masing kita secara personal atau kolektif berperan sebagai ketiga aktor tersebut sebagai bagian penting dari sebuah madrasah.

Lagi pula—meskipun saya tidak merinci—dalam puasa atau bulan Ramadhan, hal-hal yang bisa mengubah karakter (atau dalam konteks puasa secara teologis, ‘mencapai takwa’) dengan sendirinya akan dilakukan secara keseluruhan yaitu: ada dimensi dakwah, uswah, riyadlah, reward and punishment (dengan pelipat gandaan pahala, baik/buruk), tafakkur, tadabbur dan muhasabah.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhamadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply