Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, OPINI – Siapa pun dia, dalam perjalanan hidupnya berharap untuk sampai pada “kesuksesan” dan “kebahagiaan”. Jika menentukan cukup satu modal saja, maka saya menjawabnya “kecerdasan”. Meskipun kecerdasan yang saya maksud tidak tunggal, seperti intellectual quotient (IQ) saja.
Dalam perjalanan sejarah manusia modern, menggunakan rentang waktu yang cukup panjang untuk mengagungkan-agungkan kecerdasan intelektual. Bahkan dalam dunia pendidikan Indonesia, ini sangat terasa. Barometer penilaian, satu-satunya yang menentukan segala perjuangan di bangku akademik, sukses adalah intellectual quotient . Meskipun akhir-akhir ini, sudah mulai mendapatkan perhatian serius untuk jenis kecerdasan lainnya.
Sebenarnya dari aspek “harapan”, pendidikan Indonesia telah menyadari pentingnya mengintegrasikan banyak kecerdasan, bukan tunggal intellectual quotient (kecerdasan intelektual). Teori Taksonomi Bloom menyebut tiga ranah: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dan ini yang sering dilakukan oleh para pendidik/guru-guru kita. Meskipun demikian dalam sistem pendidikan ada hal paradoks, sebagaimana disebutkan di atas.
Mengarungi hidup untuk sampai pada dua muara harapan besar, “sukses”, dan “bahagia”, mempersyaratkan aktivasi dan keseimbangan tiga kecerdasan, intellectual quotient (IQ), emotional quotient (EQ), dan spiritual quotient (SQ).
Buku karya Ary Ginanjar Agustian, menjadi referensi terbaik—minimal menurut saya—untuk memantik kesadaran pentingnya keseimbangan tiga kecerdasan tersebut. Meskipun saya menyebut tiga jenis kecerdasan saja, bukan berarti saya sedang menafikan teori multiple intelligence Howard Gardner. Tiga jenis kecerdasan di atas, sangat tepat untuk mewakili secara keseluruhan jenis kecerdan yang paling dibutuhkan dalam kehidupan.
Dari berbagai hasil penelitian, telah terbukti bahwa emotional quetiont (kecerdasan emosional) signifikansinya jauh lebih besar daripada intellectual quotient (kecerdasan intelektual). Kecerdasan intelektual diakui mampu mengantarkan diri untuk mencapai keberhasilan, hanya saja untuk mencapai puncak prestasi, kecerdasan emosional menghadapi persaingan yang berat.
Setelah mencapai puncak prestasi, tidak sedikit yang merasakan perasaan “kosong”. Bagi saya, inilah yang menyebabkan di beberapa negara, kasus bunuh diri sangat tinggi, dan tidak sedikit di antara orang-orang yang memiliki harta melimpah dan jabatan yang cukup bagus. Ini disebabkan karena mereka tidak cerdas atau tidak memiliki spiritual quotient (kecerdasan spiritual).
Untuk mudah dipahami, saya mendeskripsikan bahwa, kecerdasan intelektual itu kemampuan logistik dan rasional untuk menyelesaikan segala sesuatu yang bersifat teknis atau berwujud keterampilan (skill). Seperti kemampuan merakit dan/atau membuat motor sampai kendaraan super canggih, merakit dan menjinakkan bom, dan lain-lani.
Kecerdasan emosional, dalam bahasa agama bisa diistilahkan habluminannas, hubungan baik dengan sesama manusia. Untuk ini saya sering menyampaikan bahwa tidak cukup dengan indikator, tutur kata baik, sopan, atau sering memberikan pujian. Meskipun demikian, bukan berarti itu buruk. Lebih dari itu, di antaranya ada kesadaran pentingya kolaborasi, kolektif-kolegial, kemampuan saling memberikan motivasi, berbagi inspirasi, kemampuan adaptasi, empati dan disiplin.
Kecerdasan spiritual, dalam bahasa agama biasa juga diistilahkan hambluminallah, hubungan kepada Allah. Terkait kecerdasan ini, saya sering membuat dua jenis pemaknaan: Pertama , keterampilan memetik hikmah/ibrah dalam setiap kejadian atas dasar kesadaran ilahiah, “bahwa dalam segala hal, Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk diri hamba-Nya”; dan kedua, seperti intensitas dan kesungguhan kita dalam ibadah vertikal, dan kemampuan menarik nilai untuk selanjutnya menjiwai kehidupan sosial. Kecerdasan ini bisa berwujud kepasrahan dan keikhlasan serta kemampuan memetik makna/ibrah kehidupan.
Ada orang cerdas secara IQ, tetapi sangat lemah dari EQ dan SQ. Biasanya orang ini, tidak bertahan menghadapi gempuran persaingan dunia. Di sinilah posisi oknum para koruptor. Saya pernah diprotes terkait urgensi membaca atau literasi, karena dia menemukan bukti bahwa Indonesia banyak orang cerdas tetapi buktinya orang-orang yang korupsi adalah orang cerdas. Maka jawabannya, mereka hanya unggul di IQ, lemah untuk kedua kecerdasan lainnya.
Ada orang cerdas secara EQ, tetapi sangat lemah dari IQ dan SQ. ini tidak serta merta menjadi modal baik dalam mengarungi kehidupun. Karena berdasarkan perenungan saya dengan berbagai literatur dan referensi pengalaman empiris, bisa bermuara pada dua hal, “dibodohi/ditipu” atau sebaliknya “membodohi/menipu”.
Ketika kecerdasan spiritulitas dominan tanpa ditunjang kecerdasan emosional dan intelektual, seringkali menghadirkan dogmatisme agama dalam hidupnya. Mengungkung diri dari realitas sosial, dan memandang dunia tidak penting.
Masih sangat jelas dalam ingatan, suatu peristiwa beberapa tahun lalu di sebuah kampung di Kabupaten Bantaeng. Ada orang, pada malam hari tiba-tiba mendatangi rumah seorang warga, dengan tutur kata yang baik dan sopan dengan kondisi yang mendukung, membuat tuan rumah berempati.
Harapan tamu untuk menginap di rumah tersebut, diizinkan. Singkat cerita, apa yang terjadi? Esok hari, setelah tuan rumah bangunan, tamu tersebut sudah tidak ada, tidak ada, dan termasuk motor milik tuan rumah ikut hilang. Tamu itu memiliki EQ yang tidak maksimal, ditunjang IQ tetapi lemah dari SQ.
Terkadang pula, dan saya yakin di antara para pembaca, pernah melakukan, pada saat kita mau menjelajah keluar dari pekarangan rumah, kita menemukan ban kendaraan sedang bocor. Bagi yang memiliki SQ rendah akan spontan mengatakan, ini tanda-tanda sial. Tetapi bagi yang memiliki SQ tinggi maka dia akan mengatakan “mungkin ini petunjuk terbaik dari Allah, untuk menyiapkan hal lainnya dalam perjalanan”.
Ada kisah lainnya, dan saya rasa tidak masalah jika saya menyebut bahwa ini kembali terjadi di daerah kami, Kabupaten Bantaeng. Beberapa tahun yang lalu, pernah terjadi suatu peristiwa, seorang perempuan minum obat nyamuk baygon, gara-gara pacarnya dimarahi sama orang tuanya. Dan saya yakin kita semua paham bahwa banyak kasus sejenis, dan mengambil jalan pintas atas kerisauan hati: bunuh diri. Ini contoh nyata SQ rendah.
Ary Ginanjar, dengan konsepsi ESQ yang luar biasa—dan hanya secuil yang bisa terungkap dalam tulisan ini—menganjurkan untuk memadukan tiga kecerdasan tersebut. baca (baca :Ary Ginanjar) mendapatkan banyak inspirasi SQ dari Danah Zohar dan EQ dari Daniel Goleman. Namun yang spektakuler dari Ary Ginanjar, tiga kecerdasan ini mendapatkan dasar yang kokoh pada Ihsan, Rukun I dan Rukun Islam, yang disingkat dengan 165.
Sama halnya, jika ditarik relasi dengan motif dan dorongan, seseorang melakukan tindakan kekerasan (bom bunuh diri). Berdasarkan penelitian, ada kesamaan motif (dorongan psikologis) yaitu merasa “kehilangan kebermaknaan hidup”. Satu hal yang bisa membantu seseorang memiliki kebermaknaan hidup adalah kecerdasan spiritual. Meskipun para aktor brainwash seolah menggunakan “agama” dan “hal spiritualitas”, saya memandang ada hal yang keliru. Dan ini berbeda dalam SQ yang diuraikan dalam ESQ Ary Ginanjar.
Dengan menjadikan 165 (1=Ihsan, 6=6 rukun Iman, dan 5=5 rukun Islam) sebagai dasar tiga kecerdasan di atas menjadi hal yang sangat kokoh untuk menjadi modal mengarungi kehidupan. Dan temuan Ary Ginanjar ini bisa dilihat sebagai temuan spektakuler pertama di dunia.
Dari hal di atas, saya menyadari bahwa Ramadan, bisa menjadi bulan aktivasi dan keseimbangan ESQ yang sangat baik. Alasan saya sederhana: Bulan Ramadan, aktivitas sampai ritual yang dilakukan mengandung dan memancarkan tiga dimensi kecerdasan tersebut. Siang saja yang dalam kajian filosofisnya dipandang sebagai hari yang mengandung “maskulinitas” dan “rasionlitas” atau “kecerdasan intelektual”, pada bulan Ramadhan, pancaran EQ dan SQ juga sangat maksimal.
Filosofi malam yang mengandung “feminitas”, “kekuatan kecerdasan emosional dan spiritulitas”, kedahsyatannya sering terabaikan. Lebih sering hanya digunakan untuk beribadah, melaksanakan “shalat Isya” saja. Meskipun ada juga secara maksimal tetap bisa dimanfaatkan, menemukan dan mendapatkan pancaran kedahsyatan malam. Dalam bulan Ramadhan berbeda 11 bulan lainnya, sebagian besar umat Islam memaksimalkan dan diharapkan mampu menyadari dan memanfaatkan the power of night tersebut.
Menurut Prof. Nasaruddin Umar, “seandainya saja Rasulullah tidak menyinergikan-positifkan antara kesedihan puncak dan suasana malam hari, belum tentu Rasulullah mengalami peristiwa Isra Mi’raj malam itu”.
Prof. Nasaruddin menemukan dasar teologis kedahsyatan malam itu melalui QS. Al-Isra [17]: 79, dan QS. Adz-Dzariyat [51]: 17). Apalagi surat dan ayat pertama (QS. Al-Alaq [96]: 1-5) diturunkan pada malam hari.
Selain hal tersebut, saya pun menemukan kedahsyatan malam, berbasis teologis pada “Sungguh bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa); dan (bacaan pada waktu itu) lebih berkesan” (QS. Al-Muzammil [73]: 6). Dalam pemaknaan sederhana saya, melalui ayat ini, selain kita akan mendapatkan pancaran kecerdasan emosional dan spiritualitas, yang bangun malam pun akan mendapatkan pancaran pemantik kecerdasan intelektual.
Jika Jamil Azzaini—seorang motivator terkemuka Indonesia—menganjurkan untuk tiga: kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas. Sesungguhnya dasar tiga jenis kerja ini ada dalam IESQ. Dan IESQ berbasis pada paradigma 165. Dan paradigma 165 memancar dahsyat dan banyak memanfaatkan umat Islam pada bulan Ramadhan.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023