Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpiniPendidikan

Ramadan Bulan Kontemplasi

×

Ramadan Bulan Kontemplasi

Share this article

Ramadan Bulan Kontemplasi

WH

Oleh Wahyuddin Halim*

Nabi Muhammad menganjurkan kaum Muslim banyak ber-ittikaf selama Ramadan, terutama di sepuluh hari terakhir. Ittikaf adalah berdiam seklusif dalam masjid guna mendekatkan diri kepada Allah. Nabi juga menyuruh mengisi malam-malam Ramadan dengan tafakur dan tahajud. Artinya, Ramadan sejatinya adalah momen kontemplatif.

Lewat laku kontemplatif, seseorang melakukan introspeksi dan refleksi spiritual yang intens. Setelah sebelas bulan memburu properti dan prestasi duniawi, Ramadan datang menawarkan diri sebagai masa jeda spiritual.

Dalam setiap agama, kontemplasi menjadi ritus terpenting, walau cara dan tujuannya beragam: menjalin harmoni hidup dengan alam, menyadari kefanaan semesta dan potensinya sebagai sumber derita, atau merajut dialog intim dengan Tuhan demi memperoleh inspirasi Ilahiah, atau bahkan “bersatu” dengan-Nya (mystical union).

Kontemplasi adalah disiplin spiritual guna memperoleh persepsi dan visi lebih jernih tentang diri sendiri, semesta, dan Tuhan. Ia menjadi etape terpenting setiap pengelana yang mengarungi perjalanan terestrial yang berat.

Orang-orang sukses besar di ranah aksi ternyata sekaligus pelaku kontemplasi yang intens. Siddharta Gautama, misalnya, menjalani meditasi berat bertahun-tahun sebelum akhirnya memperoleh pencerahan. Sebelum menerima misi kerasulan, Nabi Muhammad menjalani hidup kontemplatif selama beberapa tahun di Gua Hira. Pada kedua tokoh besar dalam sejarah dunia ini, termanifestasi harmoni antara kontemplasi dan aksi.

Alquran (3:191 & 30:8) menyebut kontemplasi (tafakkur dalam bahasa Arab) sebagai upaya merenungi dan memikiran secara mendalam eksistensi alam semesta dan diri sendiri, dan bahkan Tuhan.

Menurut Aristoteles, karena kemampuan kontemplatifnya ini, manusia dimungkinkan menyerupai para malaikat dan dapat berkomunikasi langsung dengan Tuhan. Nabi pernah bersabda, “Bertafakur satu saat lebih baik daripada beribadah tujuh puluh tahun.”

Hidup kontemplatif selalu mensyaratkan puasa dalam beragam durasinya. Puasa bukan hanya berpantang makan, minum dan seks tapi juga, menurut al-Ghazali, berbicara, melihat, mendengar, meraba, mencium, dan berpikir tentang apa pun selain Allah.

Menurut psikologi tasawuf, hanya dengan melumpuhkan fungsi-fungsi organ jasmaniahnya, seseorang mampu mendayagunakan fakultas spiritualnya demi merasakan kembali dan memandang Yang Ilahi. Puasa adalah ritual yang paling ampuh mengekang bahkan melumpuhkan keliaran organ jasmaniah ini.

Terlalu jauh tercemplung secara eksistensial dalam dunia material-temporal membuat manusia melupakan sumber dan tujuan penciptaannya. Malah banyak yang akhirnya mengingkari perjanjian primordialnya dengan Tuhan. Namun, sejauh-jauh tersesat dan melupakan janji ini, ingatan dan damba manusia terhadap Yang Ilahi takkan pernah sepenuhnya pupus.

Sebab, dalam hati manusia tertanam bibit keagamaan (semen religionis) dan rasa keilahian (sensus divinitas). “Setiap orang yang tercerabut jauh dari sumbernya,” kata Rumi dalam karya agungnya, Mathnawi, “suatu saat pasti merindukaan momen ketika dia pernah dulu bersatu dengan-Nya.” Dalam Alquran, Allah sendiri berulang kali menyebut sifat-Nya sebagai al-mashir, tujuan mudik segala sesuatu.

Karena itu, ritual Ramadan mengarahkan setiap Muslim menjalani hidup kontemplatif. Buka sebaliknya, menstimulasi akumulasi kuantitatif pahala ukhrawi lewat ritual-ritual komunal yang demonstratif. Tahajud, zikir, munajat, doa, dan ittikaf di masjid adalah ritual-ritual yang lebih berorientasi kontemplatif.

Tahajud di paruh ketiga malam, misalnya, dapat menghadirkan suasana batin yang tulus dan kudus, yang kondusif bagi terciptanya dialog interpersonal dengan Allah. Sementara zikir atau resitasi secara repetitif nama-nama Allah merupakan medium terbaik untuk menghadirkan Dia dalam hati dan pikiran.

Adapun munajat dan doa menegaskan kefakiran spiritual orang-orang beriman kepada Allah, membantu meruntuhkan sikap angkuh dan jumawa karena supremasi duniawi. Karena menjadi elemen dasar al-faqr (perasaan hina-dina di hadapan Allah), puasa sangat disukai Nabi. “Al-faqru fakhri,” kata beliau, kefakiran ruhaniah adalah kebanggaanku. Suatu refleksi kerendahhatian dan kebergantungan langgeng kepada Tuhan dari salah satu manusia teragung dalam sejarah.

Namun, sebelum memulai hidup kontemplatif, seseorang seharusnya lebih dahulu melakukan pertobatan. Sebab, doa seorang pendosa hanya memantul-mantul dalam ruang hampa. Setelah bertobat, nafsu rendah dan tarikan dunia material harus dikekang (zuhd) agar akhirnya mendapat pencerahan (ma’rifah). Untuk melewati tahap-tahap perjalanan spiritual ini diperlukan ketabahan menanggung derita.

Namun, penderitaan sejatinya adalah hadiah dari Tuhan agar manusia dapat melihat seluruh ceruk kehidupan. “Hidup,” kata S.H. Nasr, “hanyalah pergiliran kesenangan dan kedukaan.” Dan hanya mata yang seringkali dibasuh air mata lara yang bisa melihat terang kehidupan. “Untuk berkembang lagi,” kata Alexis Carrel, filsuf Prancis abad ke-20, “manusia harus membentuk kembali dirinya lewat pengalaman bersalut duka nestapa.”

Ramadan yang dijalani secara kontemplatif memungkinkan seorang Muslim merasakan momen kelahiran kembali, memperoleh kemantapan dan visi spiritual, dan menemukan inspirasi dan imajinasi intelektual guna menjalani hidup sebelas bulan berikutnya.

Puasa yang berhasil laksana siraman wewangian atas jiwa manusia yang aromanya dapat tercium jauh setelah Ramadan berakhir. Ia adalah barakah dari Allah yang menjalari diri seorang Muslim guna me-recharge energi kehidupannya sebulan dalam setahun.

*) Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL