Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Ramadan Bulan Penyucian Hati dari Prasangka Negatif

×

Ramadan Bulan Penyucian Hati dari Prasangka Negatif

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO, – Hati memiliki fungsi dan peran strategis dalam diri manusia, mengajak kepada kebaikan, dan mencegah pada keburukan. Jika hati baik, maka baiklah semuanya, begitupun sebaliknya. Pandangan ini adalah salah satunya yang tak terbantahkan dalam pemahaman umat Islam. Hati di sini adalah pemaknaan dari “segumpal daging” yang dimaksud oleh hadits Rasulullah Muhammad saw. Pada tulisan ini pun, saya kembali mengajak untuk meninggalkan sementara, perdebatan bahwa “segumpal daging” itu adalah hati (yang dalam hal ini heart bukan liver), atau otak (brain).

Dalam hidup manusia, jika harus memetakan dan menyebut, apa saja yang dibutuhkan/diharapkan, maka di antaranya pasti akan ada yang menyebut: kebahagiaan, kesehatan, dan kecukupan rezeki. Baik kebahagiaan, maupun kesehatan secara langsung memiliki relasi pada hati manusia. Dan secara tidak langsung pun, antara kecukupan rezeki punya relasi fungsional pula dengan hati manusia.

Salah satunya Allah telah menegaskan dalam firman-Nya QS. Al-Baqarah [2]: 10 “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambahkan penyakitnya itu….” Jadi penyakit hati atau bisa pula dipandang sebagai penyakit mental/psikologis/ruhaniah, bisa menimbulkan penyakit lain. Penyakit lain di sini, berdasarkan perenungan dan pengamatan pribadi saya minimal terhadap diri sendiri, bisa berupa penyakit fisik, bahkan bisa pula berupa sesuatu yang dimaknai “penyakit” dan memiliki relasi antara diri dengan yang lainnya (orang lain atau makhluk lain).

Sebagaimana tulisan saya pada hari ketujuh bulan Ramadan tahun ini, saya telah menguraikan tujuh penyakit hati yang oleh Ary Ginanjar Agustian menyebutnya “belenggu hati”. Ketika pada hari ketujuh itu, saya fokus pada penyucian hati terhadap belenggu “pembanding”, maka pada hari ini, hari kesepuluh Ramadhan, fokus pada penyucian hati dari prasangka negatif. Dan bulan Ramadan ini adalah momentum yang paling tepat dan terbaik untuk menyucikan hati.

Sebelum saya menguraikan lebih dalam terkait prasangka, saya ingin sedikit menggambarkan satu cerita menarik yang ada dalam buku ESQ Ary Ginanjar, meskipun tentunya, saya berupaya menarasikan ulang, supaya lebih singkat, dan tanpa mengurangi substansinya. Cerita ini, latarnya adalah suasana rapat dalam sebuah perusahaan besar.

Suatu pagi, pimpinan perusahaan mengadakan rapat antar departemen. Dalam suasana rapat yang dipandang sangat penting karena salah satunya membahas evaluasi rutin bulanan. Tiba-tiba, di antara peserta ada yang menguap di tengah rapat yang berlangsung serius. Melihat kejadian itu, sikap dan perilaku peserta rapat, Bos perusahaan marah dan bahkan menyampaikan kekecewaannya, karena menilai karyawan itu tidak serius mengikuti rapat.

Atas teguran keras Bos perusahaan, karyawan/peserta rapat yang menguap tadi langsung tertunduk, wajahnya pucat, sambil berkata lirih “Maaf, saya ingin menyampaikan bahwa seharusnya saya tidak bisa ikut rapat hari ini, tetapi karena saya menilai rapat ini penting, maka saya harus memaksakan diri dan berupaya semaksimal mungkin untuk hadir”. Kemudian karyawan itu melanjutkan, sambil matanya berkaca-kaca “Tadi malam, anak saya mengalami kecelakaan. Saat ini dia sedang dirawat di ICU. Jadi tadi malam, saya benar-benar tidak bisa tidur”. Penjelasan ini membuat sang Bos termasuk peserta rapat lainnya, terperangah karena baru saja mereka semua terperangkap pada prasangka, tepatnya prasangka negatif. Mereka menilai, bahwa jika ada yang menguap itu berarti tidak serius dan/atau tidak antusias mengikuti rapat.

Mungkin para pembaca pernah pula menonton video yang viral di media sosial, yang kurang lebih ceritanya, seorang siswa perempuan karena beberapa hari setiap hari terlambat, maka dirinya dipukuli oleh gurunya dan bahkan dicaci dan dilempari kertas oleh teman-temannya. Kurang lebih tiga hari berturut-turut selalu terlambat, dan pada hari keempat siswa tersebut bahkan sama sekali tidak masuk sekolah. Dan hal ini membangkitkan kemarahan besar gurunya, dan kejengkelan teman-temannya, karena keterlambatan maupun kealpaannya itu, oleh sikap, perilaku, dan keputusan gurunya berefek pada teman-teman kelasnya.

Ternyata, dibalik keterlambatannya, karena ibunya sedang sakit parah, dan harus berupaya mengantarkan ke rumah sakit, termasuk sebelum ke sekolah harus menyempatkan terlebih dahulu mengurus ibunya, menyuapinya untuk makan, dan lain-lain. Dan pada hari di mana dirinya tidak masuk sekolah, ternyata hari itu ibunya sudah meninggal.

Hari kelima, satu hari setelah ibunya dimakamkan, dia kembali masuk sekolah, apalagi ada pesan ibunya, agar dirinya rajin belajar dan sekolah. Pada saat dia melangkahkan kaki masuk ke ruangan kelas, semua teman-temannya sudah siap mencaci dan melemparinya kertas, tanpa kecuali kemarahan hebat gurunya sudah siap meledak. Tetapi sebelum itu, dirinya tetap diberikan kesempatan menjelaskan. Maka diceritakanlah semuanya. Dari penjelasannya itu, gurunya menyesal, memeluknya, menangis dan menyampaikan permohonan maaf, begitu pun teman-temannya dirundung rasa penyesalan yang amat dalam. Film ini, jujur saja, berhasil pula menggugah perasaan saya, dan tidak terasa bulir air mata ini menetes membasahi pipi.

Baik ilustrasi yang menggambarkan situasi rapat maupun terkait video yang viral itu, mencerminkan tentang “prasangka negatif”. Dan tulisan ini, memang secara substansial yang dimaksudkan untuk disucikan dari hati adalah prasangka negatif.

Dalam hidup sangat dibutuhkan prasangka positif, bukan sebaliknya: prasangka negatif. Meskipun dalam buku Trust karya Francis Fukuyama—mudah-mudahan saya tidak salah ingat sumber referensinya ini—ada satu kisah yang mengandung (terkesan) “pesan moral”-nya bahwa, kepada orang tua pun (Ayah, dalam cerita tersebut), tidak boleh dipercaya sepenuhnya. Ini terkesan, mengajarkan untuk tidak selalu berprasangka positif, tetapi sebaliknya, namun saya pribadi kurang setuju. Meskipun beberapa fenomena sosial pun ada yang menguatkan “pesan moral” Fukuyama, tetapi itu hanya oknum yang jumlahnya sedikit.

Prasangka berdasarkan hasil pembacaan dan interpretasi saya dari dua buku karya Dr. Ibrahim Elfiky: buku Terapi Berpikir Positif (2009), dan buku Dahsyatnya Berperasaan Positif (2010), saya memahami bahwa itu adalah perpaduan antara perasaan dan pikiran. Jadi prasangka negatif itu berarti perpaduan antara perasaan negatif dan pikiran negatif. Begitupun sebaliknya.  

Antara perasaan dan pikiran berdasarkan yang saya pahami dari Ibrahim Elfiky, keduanya saling memengaruhi dan menguatkan. Pikiran memengaruhi perasaan (Ibrahim, 2009: 31-35), dan begitupun sebaliknya perasaan, sebagaimana ditegaskan oleh Ibrahim “Ketika berpikir dengan cara yang tidak benar, terjadinya guncangan perasaan. [Dan selanjutnya] guncangan perasaan ini mengakibatkan gangguan pada organ tubuh”, (2010:51).

Prasangka negatif harus dibersihkan dari hati, karena selain termasuk sebagai “belenggu hati”, termasuk pula menimbulkan masalah dan hambatan-hambatan dalam hidup. Prasangka negatif bisa menggagalkan seseorang untuk menangkap peluang yang sudah ada, tepat di depan mata.

Prasangka negatif bisa menimbulkan fitnah dan permusuhan, dengan yang sebelumnya sebagai sahabat sekali pun. Prasangka negatif akan menghambat prestasi, peningkatan pengetahuan, dan termasuk menjadi rintangan atas kreativitas dan fungsi dahsyat dari otak manusia. Sebagai contoh, jika kita ingin menguasai satu ilmu dari buku yang cukup/sangat tebal. Jika dari awal, ketika baru memegang bukunya saja, sudah ada prasangka negatif, seperti “ah, tebal sekali, kecil tulisannya, tidak ada gambarnya, dan lain-lain, maka bisa dipastikan buku itu tidak akan pernah dibaca apalagi untuk dipahami dengan baik.

Prasangka negatif bisa disimpulkan akan menghambat sikap, tindakan yang bermuara pada kebaikan, kebenaran dan kemajuan. Prasangka negatif akan menimbulkan pula tindakan yang tidak tepat, dan tanpa kecuali terkadang mempunyai kebiasaan mengkambinghitamkan orang lain.

Prasangka negatif, sebagaimana ditegaskan oleh Ary Ginanjar bisa menghasilkan tindakan negatif berupa, defensif, tertutup, menahan informasi, non-kooperatif, dan performa turun. Dan sebaliknya prasangka positif akan menghasilkan tindakan positif berupa saling percaya, saling mendukung, kooperatif, terbuka, dan performa terbaik.

Saya mengamati dan menemukan fenomena di media sosial, tidak sedikit (untuk tidak menyebut banyak) netizen yang sering menyebarkan sesuatu yang dipicu dan bahkan sebaliknya memicu lahirnya prasangka negatif. Dan ini, untuk efek lanjutannya memicu kisruh. Allah sendiri mensinyalir melalui firman-Nya QS. Yunus [10]: 36, “Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan. Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikit pun berguna untuk melawan kebenaran….” Berdasarkan ayat ini, meskipun saya bukan mufassir, saya yakin tidak keliru jika saya memparafrasekan seperti ini bahwa jangankan prasangka negatif, prasangka (dugaan) saja, oleh Allah ditegaskan tidak berguna jika diperhadapkan pada kebenaran atau ilmu.

Berdasarkan hal di atas, saya pun akan menegaskan bahwa prasangka positif, itu berarti memiliki landasan dan hasil proses algoritmik dari beberapa variabel-variabel yang bisa dipandang mengandung kebaikan dan kebenaran. Mengapa poin ini saya tegaskan, karena bagian atas, saya menjelaskan terkait prasangka bisa berwujud “prasangka negatif”, termasuk pula “prasangka positif”.

Untuk menyucikan hati, salah satunya atau fokus substansi tulisan hari ini, dari “prasangka negatif” maka bulan Ramadan sebagai momentum yang terbaik. Mengapa, saya memiliki keyakinan dan pandangan bahwa Ramadhan sebagai bulan penyucian, karena Ramadan selain memaksimalkan puasa, yang sesungguhnya—meminjam lagi pandangan Prof. Haedar Nashir—bukan hanya, sebagaimana secara verbal syariah, menahan makan, minum, dan nafsu mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari, tetapi secara hakiki mengendalikan diri dari banyak hal, dan tentunya termasuk dari perasaan dan pikiran negatif.

Selain itu Ramadan dikenal pula sebagai bulan madrasah, mendidik banyak hal. Belum lagi jika dihubungkan bahwa Ramadan sebagai momentum diturunkannya ayat pertama yang berisi perintah iqra, yang secara substansial memerintah untuk membaca, menelaah, meneliti, mengkaji ilmu untuk menemukan kebenaran—pandangan ini terinspirasi dari pemahaman M. Quraish Shihab terhadap perintah iqra, yang maknanya bukan hanya “membaca”. Berarti ini relevan dengan QS. Yunus [10]: 36 di atas, yang pada intinya, salah satu pesan yang saya tangkap yang tidak hanya mengutamakan dugaan, tetapi harus memiliki ilmunya/kebenarannya. Karena dugaan tidak sanggup melawan kebenaran.

Terakhir yang ingin saya tegaskan, bahwa prasangka positif idealnya diarahkan pada diri sendiri, orang lain, makhluk lain tanpa kecuali alam semesta, dan kepada Allah. Prasangka positif pun, terasa penting diarahkan kepada diri sendiri agar tidak mencela diri sendiri, tidak minder, dan tidak larut dalam kesedihan dan keputusasaan. Begitupun kepada Allah, harus berprasangka positif, apalagi melalui hadits qudsi sudah ditegaskan “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku”.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply