Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Ramadan Bulan Tarbiyah Pembentuk Karakter Rabbani

×

Ramadan Bulan Tarbiyah Pembentuk Karakter Rabbani

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO – Sahabat pembaca, apakah kita pernah masuk kebun? Kemudian, kita ternyata bisa kembali pulang ke rumah. Apa yang ditandai. Pada saat pernyataan dan pertanyaan ini, saya ajukan kepada siswa-siswi peserta pesantren kilat, semua menjawab jalanan. Selain itu, mereka semua mengiyakan dan membenarkan, bahwa jalanan itu tidak pernah secara sengaja dibentuk oleh siapa pun sebagai jalanan kebun.

Jalanan kebun terbentuk hanya karena sering dijalani dan/atau sering dilewati. Dari hal ini, kita bisa memahami, bahwa ada satu hukum alam atau disebut sunnatullah yang sengaja diciptakan oleh Allah Swt di alam semesta dan di muka bumi ini. Sunnnatullah itu bernama habits, sesuatu yang berulang atau dilakukan secara berulang-ulang dipastikan menimbulkan bekas atau meninggalkan jejak.

Mekanisme habits (kebiasaan) sebagai salah satu sunnatullah atau hukum alam dari Allah, algoritma, efek, dan/atau hasilnya memang seperti itu. Sunnatullah ini pun berlaku dalam diri manusia. Artinya, apa pun yang diulang-ulang oleh seseorang itu akan menjadi kebiasaan, algoritma selanjutnya bahwa selangkah lagi, cepat atau lambat, akan menjadi karakter dalam dirinya.

Ada yang menyebut karakter dan menyamakan maknanya dengan akhlak. Lalu kemudian didefenisikan sebagai kecenderungan hati (sikap atau attitude) yang diikuti oleh perilaku (behavior). Tentu defenisi ini tidak keliru, tetapi jika memperhatikan alur terbentuknya karakter itu diawali dengan sikap (kecenderungan hati), kemudian lahir tindakan, kemudian tindakan ini diulang-ulang akhirnya menjadi kebiasaan, setelah itu barulah menjadi karakter. Sesuatu dipandang sebagai karakter jika tindakannya sebagai pancaran sikap akan bereaksi merespons situasi secara spontan, mudah, penuh semangat, dan menunjukkan kecenderungan dan sifat yang sama secara berulang setiap berhadapan dengan situasi.

Aktivitas pembentukan karakter dalam Islam—saya memahaminya dari buku Islamic Character Building: Membangun Insan Kamil Cendekia Berakhlak Qurani (2014) karya Dr. Asep Zaenal Ausop, M.Ag—itu ada tiga: ta’lim, ta’dib, dan tarbiyah. Ketiganya ini memiliki fungsi, orientasi, dan tujuan yang berbeda. Begitu pun jika dikaitkan dengan sosok pengajarnya, berbeda-beda pula istilahnya.

Ta’lim berasal dari kata ‘allama, yaitu mengajar yang tujuannya memberikan ilmu pengetahuan. Jadi ini sasarannya otak. Gurunya atau sosok pengajarnya disebut mu’allim. Ta’dib berasal dari kata adaba tujuannya membuat peserta didik beradab. Sasarannya adalah hati dan tujuannya membentuk peserta didik yang berhati nurani. Gurunya disebut dengan istilah muaddib. Sedangkan, tarbiyah berasal dari kata rabb mengandung arti pemeliharaan. Sasaran tarbiyah meliputi seluruh sisi kemanusiaan yang meliputi lima dimensi: tubuh, perilaku, kesadaran, nurani, dan ruh. Prosesnya biasanya berlangsung 24 jam, tentunya dikurangi waktu tidur dan istirahat. Gurunya disebut murabbi.

Ketika, kita merenung untuk memahami dan menemukan nilai dan kesadaran mendalam di balik bulan Ramadan, tentunya dengan semua ibadah yang dilakukan, bahkan tidur pun bisa bernilai ibadah, maka tidak keliru jika kita menyebut Ramadan sebagai bulan Tarbiyah. Kemudian, siapa murabbi-nya. Semoga, saya tidak berdosa—sama sekali dalam hati dan pikiran ini, tidak ada niat untuk membangun kesejajaran posisi—murabbi-nya langsung Allah Swt.. Dan, inilah istimewanya bulan Ramadan ketimbang sebelas bulan yang lainnya.

Ramadan sebagai bulan tarbiyah, muaranya ke mana atau akan membentuk jenis karakter seperti apa. Saya yakin muaranya adalah membentuk karakter rabbani. Karakter rabbani dalam pandangan ini minimal menunjukkan sosok manusia yang saleh, berilmu, senantiasa beribadah kepada Allah, dan segala tindakan personal, dan terutama sosialnya berada dalam bingkai rida Allah dan berorientasi kebahagiaan dunia-akhirat.

Selain berdasarkan defenisi, sunnatullah, proses algoritmik, dan pola atau alur pembentukan karakter yang dijelaskan di atas, pembentukan karakter rabbani bagi seseorang, sesungguhnya itu adalah tujuan utama dalam hidupnya. Bahkan, manusia memiliki sejenis chip ilahiah berupa ikrar suci atau komitmen ilahiah pada saat ruh akan ditiupkan ke dalam janinnya.

Ketika Allah mengatakan “Alastu birabbikum” (Bukan aku ini Tuhanmu?). Allah tidak bertanya “Man rabbuka” (siapa Tuhanmu?), lalu ruh kita menjawab “Bala syahidna” (ya, kami bersaksi). Maka, itulah komitmen ilahiah kita, yang dibawa bersama kelahiran manusia di muka bumi, sebagai chip ilahiah. 

Dalam perjalanan kehidupan di muka bumi ini—di mana bumi ibarat terminal, tempat singgah untuk menyiapkan bekal yang akan dibawa untuk melanjutkan perjalanan menuju akhirat—itu bukanlah jalan tol. Ada banyak godaan yang membuat ikrar suci terlupakan. Apatah lagi manusia dalam makna al-insan memang memiliki potensi lupa. Al-insan itu sendiri berasal dari kata nasiya yang artinya lupa. Untuk dipahami bersama, manusia dalam al-Qur’an, selain disebut al-insan, juga disebut bani adam, al-basyar, dan an-nas.

Ketika bulan Ramadan memiliki daya magnetis yang kuat, begitu pun daya gugah yang menggerakkan hati umat untuk melaksanakan ibadah sepanjang hari hampir 24 jam, dan semua itu dilaksanakan dengan penuh ketulusan semata-mata oleh energi iman kepada Allah, maka sejatinya tidak ada teori dan hukum apa pun yang bisa membantah, menolak, dan menggagalkan terbentuknya karakter rabbani. Adapun, jika dalam realias kehidupan, terkesan ada orang-orang yang berpuasa, kemudian karakternya justru paradoks dengan hal itu, itu murni karena yang bersangkutan bisa saja belum mengikuti algoritma bulan Ramadan dan puasa itu sendiri dengan benar dan baik.

Di tengah kehidupan yang berlari kencang, menghilangkan banyak batas-batas kehidupan, dan termasuk telah terjadinya kekacauan orgnisme tubuh, satu saja sebagai contoh, di mana organ kepala telah berubah menjadi dengkul, sehingga hari ini, kita lebih banyak bertindak daripada berpikir, maka karakter rabbani adalah sesuatu yang sangat penting untuk dibentuk dalam diri. Termasuk pula, ketika mesin hasrat dan keserakahan terus melakukan reproduksi, menggandakan, dan memperluas dirinya, maka karakter rabbani bisa menjadi langkah untuk menghentikannya.

Ketika the love of power (cinta kekuasaan) bisa menjadi lahan tandus bagi tumbuh suburnya nilai-nilai agama, moralitas, termasuk Pancasila yang mengandung nilai-nilai yang akan menuntun dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dengan karakter rabbani yang ada dalam diri, justru sebaliknya akan mematikan dan melumpuhkan spirit cinta kekuasaan tersebut. Karakter rabbani tentunya akan membingkai prinsip yang melekat dalam diri setiap orang, sedangkan kita memahami bersama bahwa prinsip punya daya pengaruh yang kuat dalam memengaruhi setiap sikap, tindakan, dan keputusan.

Karakter rabbani yang bernapaskan nilai-nilai ilahiah sudah pasti tidak hanya membentuk kesalehan individual seseorang yang segala orientasi hidup dan ibadahnya diarahkan hanya pada surga-neraka semata untuk dirinya. Karakter rabbani pun akan membentuk kesalehan sosial sehingga akan mampu mengaplikasikan fungsi agama yang memiliki mekanisme institusional, dalam makna memiliki kemampuan untuk mengubah kondisi kehidupan yang ada menjadi lebih baik, positif, produktif, konstruktif, kontributif, dan fungsional.

Karakter rabbani pun sejalan dengan fungsi kekhalifahan manusia dan penegasan Allah, bahwa jin dan manusia diciptakan hanya untuk beribadah. Beribadah dalam makna yang saya konstruksi, dan saya yakin tidak bertentangan dengan substansinya, bahkan bisa jadi makna ini sangat esensial adalah segala aktivitas keseharian, apa lagi aktivitas yang berkaitan dengan orang lain, akan senantiasa dalam bingkai rida Allah. Jadi beribadah bukan hanya dalam konteks melaksanakan rukun Islam yang dimuarakan pada lahirnya kesalehan pribadi dan orientasi surga semata.

Karakter rabbani akan mampu menjaga posisi kemuliaan homo sapiens, di mana akal/pikiran dan kalbu/perasaan akan senantiasa terarah pada sesuatu yang positif, produktif, dan konstruktif. Karakter rabbani pun akan mampu menjaga keseimbangan antara eksistensi manusia dan esensi ajaran Islam.

Kita mungkin telah memahami bersama, bahwa eksistensi manusia itu adalah akal/pikiran, rasa/kalbu, dan jasad. Di mana dalam prosesnya agar mampu membedakan benar-salah, baik-buruk, dan indah-jelek, dipandu oleh logika, etika, dan estetika. Ketiganya ini masing-masing logika sinergis dengan ilmu, etika sinergis dengan iman, dan estetika sinergis dengan amal. Dan ini adalah esensi ajaran Islam.

Sumber gambar: republika.co.id

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI. PD Muhammadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital & Kebangsaan.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UNISMUH MAKASSAR

Leave a Reply