Oleh: Agusliadi Massere*
Ada banyak penampakan kondisi kehidupan yang secara algoritmik dalam diri ini menggerakkan secara kuat dan serius untuk menuliskan opini, pandangan atau perspektif ini, yang tentunya selalu mengandung harapan di dalamnya. Yang pasti kondisi tersebut paradoks dengan sesuatu yang secara esensial atau substansial terjadi dalam diri setelah melewati proses mulia dan suci selama bulan Ramadan. Bahkan, ada pula satu hal paradoks yang justru semakin masif menggeliat di bulan Ramadan itu sendiri.
Selain itu, pada mulanya, saya terinspirasi dari Kajian Spesial Ramadan yang akan dilaksanakan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Universitas Indonesia sebentar sore, Rabu, 5 Maret 2025, pukul 16.30 WIB. Kegiatan ini mengusung tema “Menghidupkan Hidup Minimalisme Lewat Ramadan”.
Flyer yang berisi informasi kegiatan di atas dishare oleh dua sosok panutan dalam hidup saya: Titi Anggraeni, sosok perempuan yang terus berjuang sebagai penjaga marwah demokrasi dan pemilu; dan Ilham Saputra, Ketua KPU RI terakhir di periode 2017-2022. Sosok yang pertama meng-share-nya di akun media sosial, facebooknya. Sosok kedua, di grup nasional WhatsApp di mana kami ada di dalamnya sebagai anggota.
Hal paradoks yang saya sebutkan di atas yang seakan menjadi prakondisi sehingga saya terdorong untuk menuntaskan tulisan ini melingkupi berbagai dimensi kehidupan. Yang pasti menggambarkan gaya hidup yang tidak minimalis. Bahkan, di antaranya ada yang justru melakukan flexing, memamerkan apa yang dimilikinya secara vulgar di ruang publik.
Indonesia, negeri yang kita cintai, meskipun tidak menetapkan satu agama tertentu sebagai agama resminya, pantas disebut sebagai negara religius bukan negara sekuler. Selain, kita bisa menemukan penegasan tersebut pada sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, juga penduduknya sejatinya harus sebagai warga yang memiliki kepercayaan agama. Apa lagi Indonesia adalah negara Islam terbesar di dunia.
Hanya saja, sangat disayangkan tingkat korupsi terlalu tinggi grafiknya di negeri tercinta kita ini. Bahkan yang terbaru, berdasarkan informasi dari sumber media yang bisa dipandang otoritatif, satu kasus korupsi mencapai ratusan triliun. Padahal para pelakunya penghasilan bulanannya mencapai ratusan bahkan miliaran. Aneh dan memang kita dibuat kaget, mengapa masih ada manusia yang sudah merasakan “nikmat” besar masih saja korupsi.
Belum lagi terkait persoalan politik uang dalam merebut suatu kursi kekuasaan, yang di dalamnya mengandung spirit “Menghalalkan berbagai cara”. Ada pula yang menduduki banyak jabatan strategis dari negara sekaligus dan melekat pundi-pundi di dalamnya, tetapi menghadirkan atau minimal mengandung konflik kepentingan.
Ada juga pejabat dan keluarga pejabat yang melakukan flexing, pamer kekayaan. Padahal para pengamat sudah mengamati dengan baik, bahwa apa yang dipamerkan dengan kalkulasi penghasilannya itu di luar dari batas normal, kewajaran, dan kewarasan untuk bisa memiliki semuanya melalui rel komitmen jabatan yang lurus, benar, baik, pantaas, dan beretika.
Paling sederhana yang menunjukkan hal paradoks, di antara kita masih banyak dalam mengonsumsi suatu barang bukan berdasarkan nilai manfaatnya, tetapi berdasarkan seperti apa status yang melekat di dalamnya. Apakah barang ini akan mendongkrak status sosialnya, jika iya, maka rela menggelontorkan banyak nilai rupiah.
Contoh sederhana, mungkin di antara kita para penikmat kopi. Jenis dan kualitas kopinya sebenarnya sama antara yang tersedia di warung pojok dengan kafe yang ada dalam suatu mall. Harganya sangat jauh beda, tetapi masih lebih banyak yang memilih kafe dalam mall tersebut, karena di sana ada nilai lain yang harus dibayar mahal. Bukan hanya karena ber-AC, tetapi ada nilai tambah status sosial. Ada persoalan “gengsi” di dalamnya.
Yang lebih mengagetkan ternyata tingkat konsumsi pada bulan Ramadan itu meningkat sangat drastis atau signifikan ketimbang bulan-bulan sebelumnya. Padahal, mereka tidak makan pada siang hari khususnya bagi umat Islam yang berpuasa.
Sorotan utama tulisan ini adalah terhadap perilaku korupsi dan politik uang yang akan menjadi bom waktu korupsi. Ada pun, saya menyorot beberapa poin lainnya di atas karena itu dipandang sebagai sikap dan perilaku yang akan membentuk karakter negatif dan destruktif yang ketika mendapatkan kesempatan berpotensi godaan korupsi itu akan semakin dekat dan besar.
Saya suka dengan informasi dari seorang senior bahwa pernah suatu ketika, katanya, Prof. Haedar Nashir menegur halus seorang rektor salah satu universitas Muhammadiyah. Rektor itu dilihat langsung oleh Prof. Haedar menggunakan mobil mewah, Alphard. Dari informasi ini, saya menangkap pesan, bahwa sesungguhnya Prof. Haedar itu mengharapkan kepada para pimpinan tanpa kecuali pada satuan pendidikan untuk hidup minimalis.
Tentu saja, kampus besar Muhammadiyah terutama yang ada di ibu kota suatu provinsi, itu mampu membeli fasilitas transportasi bagi rektor dan jajaran lainnya, sekelas mobil Alphard sekalipun. Hanya saja karakter minimalis yang diharapkan terbangun dalam tubuh Muhammadiyah. Bahkan ada banyak sosok di pucuk pimpinan Muhammadiyah yang bisa menjadi teladan dalam urusan hidup minimalis.
Meskipun, saya juga kaget beberapa tahun terakhir sudah mulai ada perilaku dan menular, ada pimpinan organisasi kepemudaan yang sudah bergaya elitis, terutama ketika melakukan kunjungan ke daerah-daerah. Mereka berharap difasilitasi tempat tidur yang mewah dan makan pun indikator pelayanan terbaik daerah diukur dari jenis restoran atau warungnya. Tentu saja, ada daerah yang akan merasakan sebagai beban.
Saya bersyukur dengan senior-senior kami dulu, ketika turun ke daerah, mereka tidur dan makan bersama dengan pengurus dan kader di sekretariat sehingga kita bisa mengakses secara bebas ilmu mereka di balik percakapan yang tanpa batas. Bukan hanya karena biaya kedatangannya murah tetapi siapa saja pengurus dan kader bisa mengakses ilmu darinya di balik percakapan intimnya di sekretariat.
Di balik sekian banyak persoalan di atas, baik yang sudah mekar maupun yang baru sebatas bibit, sebenarnya jika ingin dimuarakan pada satu penamaaan, itu adalah “keserakahan”. Sekali lagi, saya tegaskan ada yang baru berwujud bibit ada pula yang sudah menjadi buah. Kita perlu memahami dan Yudi Latif pun pernah menegaskan, “The love of power” (cinta kekuasaan)—dalam pandangan saya tentunya baik harta maupun jabatan—itu bisa menjadi lahan tandus bagi tumbuh suburnya nilai-nilai Pancasila. Saya pun kembali menambahkan termasuk nilai-nilai agama dan moralitas.
Saya masih yakin, kita jangan pesimis, bahwa agama tanpa kecuali bulan Ramadan yang identik dengan puasa wajib dan berbagai ibadah-ibadah mulia yang melengkapinya, itu bisa menjadi retreat (retret) spiritual-religiusitas untuk mengendalikan keserekahan yang sudah mekar atau baru sebagai bibit. Bahkan, bulan Ramadan khususnya bagi umat Islam, adalah momentum terbaik untuk membangun karakter hidup yang minimalis.
Saya sepakat—meskipun saya sedang tidak bermaksud mensejajarkan diri ini dengan beliau yang memiliki otoritas keilmuan yang mumpuni—dengan Sabara Nuruddin yang memandang Ramadan itu sebagai “Bulan ketercelupan ontologism dalam sibghah ilahi”. Nuruddin lebih lanjut menjelaskan dan menegaskan “Ramadan bukan sekadar ritual tahunan…”.
Di balik Ramadan “Jiwa manusia [harus mampu] menyerap esensi ilahi dan terlahir kembali dengan warna spiritual yang lebih dalam”. Jadi, ketika bibit yang paradoks dengan gaya hidup minimalis itu, atau pun yang sudah mekar dalam bentuk keserakahan, maka diharapkan melalui Ramadan kita bisa terlahir kembali dengan spiritual yang lebih dalam yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan kita yang diridai Allah sebagai insan yang sejak awal kehidupannya, pada saat ruh akan ditiupkan telah melakukan ikrar komitmen ilahiah.
Tentunya, kita juga sepakat dengan pandangan Doktor di bidang studi agama itu, Nuruddin, bahwa “Ketika Ramadan berlalu, pertanyaannya bukanlah apakah seseorang telah berhasil menyelesaikan puasanya, tetapi apakah dirinya telah benar-benar berubah? Sebab Ramadan bukan hanya bulan yang datang dan pergi, tetapi jejak yang mengubah perjalanan manusia dalam mendekati Tuhan”.
Pandangan Nuruddin, sesungguhnya dengan pandangan Ahmad Norma Permata, yang memandang agama itu memiliki “mekanisme institusionalisasi”. Substansi pandangan Norma Permata—ini pun saya ungkapkan dalam tulisan saya yang kemarin, Bulan Ramadan dan Dunia Palsu—bahwa agama itu bisa mengubah kehidupan, jadi agama tidak semata konsepsi.
Hanya saja memang, agama dan Ramadan itu sendiri yang diyakini bisa menjadi ruang membangun karakter hidup minimalis untuk menanduskan tumbuh suburnya “keserakahan” membutuhkan niat yang kuat dan tulis kepada Allah. Dibutuhkan pemahaman dan kesadaran tinggi yang bisa memengaruhi big data dan proses algoritmik diri yang berujung pada sikap dan perilaku yang diridai Allah. Dan tentunya, yang utama adalah doa-doa yang terus dipanjatkan agar hidayah dan rahmat Allah hadir dalam diri. Sederhananya pula dalam perspektif habits, dalam bulan Ramadan, kita khususnya pada siang hari dilarang untuk makan, sehingga ini bisa membentuk karakter untuk dalam urusan kebutuhan pun bisa dikendalikan, apatah lagi keinginan.
Apa lagi karakter yang paradoks dengan hidup minimalis ini, pada pandangan lain, seperti pandangan Thomas Hobbes (1588-1679) menegaskan bahwa yang paling purba, paling manusiawi, dan paling naluriah dalam diri manusia adalah “hasrat” dan “kuasa”. Belum lagi anak ideologi yang bernama “konsumerisme” dan “hedonism” yang hidup subur di era hari ini ikut memperkuat hal tersebut. Tanpa kecuali dalam bentuk yang lain, peristiwa Habil-Qabil yang menjadi miniature awal kekerasan di muka bumi ini, kurang lebih menggambarkan mekarnya “keserakahan” dalam bentuknya yang lain.
Ketika masing-masing terkesan memiliki basis yang kuat, maka langkah terakhir tentunya kita pun harus meningkatkan dan memokuskan pemahaman dan kesadaran pada nilai agama tanpa kecuali bulan Ramadan pada goal hidup mulia dalam bingkai rida Allah Swt. Karena nilai ini justru lebih fundamental yang mengawali jauh sebelum kehidupan kita dan merupakan ikrar dan/atau janji suci kepada Allah.
Di ujung tulisan ini pun, saya pun ingin menegaskan bahwa hidup minimalis itu bukan juga hidup pura-pura miskin—sebagaimana istilah yang sering dijadikan lelucon di daerah kami. Hidup minimalis tentu saja tidak harus menjadi miskin, tetapi bisa menjadi kaya tetapi sikap dan perilaku yang ditampilkan tidak menyakiti dan merugikan orang lain. Apatah lagi jika kekayaannya tersebut justru menimbulkan ketakutan kehilangan kekayaan dan terus mengejar kekayaan baru dengan menghalalkan berbagai cara, tentu ini bukan dalam makna hidup minimalis.
Sumber gambar: Detaa Official
*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital & Kebangsaan.