Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Refleksi Hari Sumpah Pemuda: Pemuda dalam Wacana Indonesia Emas 2045

×

Refleksi Hari Sumpah Pemuda: Pemuda dalam Wacana Indonesia Emas 2045

Share this article

Oleh: Haedir (Ketua PC IMM Barru 2023-2024)

KHITTAH. CO – Momentum 28 Oktober, bangsa Indonesia kembali menundukkan kepala sejenak dalam renungan perjuangan kaum mudah. Momentum itu bukan sekadar peringatan seremonial, melainkan momentum untuk mengingat kembali satu peristiwa monumental dalam sejarah bangsa: lahirnya Sumpah Pemuda 1928, yang menandai kesadaran kolektif anak bangsa bahwa kemerdekaan dan kemajuan hanya dapat dicapai lewat persatuan dan tekad bersama.

Di tangan para pemuda 1928lah, semangat kebangsaan Indonesia pertama kali menyala terang. Mereka datang dari berbagai penjuru nusantara  Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku  dengan bahasa dan adat yang berbeda, namun menyatu dalam satu ikrar sakral: Satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia.

Sumpah itu menjadi fondasi berdirinya republik ini. Namun, sembilan puluh tujuh tahun kemudian, ketika bangsa ini menatap ke depan menuju Indonesia Emas 2045, pertanyaan yang tak kalah penting muncul: masihkah semangat sumpah itu hidup dalam diri pemuda hari ini ? apakah kesadaran kolektif itu masih menyalah pada diri pemuda hari ini ?

Konteks zaman yang kian hari kian berubah dan tidak terbendung . Dulu, musuh bangsa ini adalah kolonialisme dan penjajahan fisik; kini, tantangannya lebih kompleks dan tidak kasat mata. Pemuda Indonesia kini berhadapan dengan globalisasi, disrupsi digital, arus informasi yang deras, serta krisis identitas yang perlahan mengikis jati diri kebangsaan. Di era media sosial, nasionalisme tak lagi diukur dari sorak sorai di lapangan upacara, tetapi dari sejauh mana anak muda mampu berkontribusi nyata, berpikir kritis, dan menjaga nilai-nilai kebangsaan di tengah derasnya pengaruh dunia luar.

Namun di sisi lain, pemuda juga memiliki peluang yang jauh lebih besar daripada generasi sebelumnya. Indonesia memiliki bonus demografi, di mana sebagian besar penduduknya adalah generasi muda produktif. Potensi ini adalah kekuatan strategis menuju Indonesia Emas 2045 sebuah cita-cita besar di mana bangsa ini diharapkan menjadi negara maju, berdaulat, dan berkeadilan sosial.

Tetapi bonus demografi hanyalah peluang; ia bisa menjadi anugerah, bisa pula menjadi beban. Semua tergantung pada kualitas dan karakter pemudanya.

Indonesia Emas tidak akan lahir hanya dengan jargon dan rencana. Ia membutuhkan pemuda yang berkapasitas, berkarakter, dan berkomitmen. Pemuda yang tidak hanya bangga dengan identitasnya, tetapi juga produktif di dalamnya. Pemuda yang tidak hanya memprotes keadaan, tetapi berani menciptakan perubahan. Pemuda yang tidak sekadar berteriak “cinta tanah air”, tetapi membuktikan cintanya lewat karya nyata.

Di era digital dan teknologi yang berkembang pesat, pemuda harus menjadi pionir inovasi dari bidang pendidikan, ekonomi kreatif, teknologi hijau, hingga sosial kemasyarakatan. Mereka dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan sekaligus menjaga nilai spiritual dan moralitas, karena kecanggihan tanpa etika hanya akan melahirkan kehampaan.

Dalam konteks inilah, Sumpah Pemuda harus dibaca ulang. Ia bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan panggilan zaman bagi generasi muda untuk memperkuat jati diri nasional di tengah arus global. Persatuan bukan hanya tentang satu bendera, tetapi juga tentang menyatukan visi, pikiran, dan langkah menuju masa depan bersama.

Pemuda, Pilar Menuju Indonesia Emas 2045

wacana Indonesia Emas 2045 menggambarkan cita-cita bangsa seratus tahun setelah kemerdekaan menjadi negara yang maju, inklusif, dan berdaya saing global. Namun, tidak akan ada Indonesia Emas tanpa Pemuda Emas. Merekalah yang hari ini duduk di ruang kuliah, aktif di organisasi, berkarya di komunitas, hingga berjuang di dunia wirausaha dan teknologi. Merekalah yang akan memimpin pemerintahan, membangun ekonomi, menulis kebijakan, dan mencetak sejarah baru bangsa.

Oleh karena itu, refleksi Hari Sumpah Pemuda harus menjadi ruang untuk mengoreksi arah gerak generasi muda. Apakah energi mereka sudah diarahkan untuk membangun, atau justru habis untuk berselisih dan berkompetisi tanpa makna? Apakah semangat kolaborasi sudah tumbuh, atau kita masih terjebak dalam ego sektoral dan perpecahan digital?

Kita memerlukan pemuda yang cerdas sekaligus rendah hati, berani tetapi bijak, dan kritis sekaligus kolaboratif. Karena tantangan menuju Indonesia Emas tidak hanya memerlukan tangan-tangan yang kuat, tetapi juga hati-hati yang jernih.

Sumpah Pemuda 1928 adalah bukti bahwa perubahan besar selalu dimulai dari kesadaran anak muda. Jika generasi itu mampu melahirkan bangsa dari semangat persatuan, maka generasi hari ini harus mampu membawa bangsa ini menuju kemajuan dengan semangat inovasi.

Pemuda harus menjadi trendsetter kebaikan, bukan sekadar pengikut arus. Mereka harus berani mengisi ruang-ruang publik dengan gagasan dan karya yang mencerahkan, bukan konten yang memecah belah. Karena sesungguhnya, perjuangan hari ini bukan lagi mengusir penjajah, tetapi menaklukkan ketertinggalan dan membangun peradaban.

Pada akhirnya, refleksi Hari Sumpah Pemuda bukan hanya tentang mengenang sejarah, tetapi tentang menyambung nyala api perjuangan itu ke masa depan. Api yang dulu dinyalakan di tahun 1928, kini berada di tangan kita. Tinggal bagaimana kita menjaganya  agar tetap menyala, agar tetap menerangi, hingga kelak pada tahun 2045, dunia menyaksikan Indonesia berdiri tegak, bukan hanya sebagai bangsa yang besar, tetapi juga sebagai bangsa yang bermartabat.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply