Ditulis oleh: Muhammad Ian Hidayat
(Kader IMM UIN Alauddin)
Saat itu, tiga batang rokok menjadi pemantik pembicaraan kami dengan Tata Baso, seorang pengembala sapi yang menggembalakan ternaknya di padang rumput daerah Parigi, Gowa.
Perjumpaan kami bermula ketika kami berpapasan dengan Tata Baso, tepat setelah melewati pendakian 1.000 penyesalan (salah satu sebutan unutuk jalur di awal pendakian di Parigi).
Saat itu, Tata Baso baru saja datang dari Lembah Lohe. Ia berjalan seorang diri, menggandeng tas yang isinya perbekalan. Suasana langit agak mendung, kabut sedikit menghiasai pemandangan siang itu.
Sembari menawarkan rokok, kami mengajak Tata Baso mengobrol. Walaupun cuaca mulai dingin, ia menghangatkannya dengan obrolan.
Garis di dekat matanya semakin terlihat jelas ketika ia berkisah sambil tertawa. Tubuhnya sehat bugar, otot di tangan dan kakinya terlihat dengan jelas.
Ini menandakan bahwa ia sudah terbiasa melintasi jalur tersebut, baik untuk mengembalakan sapi maupun aktivitas lainnya di kaki Gunung Bawakaraeng tersebut.
Sebagaimana biasanya di musim hujan, kami sempat berteduh dengan beberapa ekor sapi di shelter satu jalur Lembah Lohe.
Sepanjang jalur pendakian sampai area perkemahan, memang beberapa titik banyak sapi yang merumput.
Vegetasi di daerah tersebut memang sangat memungkinkan untuk melepaskan hewan ternak untuk merumput. Selain sapi, beberapa ekor kuda juga dilepaskan di sana. Sebagian besar sapi yang merumput di sana adalah sapi domestik berjenis sapi Bali.
Kurang lebih sebulan sudah, setelah pendakian itu. Sebagaimana biasanya jelang Iduladha, mulai dari perbatasan Gowa-Makassar, Hertasning, sampai depan Kampus 2 UIN Alauddin, ramai pedagang ternak menjajakan sapi maupun kambing, persiapan menyambut hari raya Idul Adha.
Mungkin, beberapa sapi di antaranya adalah sapi gembala milik Tata Baso. Entahlah, kami sudah tidak pernah mendengar kabarnya setelah pertemuan tersebut.
***
Hari raya Idul Adha memperingati peristiwa kurban, ketika Nabi Ibrahim mengorbankan putranya, Nabi Ismail, sebagai wujud ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sebelum menyembelih putranya, Ismail digantikan dengan domba secara ajaib. Hal ini dikisahkan dalam Al-Qur’an surah Ash Shafaat: 100-110.
Kita memperingati peristiwa tersebut dengan peringatan Iduladha yang dilaksanakan setiap 10 Dzulhijjah menurut kalender Hijriyah.
Berbeda dari prinsip ekonomi kapitalisme, yang dipengaruhi semangat mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan sumber daya terbatas, jika dipandang dari sudut ekonomi, prinsip ini memungkinkan rusaknya keseimbangan dalam distribusi kekayaan masyarakat. Kekayaan serta alat produksi menumpuk pada sekelompok tertentu saja, yakni pemilik modal yang besar.
Kondisi tersebut memungkinkan rusaknya keseimbangan dalam distribusi kekayaan. Keadaan tersebut merugikan kelas bawah yang kesulitan memperoleh keuntungan dan pendapatan dari sumber-sumber produksi. Ibadah kurban akhirnya menjadi resistensi terhadap sistem tersebut.
Islam bukanlah sistem ekonomi sosialis yang menyerukan kesejahteraan yang merata, sebagai antitesis terhadap sistem ekonomi kapitalis.
Namun, Islam juga tidak menghendaki penimbunan harta oleh individu sebagaimana nilai yang dicitakan penganut sosialisme. Kewajiban melaksanakan ibadah kurban bagi yang mampu adalah penerapan cita-cita tersebut.
Islam tidak mencela adanya orang kaya. Islam juga tidak menyalahkan orang-orang kaya atas adanya orang miskin. Namun, tidak ada yang mengamini penumpukan harta, juga tidak ada yang senang melihat kesenjangan ekonomi yang ada.
Ibadah kurban adalah pencegahan terhadap perang perebutan makanan. Ekspansi imperium-imperium besar masa lalu bisa kita simpulkan sebagai perluasan area produksi makanan.
Penjajahan Bangsa Portugis, Bangsa Belanda, Bangsa Jepang di Bumi Nusantara tidak terlepas dari kepentingan produksi makanan tersebut.
Kita mungkin bisa berandai andai, suatu saat nanti, terlepas dari kepercayaan apapun itu, semua orang melakukan ibadah kurban, bukan sekadar memperingati atau perayaan atas keajaiban taqwa yang dialami oleh Ibrahim dan Ismail.
Lebih dari itu, kita mengharapkan tidak terjadinya wabah kelaparan dengan saling berbagi dan mengasihi. Sehingga ekspansi yang menindas Bangsa Indonesia tidak terjadi lagi.
Kita juga berharap agar kiranya di masa kini jalanan di kota kota megah tempat orang menumpuk kekayaan tidak ada lagi pengemis yang mengemis uang recehana. Namun sayang, itu hanya utopia di kepala sebagian orang.
***
Tata Baso mungkin bukan orang yang serba kekurangan. Tata Baso bukanlah orang yang betul betul kaya, juga bukan orang yang dapat digolongkan miskin.
Ia hidup dalam tatanan kelas menengah. Itu karena kultur masyarakat desa yang dibangun di atas sistem pertanian keluarga. Sistem tersebut tidak menghendaki adanya kesenjangan sosial.
Setidaknya, sampai saat ini, di tempat Tata Baso mengembala tidak dijadikan tempat ekspansi oleh imperium semisal Jepang, Belanda, Portugis, dan sebagainya.
Tempatnya masih subur untuk orang-orang mendaki dan berkemah. Tempat pelarian, jika di suatu saat, beras dan lauk tidak tersedia di kost para mahasiswa rantau.