Sumber Ilustrasi: Bali Express
Oleh : Agusliadi Massere*
Saya teringat—meskipun lupa sumber buku yang menjadi referensi—John C. Maxwell menegaskan, “masa depan suatu bangsa dan negara 25 tahun yang akan datang, tercermin dari sikap dan perilaku generasi mudanya”. Ini relevan dengan aksioma Maxwell, “sikap awal menentukan lebih dari apa pun juga”.
Masa depan Indonesia pun demikian, bisa dipastikan ada di tangan generasi mudanya. Pelajar memiliki posisi yang sangat strategis dalam lingkup generasi muda yang dimaksud. Generasi muda, khususnya pelajar (kaum terpelajar) harus mau dan mampu mengambil tanggungjawab besar ini dan “memainkan” peran yang tepat.
Membuka lembaran sejarah Indonesia, kita akan menemukan banyak jejak yang bisa menjadi preseden historis betapa besar peran pelajar (lebih tepatnya kaum terpelajar) dalam mewujudkan Indonesia sebagai bangsa menjadi negara yang merdeka. Kaum terpelajar memiliki peran besar mengantarkan perjuangan untuk sampai ke pintu gerbang kemerdekaan Indonesia.
Pelajar hari ini, untuk orientasi masa depan Indonesia, harus mampu melanjutkan tanggungjawab dan peran itu, agar di masa yang akan datang bangsa dan negara ini semakin sejahtera, berdaulat dan berkemajuan. Bahkan impian terbesarnya bisa menjadi kiblat peradaban dunia.
Indonesian dream di atas tanpa kecuali untuk menjadi kiblat peradaban dunia, sebenarnya bukan sesuatu yang utopis. Indonesia memiliki, sesuatu yang ditegaskan oleh John Gardner sebagai sesuatu yang mengandung dimensi-dimensi moral, yang menjadi prasyarat agar suatu bangsa mencapai kebesarannya.
Indonesia pun memiliki yang oleh Soekarno menyebutnya sebagai ideologi par excellence yang lebih unggul daripada kapitalisme liberal dan sosialisme komunis yang diagung-agungkan oleh Russel yang bagi dirinya hanya kedua ideologi itu yang ada di dunia. Berdasarkan pemahaman sederhana saya, Pancasila yang dipandang sebagai ideologi par excellence itu, mampu melampaui dan mengungguli kapitalisme liberal yang menitik beratkan kepada individualitas (kebebasan dan hak individu) dan sosialisme komunis yang berorientasi kepentingan sosial. Sebagai ideologi par excellence ini minimal tercermin pada sila ketiga dan sila kelima Pancasila.
Kaum terpelajar pada masa itu, dalam era perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia, sangat intens terlibat dalam pergumulan terhadap narasi-narasi atau pun diksi-diksi diskursif tentang Pancasila dan/atau pun hal-hal yang menjadi embrio kelahiranya. Berbeda pada masa itu, hari ini khususnya di era milenial, media sosial baru, dan post truth—jika meminjam perspektif Muhammad Sabri (Direktur Pengkajian Materi BPIP RI)— justru pelajar yang saya kategorisasikan juga sebagai generasi milenial, mengalami “kekosongan kognisi Pancasila”.
Generasi milenial telah mengalami perluasan atau pemaknaan baru, yang bukan hanya menandai apa yang disebut sebagai generasi Y dalam teori generasi Strauss-Howe, tetapi se kelompok kaum yang menghabiskan banyak waktunya di dunia virtual. Di dunia virtual, sebagaimana penegasan Bernando J. Sujibto, “kesadaran kritis kalah oleh luapan emosi dan hamburan opini. Kita pun bisa menemukan kondisi dan kecenderungan hanya pada diksi-diksi dangkal, resistensi, chaos, dan making fun. Sangat minim pada diksi-diksi diskursif khususnya tentang Pancasila.
Kondisi terakhir yang digambarkan di atas dan tidak sedikit diperankan oleh yang berstatus pelajar atau kaum terpelajar, akan menimbulkan suasana psikologis yang pesimistik untuk masa depan Indonesia. Terutama jika memahami pandangan Maxwell di atas, termasuk teori alur kehidupan dari pikiran, kata-kata, tindakan, kebiasaan sampai menjadi karakter dan selanjutnya berujung pada nasib, sesuai dari apa yang dikonstruksi sejak dari pikiran dan kata-kata. Alur kehidupan ini, bagian daripada sunnatullah yang harus disadari pula urgensi, signifikansi dan implikasinya.
Berawal dari pemikiran di atas, yang melatar belakangi sekaligus bagian dari hal substansial sehingga penting untuk dilakukan internalisasi wawasan Pancasila ke dalam diri pelajar hari ini. Internalisasi berarti Pancasila bukan hanya sekedar dihapal dan menjadi “rukun wajib” pada setiap pelaksanaan upacara bendera. Melampaui dari itu, Pancasila harus diserap ke dalam jiwa, menjadi “darah-daging” dan “nafas” kehidupan dalam interaksi kehidupan sosial, terutama dalam tata kelola bangsa dan negara Indonesia.
Pancasila adalah “titik temu” atas aneka keragaman yang yang menjadi identitas utama Indonesia. Selain itu Pancasila pun menjadi “titik tumpu” dan “titik tuju”. Minimal ini, jika tidak dipahami dan disadari—meminjam perspektif Soekarno (dalam Yudi Latif, 2020)—maka Indonesia bisa dalam keadaan “bahaya”.
Pancasila berdasarkan pemahaman atas philosophische grondslag (dasar filsafat negara) dan weltanschauung (pandangan dunia), sebagai “meja statis” di mana bangunan keindonesiaan dikonstruksi di atasnya, dan sebagai “leiststar dinamis” (bintang penuntun) yang menuntun arah perjalanan. Idealnya, ini dipahami dan diimplementasikan dengan baik, tanpa kecuali harus diinternalisasi dalam diri pelajar sejak dini, agar menjadi big data dan (terutama) kelak mampu mempengaruhi algoritma pikiran pelajar. Minimal ini harapannya.
Ada banyak narasi atau pun diksi tentang Pancasila yang terlewatkan—untuk tidak mengatakan terlupakan dan hilang—bagi pelajar, sedangkan masa depan Indonesia bisa dipastikan berada di tangan mereka. Saya khawatir, ketika pelajar lebih cenderung mengedepankan diksi-diksi dangkal, maka Indonesia pun ke depannnya akan menjadi bangsa dan negara yang “dangkal”.
Disinilah urgensi dan signifikansi untuk merekonstruksi wawasan Pancasila bagi pelajar. Rekonstruksi di sini bisa memiliki banyak makna, salah satunya bagaimana mendorong secara serius dan massif diskursus Pancasila bagi pelajar. Memberikan pemahaman mendalam bahwa Pancasila bukan hanya bahan hapalan apatah lagi hanya menjadi sekedar pembacaan rutinitas pada saat upacara.
Rekonstruksi wawasan Pancasila, berarti selain diinternalisasi harus pula menjadi nalar kebangsaan. Bagaimana Pancasila bisa mempengaruhi dan menjadi nalar anak bangsa tanpa kecuali pelajar. Dan ketika Pancasila menjadi nalar, maka nilai-nilai yang terkandung di dalamnya begitu pun posisinya sendiri—sebagaimana telah dijelaskan di atas—harus mampu mempengaruhi “doing” (apa yang dilakukan), “meaning” (apa dan bagaimana memaknai), “relation” (bagaimana membangun relasi), “thinking” (apa dan bagaimana cara berpikir), dan “being” (bagaimana dan menjadi apa?) pelajar.
Pancasila—salah satu—yang saya maknai sebagai “nalar kebangsaan” harus mampu menjadi nalar agar segala pikiran, sikap dan perilaku anak bangsa (tanpa kecuali pelajar) memiliki relevansi dengan nilai-nilai dan kandungan substansial Pancasila. Jika ada perilaku yang justru paradoks dengan Pancasila, itu sama saja sedang menggeregoti “kaki” meja statis. Merobohkan meja statis ini sama saja merobohkan bangunan keindonesiaan, yang telah susah payah dibangun oleh para pahlawan bangsa dan/atau founding fathers.
Pancasila dan nilai-nilainya, idealnya sejak dini, dalam dinamika kehidupan pelajar harus telah tercermin dan terimplementasi. Minimal—sebagai contoh—sila pertama Pancasila terwujud dengan lahirnya komitmen pelajar untuk tidak melakukan kebiasaan “nyotek” pada saat dilaksanakan ujian. Nyontek sama saja dengan sikap dan perilaku tidak jujur. Tidak jujur berarti menyalahi nilai “ketuhanan”.
Pada kesempatan dalam forum Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) OSIS SMK Negeri 1 Bantaeng, yang mengundang saya menjadi narasumber (Jum’at, 27 Agustus 2021), selain memberikan gambaran relasi sila pertama Pancasila dengan kebiasaan buruk siswa yaitu nyontek, saya pun menegaskan, bahwa begitu pun oknum oknum elit negara yang melakukan korupsi atau menjadi koruptor, itu adalah bentuk pengkhiatan nyata terhadap Pancasila. Dan penegasan yang terakhir ini bukan hanya berelasi buruk dengan sila pertama, tetapi termasuk dengan sila kelima Pancasila.
Selain Pancasila, ada beberapa hal lainnya terutama agama—khususnya agama Islam, sebagai agama yang mayoritas dipeluk oleh bangsa Indonesia—yang saya memaknainya sebagai nalar kebangsaan. Itu pun harus diinternalisasi dan direkonstruksi dalam pemahaman yang sesuai konteks Indonesia yang identik dengan kebhinekaan itu.
Agama Islam pun sebagai bagian yang harus hadir menjadi nalar kebangsaan, harus direkonstruksi untuk bisa mempengaruhi “doing”, “meaning”, “relation”, “thinking”, dan “being” generasi muda, terutama pelajar. Hal ini penting karena ternyata, sebagaimana ditegaskan oleh Yudi Latif, Pancasila dan nilai-nilainya sulit tumbuh subur, ketika warga negara—saya tambahkan, termasuk elit negara—lebih berorientasi “the love of power” (cinta kekuasaan) daripada “the power of love” (kekuatan cinta).
Dari Ahmad Norma Permata, saya memahami bahwa ternyata agama memiliki “mekanisme institusionalisasi” (jalan untuk membangun kehidupan). Ahmad Norma menegaskan “Agama sebagai nilai tidak pernah semata konseptual. Melainkan Agama selalu merupakan upaya untuk mengubah kondisi.
Max Weber (dalam Ahmad Norma Permata, 2020), menjelaskan “meskipun ajaran setiap Agama penuh dengan dengan hal-hal yang bersifat Gaib (yang tidak terjangkau indra), Magis (tidak mengikuti logika hukum alam), dan Eskatologis (terkait kehidupan sesudah mati), namun semua ajaran tersebut memiliki tujuan pokok yang sama, yaitu meneguhkan dan menata kehidupan manusia di dunia ini.
Islam dan agama lainnya yang hidup di Indonesia, memiliki mekanisme institusionalisasi. Dari hal ini pun saya dan kita semua harus berharap, agar dengan agama mampu melakukan transformasi dari “the love of power” ke “the power of love”. Ketika kekuatan cinta lebih dominan mewarnai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, selain relevan dengan nilai-nilai moralitas dan agama, termasu sudah bisa dipastikan sila-sila yang ada dalam Pancasila akan bisa terimplementasi dengan baik atau tumbuh subur.
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, NKRI, Kebhinekaan, Agama, genius nusantara dan local wisdom harus mampu menjadi nalar kebangsaan agar bangsa dan negara Indonesia pada masa yang akan datang, mencapai kejayaan dan semakin berdaulat. Impian terbesarnya menjadi kiblat peradaban dunia. Pancasila adalah ideologi par excellence.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-20223