Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Berita

Rektor Unismuh: Konsolidasi Mahasiswa Kunci Hadapi Era Post-Truth

×

Rektor Unismuh: Konsolidasi Mahasiswa Kunci Hadapi Era Post-Truth

Share this article

KHITTAH.CO,. MAKASSAR — Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar melalui bidang kemahasiswaan menggelar kuliah tamu bertema “Urgensi Kaderisasi dan Sinergi Antar Lembaga Kemahasiswaan di Era Post-Truth”, Senin (1/12/2025), di Ruang Rapat Senat, Gedung Iqra Lantai 17, Kampus Unismuh Makassar, Jalan Sultan Alauddin.

Narasumber kegiatan ini adalah Muhammad Abdul Halim Sani, M.Kesos, Pengurus Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI) PP Muhammadiyah. Hadir pula pimpinan universitas, ketua dan sekretaris lembaga kemahasiswaan, BEM Universitas, BEM Fakultas, sejumlah UKM, serta pengurus PIKOM dan KorKom.

Rektor Unismuh Makassar Abd Rakhim Nanda menekankan pentingnya konsolidasi antarlembaga mahasiswa di tengah situasi post-truth—ketika informasi yang tidak terverifikasi mudah membentuk opini dan memengaruhi dinamika organisasi. Menurut dia, sinergi kelembagaan perlu diperkuat agar gerakan mahasiswa tetap solid, tidak mudah terpecah oleh arus informasi yang memelintir fakta dan memperbesar perbedaan.

Ia juga menyinggung adanya gejala melemahnya komunikasi antarlembaga dan kecenderungan terbentuknya “blok-blok” internal yang berpotensi menggerus daya kerja kolektif organisasi mahasiswa.

Dalam paparannya, Halim Sani mengajak peserta melihat kaderisasi sebagai proses pembentukan inti organisasi, bukan sekadar agenda rutin. Kader, kata dia, adalah pribadi yang terpilih dan berproses—yang dituntut memiliki tradisi berbeda dari kebiasaan umum: lebih disiplin, tekun membaca dan berdiskusi, serta berani meninggalkan pola yang tidak produktif.

Ia mengibaratkan kader sebagai “tulang” organisasi: penopang yang membuat organisasi bisa berdiri dan bergerak. Karena itu, kader tidak boleh rapuh secara mental; kelalaian satu bagian saja dapat merusak kinerja keseluruhan, sebagaimana dalam latihan atau penampilan kolektif, kesalahan kecil satu orang dapat terlihat jelas dan memengaruhi mutu tim.

Untuk memudahkan penegasan nilai, ia memperkenalkan akronim “KADER” yang memuat prinsip kemauan, fokus, dedikasi, empati, dan kegembiraan. Kemauan harus dibuktikan dalam kerja nyata, bukan berhenti pada wacana. Fokus, menurut dia, berarti hadir penuh dalam proses—sejenis kekhusyukan yang membuat energi tidak tercecer ke banyak arah. Dedikasi menuntut kesanggupan menikmati proses pembentukan diri yang panjang. Empati menandai kader yang peka, peduli, dan tidak menjadi beban sosial dalam organisasi. Sementara itu, kegembiraan dipahami sebagai kemampuan menjaga energi positif bahkan ketika menghadapi tekanan organisasi.

“Kader yang kuat bukan yang paling gaduh di ruang kontestasi, tetapi yang konsisten menjaga mutu diri, organisasi, dan arah gerakan,” ujarnya.

Halim Sani kemudian menguraikan konteks post-truth sebagai situasi ketika fakta objektif makin kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik. Dalam kondisi ini, kebenaran kerap dikalahkan oleh ikatan emosional dan keyakinan, sementara algoritma media sosial memperkuat “kacamata tunggal” karena hanya menyajikan informasi yang sejalan dengan preferensi pengguna.

Banjir informasi, termasuk peran pendengung, membuat publik makin sulit membedakan hoaks dan fakta. Ia menilai penurunan tradisi literasi turut memperparah keadaan: konten singkat lebih digemari daripada bacaan utuh yang memberi konteks dan kerangka berpikir.

Di hadapan peserta, ia mengaitkan persoalan itu dengan etika Islam melalui spirit tabayyun: setiap informasi perlu diperiksa sebelum diyakini dan disebarkan. Ia mengingatkan bahwa berita dapat benar pada satu waktu, tetapi ketika direproduksi ulang tanpa konteks bisa menyesatkan dan memicu konflik.

Dari situ, ia menekankan tiga sikap praktis menghadapi post-truth: berhati-hati terhadap informasi, rasional dan kritis dengan melakukan pemeriksaan silang, serta terbuka melihat persoalan dari lebih dari satu sisi agar keputusan lebih adil dan utuh.

Isu sinergi antarlembaga mahasiswa dinilai menjadi prasyarat agar kaderisasi tidak berhenti sebagai slogan. Halim Sani menekankan bahwa problem kampus dan sosial bersifat kompleks, sehingga tidak cukup dibaca dengan kacamata sempit satu organisasi. Karena itu, ego sektoral perlu dikurangi dan kolaborasi dijadikan kebiasaan, sebab program dan kerja tiap lembaga pada dasarnya saling beririsan.

Sesi diskusi berlangsung interaktif. Peserta menyinggung menurunnya minat berorganisasi karena stigma—antara lain anggapan organisasi membuat studi melambat—serta munculnya perilaku saling membuka aib (spil) yang melemahkan kepercayaan calon kader. Ada pula kekhawatiran kaderisasi bergeser menjadi formalitas administratif.

Dalam diskusi, mengemuka pula kebutuhan memperjelas “profil kader dasar” agar penguatan keislaman tidak berhenti pada identitas, melainkan terukur dalam kebiasaan literasi, etika, dan karakter. Sejumlah peserta juga mengingatkan bahaya kaderisasi yang terlalu berorientasi posisi. Kader idealnya menjalani transformasi yang memperindah dan memperkuat organisasi—diibaratkan seperti kupu-kupu—bukan sekadar “berganti kulit” tanpa perubahan substantif.

Kuliah tamu ini diharapkan menjadi momentum revitalisasi kaderisasi di Unismuh Makassar. Pihak universitas menilai sinergi antarlembaga kemahasiswaan akan berdampak pada kualitas kepemimpinan mahasiswa, terutama dalam menghadapi kompleksitas isu sosial dan digital. Unismuh juga menegaskan komitmennya untuk memperkuat tradisi kaderisasi dan kultur organisasi mahasiswa yang solid dan progresif, dengan nilai-nilai keislaman dan kemuhammadiyahan sebagai fondasi—serta tabayyun, literasi, dan etika digital sebagai pagar bersama.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UMSI

Leave a Reply