Oleh: Nuruddin Al Akbar*
Artikel “Religius, tetapi Gemar Korupsi; Apa yang Salah?” yang diterbitkan oleh Kompas pada 8 Maret 2025 mengangkat paradoks mencolok di Indonesia: sebuah bangsa yang sangat religius, tetapi memiliki tingkat korupsi yang tinggi. Artikel tersebut berfokus pada pertanyaan “mengapa” hal ini terjadi, menawarkan berbagai perspektif seperti neurosains hingga konsep kesalehan simbolik dan substansial. Sementara artikel tersebut berusaha memahami penyebabnya, artikel ini akan mengarahkan perhatian pada pertanyaan “bagaimana” mengatasinya melalui pendekatan ilmu sosial profetik Kuntowijoyo.
Artikel Kompas menunjukkan adanya masalah mendasar dalam “koneksi” antara religiositas dan perilaku antikorupsi. Pakar neurosains Taufiq Pasiak, misalnya, menyoroti bagaimana fungsi eksekutif otak, termasuk pengambilan keputusan berbasis etik dan kendali diri, sering kali tidak terhubung dengan baik. Hal ini sejalan dengan konsep Mahatva Yoga Adi Pradana mengenai kesalehan simbolik versus substansial, di mana banyak individu hanya menampilkan religiositas permukaan tanpa mempraktikkan nilai-nilai inti agama dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika masalahnya adalah “koneksi”, solusinya tentu adalah “rekoneksi”. Di sinilah konsep ilmu sosial profetik Kuntowijoyo menjadi relevan. Kuntowijoyo, seorang sejarawan dan sastrawan Indonesia, memperkenalkan konsep ilmu sosial profetik sebagai upaya membangun ulang kesadaran keagamaan umat sehingga memungkinkannya menjadi bercorak transformatif dan emansipatoris. Maka di mata Kuntowijoyo, rekonstruksi kesadaran keagamaan bukan hanya memungkinkan umat menghindari perilaku korupsi, tetapi juga memungkinkan umat untuk aktif membangun masyarakat yang berkeadilan dan bebas dari aneka penindasan.
Kuntowijoyo memandang agama sebagai kekuatan transformatif yang mampu mengubah sejarah. Ia terinspirasi oleh gurunya, Sartono Kartodirjo, sejarawan kenamaan yang meyakini bahwa para ilmuwan harus peduli terhadap “wong cilik” (masyarakat kecil) yang sering kali menjadi kekuatan raksasa (dalam konteks Kartodirjo kekuatan colonial). Kuntowijoyo sendiri terkenal dengan mazhab Indonesia sentrisme-nya dalam bidang sejarah yang mencoba memberi ruang bagi “wong cilik” sebagai aktor Sejarah sejajar dengan altor-aktor “besar” seperti raja dan gubernur jenderal. Dipengaruhi Kartodirjo, Kuntowijoyo merasa bahwa agama seharusnya tidak hanya menjadi ritual pribadi tetapi juga menjadi basis bagi perubahan sosial yang mengangkat harkat dan martabat “wong cilik”.
Namun, Kuntowijoyo juga menyadari saat ini terjadi fenomena diskoneksi antara agama (teks) dan realitas sosial (konteks). Diskoneksi ini terjadi karena adanya mistifikasi kesadaran, yaitu ketika agama hanya dipahami secara subjektif sebagai jalan “meleburkan diri” kepada Tuhan tanpa melihat dampaknya dalam kehidupan sosial. Modernitas dan postmodernitas, menurut Kuntowijoyo, turut berperan dalam mempersempit ruang gerak agama hanya di ranah pribadi, sehingga ruang publik didominasi oleh logika pragmatisme dan keuntungan semata.
Solusi yang ditawarkan Kuntowijoyo adalah “demistifikasi,” yaitu menghubungkan kembali teks agama dengan konteks sosial. Melalui demistifikasi, agama tidak lagi sekadar pedoman personal untuk “melebur” dengan Tuhan, tetapi menjadi fondasi ilmu yang membentuk para intelektual yang mampu menggerakkan perubahan sosial. Ini sekaligus langkah untuk keluar dari pola pikir modern dan postmodern—yang dominan dalam dunia pendisikan dewasa ini—yang cenderung mengasingkan agama dari kehidupan publik.
Dengan demikian, agama tidak hanya menjadi alat untuk mencapai keselamatan individu, tetapi juga menjadi pedoman etik dalam menciptakan tatanan sosial yang berkeadilan. Etika profetik yang ditawarkan Kuntowijoyo meliputi tiga prinsip utama: transendensi, humanisasi, dan liberasi. Transendensi berarti melibatkan nilai-nilai ilahiah dalam setiap tindakan, humanisasi berarti memperlakukan sesama manusia dengan adil dan bermartabat, dan liberasi berarti membebaskan masyarakat dari berbagai bentuk penindasan, termasuk korupsi. Jika diimplementasikan dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia, pendekatan ini akan mendorong adanya partisipasi umat pada upaya “merubah sejarah” dalam hal ini membangun penegakan hukum yang adil, pendidikan anti korupsi berbasis nilai-nilai profetik, serta pengawasan sosial oleh komunitas berbasis agama.
Pendekatan ilmu sosial profetik ini pada dasarnya mengubah cara pandang masyarakat dari sekadar memaknai agama secara individual-mistik menuju pada penghayatan keagamaan yang menekankan tugas sosialnya sebagai khalifah untuk memperbaiki masyarakat (mengubah jalannya sejarah). Dalam cara pandang yang profetik, agama tidak hanya menyentuh ranah ibadah mahdlah saja tetapi juga mencakup ranah muamalah (interaksi antar manusia), yang meskipun cenderung “lentur” tetapi mesti diisi oleh nilai-nilai profetik. Dengan kata lain, ilmu sosial profetik tidak hanya menawarkan solusi jangka pendek untuk mengurai problematika korupsi, tetapi juga membangun fondasi jangka panjang untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
Pada akhirnya, dalam skema Profetik, korupsi tidak hanya dipandang sebagai masalah penegakan hukum tetapi juga masalah sosial dan spiritual. Mengatasi korupsi melalui pendekatan ilmu sosial profetik tidak hanya mengandalkan pendekatan hukum yang “keras” misalnya, tetapi juga memberikan landasan nilai yang kuat untuk menciptakan masyarakat yang berkesadaran anti korupsi. Ketika agama tidak lagi sekadar direduksi menjadi mistik individu, tetapi benar-benar dihayati dan diamalkan dalam ranah muamalah, maka masyarakat yang adil, jujur, dan bebas dari korupsi bukan lagi sekadar cita-cita tetapi sebuah kenyataan yang bisa diwujudkan.
Dengan demikian, jawaban “bagaimana” untuk mengatasi korupsi di negeri yang religius ini bukan hanya melalui strategi institusional, tetapi juga “kultural” yakni melalui perubahan paradigma beragama yang lebih transformatif dan emansipatoris. Paradigma yang mampu menghubungkan kembali antara teks dan konteks di mana teks mampu memberi pedoman bagi jalannya konteks. Inilah kontribusi nyata ilmu sosial profetik Kuntowijoyo dalam menjawab tantangan bangsa dalam membangun Indonesia yang lebih bersih dan berintegritas.
Sumber gambar: immsby.or.id
*Dosen di Departemen Politik dan Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro