Oleh: Syarifuddin Jurdi (Dosen Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar)
KHITTAH. CO – Pasca Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pemilu 2024 dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024, sejumlah pihak, terutama dari kalangan masyarakat sipil mendorong agar DPR dan pemerintah segera memulai pembahasan mengenai revisi UU Pemilu. Dorongan itu merupakan keniscayaan dalam konteks mempersiapkan pemilu 2029 yang lebih baik. Mahkamah Konstitusi (MK) ketika membaca Putusan PHPU memberi catatan kepada pembuat UU agar melakukan penyempurnaan terhadap UU No. 7 Tahun 2017. Desakan menguat datang dari koalisi masyarakat sipil, akademisi, dan pegiat pemilu dalam beberapa bulan terakhir.
Pada April 2025, didorong agar segera dilakukan pembahasan terhadap UU Pemilu yang dianggap sebagai kebutuhan untuk menjawab dinamika masyarakat. Dalam sejarah produk UU yang paling banyak diuji masyarakat melalui judicial review adalah UU No. 7 Tahun 2017, bahkan pasal-pasal tertentu diujikan secara berulang, termasuk pengujian keserentakan pemilu yang pernah disidangkan MK dan melahirkan Putusan No. 55 tahun 2019.
Kala itu, MK memberikan alternatif keserentakan pemilu dalam enam opsi, termasuk model keserentakan pada pemilu 2019 dan 2024. Alasan itu, menyerukan bahwa perubahan UU Pemilu merupakan kebutuhan mendesak, selain paket UU Pemilu sudah masuk dalam program legislasi nasional prioritas di tahun 2025. Artinya masyarakat sipil sudah mendorong pembuat UU melakukan pembahasan terhadap revisi UU pemilu sebelum Putusan MK No. 135 Tahun 2024 mengenai pemilu nasional dan pemilu lokal.
Koalisi masyarakat sipil secara aktif memberikan dukungan kepada pembuat UU dengan melakukan kajian dan merumuskan hasil kajian mereka mengenai draft perubahan UU Pemilu. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan koalisi masyarakat sipil lainnya telah merumuskan opsi revisi UU Pemilu yang merupakan hasil pemikiran mereka terhadap kondisi demokrasi dan penyelenggaraan pemilu di Indonesia, setidaknya dalam dua kali pemilu terakhir yang menghasilkan berbagai catatan penting dari banyak kalangan, pegiat pemilu, koalisi masyarakat sipil, akademisi, dan praktisi kepemiluan.
Dorongan masyarakat sipil dengan memberikan masukan untuk perbaikan UU pemilu merupakan satu kemajuan, masukan itu membuka ruang diskusi dan pembicaraan yang lebih luas mengenai tawaran yang disampaikan koalisi masyarakat sipil dengan menawarkan sistem pemilu anggota DPR/DPRD proporsional campuran (mixed member proporsional), sistem ini terdiri dari sistem pemilu proporsional dengan daftar tertutup dan sistem pemilu pluralitas berwakil tunggal khusus untuk anggota DPR dan DPRD. Draft ini sebagai pertanggungjawaban masyarakat sipil dalam mendorong agar pemilu Indonesia dilakukan dalam sua tahapan yakni pemilu nasional dan pemilu lokal berdasarkan Putusan MK No. 135 Tahun 2024.
Perdebatan mengenai pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal barangkali harus segera ditemukan jalan keluarnya, mengingat terdapat sebagian anggota DPR dan politisi memberi reaksi terhadap Putusan MK No. 135 dengan berbagai argumennya, meski disadari bahwa putusan MK bersifat final dan binding. Oleh karena itu, diperlukan kemauan dan kesungguhan pembuat UU dalam melakukan penataan ulang sistem pemilu Indonesia dengan memperhatikan Putusan MK. Sikap itu penting sebagaimana sikap DPR yang tidak mempersoalkan Putusan MK No. 90 Tahun 2023 terkait syarat calon presiden dan wakil presiden.
Kesan adanya gerakan penolakan oleh sebagian anggota DPR terhadap putusan MK No. 135 tersebut tidak selalu dimaknai dalam konteks perlawanan, tetapi dapat dilihat sebagai upaya untuk menemukan argumentasi hukum yang kuat agar pelaksanaan putusan MK tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi. Idealnya DPR dan pemerintah sebagai pembuat UU akan memperhatikan konstitusi dan landasan pokok kehidupan bernegara, itu kalau bicara idealnya, tetapi dalam beberapa hal, DPR dan pemerintah membuat kebijakan dan UU tidak selalu mempertimbangkan aspirasi publik, misalnya dalam soal UU Cipta Kerja dan sejumlah UU lain yang tidak maksimal memperoleh masukan dan partisipasi publik.
Kita ambil satu fenomena yang sangat luar biasa yang dilakukan anggota DPR periode lalu (2019-2024), diujung periodenya dengan sangat serius membahas dan merencanakan untuk mengesahkan perubahan terhadap UU Pilkada, naskahnya dirumuskan dalam tempo yang se singkat-singkatnya, hanya dalam hitungan jam, DPR dapat menyetujui draft revisi UU pemilu. Kala itu tidak ada kegentingan yang luar biasa untuk segera merevisi UU Pilkada yang sudah mulai tahapannya, kecuali kepentingan elite berkuasa yang hendak diperjuangkan dalam perubahan UU itu. Rencana itu gagal, karena gerakan massa dan mahasiswa serentak seluruh Indonesia melakukan perlawanan, akhirnya rencana mengesahkan UU itu tidak terjadi, Pilkada tetap menggunakan UU No. 10 Tahun 2016.
Kembali ke tindak lanjut pembahasan revisi UU Pemilu yang mendesak dilakukan, DPR dan pemerintah harus memperhatikan dan menjadikan dasar revisi UU pemilu Putusan MK No. 135, karena putusan MK bersifat final dan binding. Terhadap hal ini, muncul argumentasi, melaksanakan putusan MK melanggar UUD, hal itu diatur dalam UUD 1945 Pasal 24C ayat (1) yang menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Artinya apa pun yang diputuskan MK bersifat final dan mengikat. Demikian halnya, kalau tidak melaksanakan putusan MK juga melanggar UUD/konstitusi, karena sejumlah pasal dalam UUD 1945 seperti Pasal 22E yang khususnya mengatur tentang Pemilihan Umum.
Dalam kondisi tersebut, diperlukan langkah progresif untuk menemukan jalan keluar terhadap kondisi tersebut. Sejumlah gagasan muncul untuk merespons kondisi tersebut, di antaranya adalah; pertama, opsi yang paling ideal dan bisa diterima luas adalah memperpanjang masa jabatan anggota DPRD hasil pemilu 2024 sampai dengan penyelenggaraan pemilu lokal tahun 2031, meski masa jabatan anggota DPRD lima tahun, atas kondisi transisi tersebut, masa jabatannya dapat diperpanjang hingga mencapai paling lama tujuh enam bulan.
Point perdebatan yang hangat mengenai putusan MK adalah soal masa jabatan DPRD yang berdasarkan UUD 1945 tidak lagi lima tahun, tetapi mencapai tujuh setengah tahun. Opsi memperpanjang masa jabatan DPRD dipilih untuk mempermudah proses transisi pemilu nasional dan pemilu lokal, agar putusan MK dapat segera ditindaklanjuti oleh pembuat UU. Meskipun demikian, opsi ini tidak begitu saja diterima oleh politisi sendiri, argumentasi konstitusional hingga argumentasi politis muncul untuk mempersoalkan legitimasi memperpanjang masa jabatan, tapi opsi inilah yang justru masuk akal, mengingat momen transisi seperti perubahan peraturan yang memiliki konsekuensi memperpanjang atau memperpendek masa jabatan sudah pernah dilakukan.
Pada Pilkada 2024, ratusan kepala daerah yang terpilih pada Pilkada langsung tahun 2020 menjalankan masa jabatannya tidak mencapai lima tahun, atau produk Pilkada 2018 dan 2017 yang sisa masa jabatannya dilanjutkan oleh Penjabat sampai penyelenggaraan Pilkada 2024. Jadi opsi memperpanjang masa jabatan DPRD 2024-2029 merupakan opsi yang paling tepat atau opsi lain yang dirumuskan pembuat UU yang tetap terhubung dengan hasil pemilu 2024.
Kedua, apabila opsi untuk mengisi kekosongan masa jabatan legislatif daerah itu tidak dapat dilakukan dengan memperpanjang masa jabatan legislatif daerah, opsi untuk meniadakan legislatif daerah pasca anggota DPRD 2024-2029 berakhir masa jabatannya setelah lima tahun mereka menjalankan tugasnya. Posisi DPRD atau legislatif daerah mengalami kevakuman selama dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan, ini pilihan yang tidak mudah diambil, banyak masalah yang dapat muncul akibat dari kevakuman itu, termasuk soal pembangunan daerah, mengingat DPRD mempunyai kekuasaan untuk berbagai kebijakan strategis daerah, fungsi check and balances antar eksekutif dan legislatif tidak berjalan apabila DPRD vakum, tentu ini tidak dikehendaki oleh masyarakat secara luas, karena fungsi DPRD sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketiga, opsi lain yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk anggota DPRD transisi, keanggotaannya bisa ditentukan melalui kebijakan pemerintah, misalnya disepakati bahwa anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota pada masa transisi akan diisi atau ditunjuk dari wakil-wakil partai politik, wakil-wakil golongan fungsional atau organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi masyarakat sipil, kelompok kepentingan dan wakil masyarakat adat untuk mengisi kekosongan DPRD dalam masa transisi. Opsi ini dapat menjadi alternatif untuk mengisi kekosongan masa jabatan DPRD, opsi ini menarik, tetapi banyak masalahnya, karena tidak sesuai dengan konstitusi, anggota legislatif dipilih bukan ditunjuk, artinya anggota DPRD itu dipilih dalam pemilihan umum, bukan ditunjuk atau perwakilan tanpa pemilu.
Opsi di atas dapat dirumuskan kemungkinan sebagai opsi dalam mengisi kekosongan masa jabatan DPRD dengan merumuskan regulasi yang dapat digunakan dalam periode transisi. Pilihan opsi perwakilan non-pemilu terkesan aneh ya, tapi semua kemungkinan dapat dilakukan untuk memperbaiki dan mengatasi kondisi darurat yang mungkin kita sebut terjadi deadlock, semua pihak yang terlihat pada prinsipnya memiliki semangat untuk memperbaiki kualitas demokrasi elektoral kita.
Keempat, anggota DPRD yang habis masa jabatannya pada 2029 digantikan dengan penjabat yang ditunjuk oleh partai-partai peserta pemilu 2024 yang memiliki wakil di DPRD atau ditunjuk oleh pemerintah melalui suatu kebijakan nasional mengenai penanganan transisi keanggotaan legislatif daerah pada masa peralihan. Opsi ini sangat rawan dan bisa menimbulkan masalah bagi konsolidasi demokrasi, opsi ini dapat menguntungkan pemerintah berkuasa, karena jejaring kekuasaan formal eksekutif dan legislatif daerah berada dalam kendali dan kontrolnya, mereka yang menduduki posisi eksekutif dan legislatif daerah adalah mereka yang ditunjuk oleh pemerintah pusat. Tentu saja opsi ini dapat dipertimbangkan untuk dipilih dalam kondisi darurat, mengingat putusan MK harus segera dijalankan dengan penyempurnaan UU pemilu yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal.
Bersambung ke bagian kedua (akan terbit pada hari berikutnya)