Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Revisi UU Pemilu dan Dukungan Masyarakat Sipil untuk Demokrasi Substansial (Bagian 2)

×

Revisi UU Pemilu dan Dukungan Masyarakat Sipil untuk Demokrasi Substansial (Bagian 2)

Share this article

Oleh: Syarifuddin Jurdi (Dosen Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar)

KHITTAH. CO – Tradisi penunjukan penjabat sudah biasa dilakukan dalam mengisi pos-pos strategis pada pemerintahan daerah, sejak penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2015, 2017, 2018, 2020 dan 2024, banyak posisi kepala daerah yang diisi oleh penjabat, bahkan mereka yang ditunjuk oleh pemerintah pusat untuk mengisi jabatan sebagai Plt kepala daerah tersebut lebih dari dua tahun, suatu waktu yang cukup panjang, kira-kira sama lamanya dengan jeda waktu pemilu nasional dan pemilu lokal yang diputuskan MK. Ide penunjukan itu ingin diterapkan dalam mengisi posisi anggota DPRD transisi yang mengakhiri masa jabatannya pada tahun 2029. (Bagi yang belum membaca bagian 1, silakan dibaca di link ini)

Kelima, jalan keluar lain, sudah banyak disuarakan oleh sejumlah kalangan agar dilakukan amandemen terhadap konstitusi (UUD 1945), posisi dilematis antara menjalankan putusan MK atau menolak putusan MK sebagaimana diungkapkan oleh segelintir pihak memiliki problem konstitusi tersendiri. Opsi amandemen konstitusi menjadi salah satu opsi yang dapat saja dipilih, apabila mayoritas anggota MPR menyepakatinya. (Bagi yang belum membaca bagian 1, silakan dibaca di link ini: Revisi UU Pemilu dan Dukungan Masyarakat Sipil untuk Demokrasi Substansial (Bagian 1))

Apakah amandemen itu bersifat terbatas, misalnya khusus yang berhubungan dengan pemilu dan legislatif ataukah meluas pada bidang-bidang yang lain, sebab banyak anggota masyarakat yang sudah mendorong dilakukan amandemen terhadap konstitusi, misalnya sejumlah kalangan mendorong MPR agar mengembalikan UUD 1945 yang asli, karena dianggap UUD itu jauh lebih orisinal dan mencerminkan nilai-nilai luhur Indonesia. Bila dibandingkan dengan hasil amandemen yang justru tidak mencerminkan watak keindonesiaan, salah satu yang menjadi kritik adalah penyelenggaraan pemilu dan pilkada.

Amandemen konstitusi memang bukanlah hal yang tabu, tetapi ide amandemen ini muncul bukan dari hasil kajian yang mendalam dengan partisipasi publik yang luas, melainkan lahir dari suatu keadaan untuk merespons situasi transisi pasca putusan MK mengenai pemilu nasional dan pemilu lokal. Ide untuk mengkaji konstitusi pada dasarnya sudah dilembagakan oleh parlemen, baik DPR maupun DPD telah membentuk satu tim khusus (terdiri dari pakar dan ahli dalam berbagai bidang) yang secara aktif melakukan penelitian, kajian dan pembahasan terkait konstitusi dan potensi terjadinya amandemen. Artinya agenda amandemen konstitusi dapat saja terjadi apabila penelitian dan kajian yang dilakukan oleh Lembaga Pengkajian MPR ditemukan adanya ruang untuk menyempurnakan konstitusi.

Amandemen sendiri merupakan diksi politik yang paling sensitif, karena bayangan mengenai perubahan konstitusi akan terjadi sebagaimana yang dilakukan pada amandemen 1999-2002 yang menghasilkan UUD NRI 1945 yakni konstitusi yang dianggap perbaikan menyeluruh dari konstitusi lama, sejumlah hal disempurnakan dalam konstitusi baru itu, misalnya masa jabatan presiden ditentukan secara jelas hanya dua periode, posisi MPR yang dahulu sebagai lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara. Dewan Perimbangan Agung (DPA) dihapus dan diganti dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), lembaga-lembaga negara baru dibentuk seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dahulu dikenal sebagai utusan daerah, sementara utusan golongan hilang, kemudian Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan lain-lain.

Sekali lagi, opsi amandemen merupakan opsi terakhir untuk merespons Putusan MK No. 153 Tahun 2024. Poin yang menjadi perhatian banyak pihak berhubungan dengan proses pengisian kekosongan masa jabatan anggota DPRD yang berakhir pada tahun 2029, sementara pemilu lokal baru diselenggarakan dua tahun atau dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR-DPD dan atau pelantikan presiden-wakil presiden hasil pemilu nasional yang diselenggarakan tahun 2029. Secara umum berdasarkan sejumlah opsi yang tersedia, pembuat UU dapat memilih satu opsi “moderat” sebagai jalan tengah.

Hakim MK ketika memutuskan pemilu nasional dan pemilu lokal sudah mempertimbangkan banyak hal, termasuk kemungkinan lahirnya diskusi dan respons publik yang beragam, untuk menjembatani hal ini diperlukan langkah terpadu lembaga-lembaga negara dengan mendiskusikan bersama. DPR dapat mengundang hakim-hakim MK untuk membicarakan mengenai argumentasi mereka soal putusannya, termasuk soal bagaimana mengisi jabatan DPRD pasca tahun 2029, semua dimungkinkan untuk menemukan solusi bagi perbaikan demokrasi dan pemilu kita, apabila DPR dapat mengundang ahli untuk didengarkan pandangan-pandangan mengenai putusan MK tersebut, maka DPR seharusnya jauh lebih mudah berkoordinasi dengan MK sebagai lembaga negara dengan mengundang hakim-hakim MK untuk didengarkan pula argumentasi mereka melalui suatu forum koordinasi.

Pasca putusan tersebut, pemerintah sebenarnya memberikan respons yang baik, melalui Menko Hukum, HAM dan Imigrasi memberi respons terkait revisi UU pemilu, pada prinsipnya pemerintah dapat merumuskan draft revisinya, Yusril Ihza Mahendra menyebut bahwa draft rancangan perubahan UU pemilu sebaiknya diusulkan pemerintah. Yusril mengatakan “Saya kira lebih baik pemerintah yang mengajukan oleh karena pemerintah akan satu suara. Karena, DPR sendiri tentu akan menghadapi fraksi-fraksi yang begitu banyak yang kepentingan-kepentingannya berbeda”. Pandangan ini menegaskan bahwa tindak lanjut putusan MK dapat segera dibicarakan dalam kerangka pembaruan regulasi tentang kepemiluan, mencakup banyak hal, termasuk opsi apakah nanti dalam bentuk kodifikasi UU Pemilu atau omnibus law pemilu/politik.

Pernyataan Menko Hukum, HAM dan Imigrasi serta pernyataan sebagian anggota DPR dan politisi soal yang sama menunjukkan adanya kemauan politik untuk membahas UU pemilu, misalnya politisi PKS sekaligus anggota Komisi II DPR RI Jazuli Juwaini mengajak politisi lain untuk menghormati putusan MK. Menurutnya, bahwa MK “Sebagai lembaga negara yang diberi mandat untuk menguji undang-undang terhadap konstitusi, kami menghormati putusan Mahkamah Konstitusi ini. Putusan ini bersifat final dan mengikat, sehingga harus dijadikan pedoman oleh para pembuat kebijakan, termasuk DPR”. Sikap Jazuli ini berbeda dengan sebagian anggota DPR lainnya, meskipun ia menganggap bahwa proses revisi harus dilakukan secara hati-hati, cermat, dan partisipatif, karena menyangkut desain besar demokrasi elektoral bangsa, termasuk aspek teknis penyelenggaraan dan pengisian masa jabatan kepala daerah serta anggota DPRD pada masa transisi. (JDIH DPR RI, 29/06/2025).

Sikap realistis terhadap putusan MK dapat dijadikan dasar untuk melakukan penataan UU pemilu yang dapat menghasilkan konfigurasi politik yang kredibel dan berintegritas. Tindak lanjut terhadap putusannya mendesak dilakukan untuk mempersiapkan pemilu yang jarak waktunya masih lama, namun tahapan pemilunya tinggal setahun lagi, pada akhir tahun 2026 proses seleksi penyelenggara pemilu tingkat nasional berlangsung, harusnya sudah mengacu pada UU pemilu yang baru hasil kodifikasi pasca putusan MK. Oleh sebab itu,  revisi UU pemilu seperti yang diharapkan Jazuli tidak hanya menjadi penyesuaian teknis, tetapi juga momentum untuk memperkuat kualitas demokrasi, partisipasi rakyat, dan efektivitas tata kelola pemilu agar lebih efisien, transparan, dan akuntabel.

Proses pembahasan revisi UU pemilu harus segera dilakukan untuk membuka ruang partisipasi publik, karena kesan UU pemilu hanya berputar pada “penyelamatan” kepentingan kelompok tertentu, bukan penguatan sistem pemilu, akibatnya banyak hal yang muncul untuk mengamankan kepentingan elektoral mereka yang terlibat dalam pemilu, sementara mengenai tata kelola pemilu ataupun penegakkan hukum pemilu tidak maksimal dibicarakan dengan alasan waktu yang terbatas.

Bagaimana model revisi UU pemilunya, apakah kodifikasi ataukah dalam bentuk omnibus law? Pilihan pada kodifikasi atau omni menjadi bahan diskusi tersendiri, sebagian memilih opsi omnibus law politik atau pemilu, termasuk sebagian anggota DPR dan akademisi agar UU tentang politik atau pemilu menjadi satu termasuk Pilkada, tujuan omnibus law adalah melakukan penyederhanaan peraturan perundang-undangan dengan menggabungkan berbagai materi UU. Sementara yang lain mendorong dilakukan kodifikasi bertujuan untuk menyatukan regulasi pemilu legislatif, presiden, penyelenggara, dapat ditambahkan dengan UU Pilkada, outputnya menghasilkan UU Pemilu yang baru.

Apa pun pilihannya, pembahasan revisi UU pemilu perlu disegerakan agar ada ruang partisipasi publik yang luas guna menghasilkan produk hukum pemilu yang lebih memastikan demokrasi Indonesia tidak hanya soal prosedur semata, tetapi menjamin hak-hak politik warga negara dan pemilu menjadi instrumen kedaulatan rakyat, bukan hanya sekedar alat legitimasi politik kaum elite.

Aspek penegakkan hukum pemilu dan manajemen pengelolaannya perlu menjadi perhatian pembuat UU, termasuk kewenangan masing-masing penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP). Dalam banyak kasus, pengaturan dana kampanye peserta pemilu perlu menjadi perhatian, misalnya laporan awal, penerimaan dan laporan akhir dana kampanye tidak dilakukan dengan transparan dan penuh tanggung jawab. Dalam laporan dana kampanye pemilu 2024, sejumlah partai politik hanya melaporkan sebagian kecil dari total dana kampanye yang mereka gunakan. Point ini dapat diperkuat dalam penegakannya.

Dengan sejumlah point dan isu-isu krusial soal pemilu yang mesti diperbincangkan secara luas dengan melibatkan akademisi, masyarakat sipil, penggiat pemilu dan berbagai kelompok lainnya, maka revisi UU pemilu tidak bisa lagi ditunda, dan menundanya sama dengan membiarkan produknya UU pemilu yang dikerjakan dengan terburu-buru, hal-hal krusial untuk penguatan demokrasi terabaikan, sementara masalah yang berhubungan dengan kepentingan elite jauh lebih didahulukan.

Dalam bahasa lain, bahwa demokrasi yang dibangun selama ini terkesan demokrasi yang dipandu dengan regulasi pemilu yang tidak dihasilkan secara matang, faktanya, UU No. 7 Tahun 2017 sudah banyak dikoreksi oleh MK melalui berbagai putusannya, artinya butuh regulasi yang tegas dan jelas, bukan regulasi tambal sulam. Dalam revisi UU pemilu yang dibutuhkan oleh bangsa ini yakni adanya sistem dan tata kelola pemilu yang adil, transparan, dan partisipatif.

Dorongan untuk segera membicarakannya sudah kuat dari berbagai pihak, termasuk pemerintah yang diwakili Menko Hukum, HAM dan Imigrasi agar revisi UU pemilu itu supaya draftnya disiapkan oleh pemerintah. Sebagian anggota DPR dan politisi juga memberi dukungan pada hal ini, masyarakat sipil ikut aktif membicarakan soal ini, bahkan melampaui kerja-kerja anggota legislatif, akademisi dengan berbagai forum ikut memperbincangkan soal ini. Dorongan itu dilakukan agar pembahasannya lebih longgar dan memberi ruang partisipasi rakyat, ujungnya nanti menghasilkan produk politik yang mencerminkan kehendak publik.

Pemilik otoritas dalam soal revisi UU Pemilu, khususnya DPR dan pemerintah harus mengambil langkah terukur agar menghasilkan produk hukum yang partisipatif. Semua elemen bangsa yang memiliki kepedulian pada perbaikan kualitas demokrasi akan ditentukan oleh regulasi yang dihasilkan dari proses yang partisipatif. Pemilu harus menjadi instrumen untuk mengukur kualitas demokrasi adalah prosesnya yang jujur, adil, transparan, partisipatif dan imparsialitas.

Wallahu a’lam bi shawab,

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply