Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO – Manusia setiap hari berjalan menuju pulau harapan. Dalam perjalanannya, selain menemukan peluang yang akan semakin mendorong dan mendekatkannya ke pulau harapan, juga seringkali dihalau berbagai tantangan. Tantangan bukan hanya bersifat eksternal, tetapi ada juga internal, bersumber dari dalam dirinya sendiri.
Manusia, sebelum sampai ke pulau harapan yang menjadi impiannya, maka harapan awalnya selain bisa menangkap peluang (potensi positif), terutama bisa melewati segala tantangan/rintangan yang ada. Manusia memiliki daya hidup, sesuatu yang vital dalam dirinya dan sekaligus berfungsi sebagai modal, mungkin tepatnya modal psikologis. Selain modal psikologis, ternyata berdasarkan hasil renungan saya, manusia pun memiliki modal filosofis dan teologis.
Manusia atau setiap diri harus menyadari bahwa dirinya adalah “sutradara” atas kehidupannya sendiri. Sebagai sutradara, bukan hanya menyusun/menuliskan skenario hidupnya tetapi menjadi pelakon (pemeran) utama atas skenario yang telah dituliskannya. Ini satu hal yang bisa dimaknai sebagai modal psikologis: sebuah kesadaran, peran utama dan urgensi diri sendiri.
Manusia pun harus memahami “konsep diri”-nya secara baik, benar, tuntas dan matang. Ini hal urgen karena sering kali visi dan misi hidup pun berawal dari konsep diri. Artinya, seseorang akan mampu membuat visi yang ideal jika telah memahami konsep dirinya secara baik, benar, tuntas dan matang.
Misi pun, jika tidak memiliki konsep diri yang matang, bisa jadi misi dimaknai hanya yang bersifat teknis-operasionalistik semata, yang memenuhi ruang praksis. Padahal misi utama adalah yang memenuhi ruang “konsepsi”, “psikologis”, “filosofis”, bahkan “teologis”.
Selain uraian di atas, ada satu hal yang harus dipahami, bahwa perjalanan menuju pulau harapan, bukan hanya diri kita sendiri yang sedang berjalan untuk mencapainya. Ada orang lain, yang fungsinya bukan hanya mendukung, tetapi tidak sedikit justru berupaya “menggagalkan”. Motif “menggagalkan” ini ada yang karena ingin “menjuarai”, menjadi pemenang tunggal, utama dan pertama. Ada juga motif, hanya ingin melihat kita gagal dan tidak sampai ke tujuan.
Berangkat dari kesadaran yang saya uraikan, maka kita atau siapa pun harus memiliki personal strength (ketangguhan pribadi) dan social strength (ketangguhan sosial). Dalam pemahaman keilmuan saya, ini memiliki basis dan fungsi yang sangat jelas.
Basis ketangguhan personal dan sosial ini adalah konsep diri yang benar, tuntas dan matang. Konsep diri, berdasarkan apa yang saya rumuskan sendiri, tidak hanya memiliki relasi ke dalam dimensi intelektual, emosional dan/atau psikologis.
Lebih dalam dari itu, memiliki relasi yang kuat pada dimensi filosofis, ideologis, bahkan teologis. Sehingga di dalamnya tetap menyandarkan atau dilandasi akan kekuasaan Allah, namun bukan berarti “jabariyah” atau pun “neo-jabariyah”.
Selain basis, fungsi ketangguhan sosial dan personal tersebut adalah memberikan posisi strategis dan tepat, termasuk cara menempatkan diri dengan tepat dalam relasi dengan diri sendiri dan orang lain, tanpa dibarengi dengan sikap dan perilaku sombong-minder dan superioritas-inferioritas. Ini menjadi penting karena manusia adalah makhluk individual sekaligus sosial.
Setiap diri sebagai makhluk individual dan sosial terikat dengan—apa yang saya sebut—“relasi dan posisi”. Dan ini memiliki signifikansi bahkan pengaruh besar dalam mencapai setiap harapan dan termasuk ketika harapan itu telah dicapai.
Apa yang saya maksud sebagai “relasi dan posisi” adalah variabel “dependen”,”independen”,”interdependen”, dan ada pula satu variabel “dependen” yang dimaknai berbeda dengan “dependen” yang pertama. Arvan Pradiansya membedakan untuk dependen pertama basisnya adalah manusia, dan untuk dependen yang kedua yang lebih tinggi dan kokoh adalah “Allah”.
Manusia pada dasarnya, mengawali kehidupannya berada dalam variabel “dependen”, memiliki ketergantungan penuh kepada manusia lainnya. Minimal pada saat bayi, sampai kanak-kanak, membutuhkan atau tergantung penuh kepada orang tuanya. Mulai persoalan makan dan lain-lain.
Seiring perjalanan hidupnya dalam menapaki sejarah, harus memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari variabel “dependen”, ke “independen” (sikap dan perilakku mandiri). Pemahaman ini harus matang, agar kemandirian atau “independensi” yang dimiliki tidak kaku. Bagaimana pun juga, sepanjang hidupnya manusia akan senantiasa berstatus sebagai makhluk sosial.
Dari hal tersebut, manusia tidak boleh berhenti sampai pada variabel “independen” saja. Tetapi harus mampu memosisikan diri dalam relasi tersebut pada variabel “interdependen” (saling tergantung). Relasi antara satu dengan manusia lainnya, memiliki kompleksitas yang seringkali tidak sesuai dengan harapan. Dalam posisi inilah penting meningkat potensi untuk sampai pada variabel “dependen” kedua yang pijakannya adalah kuasa, kehendak dan ridho Allah.
Untuk menempatkan diri dalam posisi terhadap relasi yang ada sesuai variabel-variabel tersebut di atas, tentunya membutuhkan: intrapersonal relation, interpersonal relation, dan God relation. Ini sekilas pernah saya bahas dalam tulisan sebelumnya. Untuk konteks tulisan ini, kita membutuhkan personal & social strength dalam relasi tersebut.
Sebagaimana telah saya jelaskan pada bagian atas, personal strength (ketangguhan pribadi) dan social strength (ketangguhan sosial) secara umum memiliki basis yang kokoh dalam konsep diri yang baik, benar, tuntas dan matang. Dan ternyata sebagaimana yang saya pahami dengan sangat baik dari karya spektakuler Ary Ginanjar (2005), kedua ketangguhan ini bisa dilandaskan, mendapatkan energi dahsyat, diaktivasi atau memiliki relevansi dan makna derivatif dari rukun Islam yang terdiri dari lima.
Dalam tulisan saya, kedua puluh tiga Ramadan, “Mengokohkan Prinsip melalui Bulan Ramadan”, saya menegaskan pengokohan prinsip dengan melandaskan pada “rukun iman”, karena selama ini rukun iman seringkali hanya sebagai bahan hafalan. Begitu pun rukun Islam, selama ini hanya dihafal, selain beberapa di antaranya dipahami dan dilaksanakan sebagai sebuah ritual dan kewajiban.
Rukun Islam memiliki makna fungsional, psikologis, makna alegoris dan yang pasti memiliki makna anagogis (spiritual) yang bisa menjadi modal dalam mengarungi hidup, termasuk untuk sampai pada pulau harapan. Ary Ginanjar dengan sangat cerdas dan melalui perenungan mendalam, sampai akhirnya menemukan dan “memetakan” rukun Islam secara fungsional.
Rukun Islam terdiri atas lima: mengucapkan dua kalimat Syahadat, mendirikan shalat, berpuasa pada bulan Ramadan, mengeluarkan zakat, dan naik haji bagi yang mampu. Rukun Islam ini oleh Ary Ginanjar ditarik makna derivatifnya dan memiliki makna progresif yang sangat dahsyat sebagai modal kehidupan.
Makna derivatif dan/atau progresif dari rukun Islam yaitu: Pertama, mission statement; Kedua, character building; Ketiga, self controlling; Keempat, strategic collaboration; dan kelima, total action.
Dari rukun Islam, dan termasuk makna derivatif dan progresifnya bisa dipahami bahwa rukun Islam pertama, kedua dan ketiga secara fungsional akan menumbuhkan ketangguhan personal (personal strength). Rukun Islam keempat dan kelima untuk menumbuhkan ketangguhan sosial (social strength).
Dari logika di atas bisa dipahami bahwa untuk menumbuhkan ketangguhan personal, maka dibutuhkan: mission statement (yang bisa diperoleh basisnya melalui dua kalimat syahadat); character building (yang bisa diperoleh basisnya melalui shalat); Dan, self controlling (basisnya bisa diperoleh melalui puasa, terutama puasa Ramadan yang sedang kita laksanakan hari ini dan 24 hari telah berlalu).
Untuk menumbuhkan ketangguhan sosial, maka dibutuhkan: strategic collaboration (basisnya bisa diperoleh melalui zakat); Dan total action (basisnya melalui, rukun Islam kelima, “haji”).
Terkait ketangguhan personal, pada tulisan sebelumnya, tentang pengokohan prinsip adalah modal utama. Prinsip yang dimaknai secara derivatif dan progresif dari rukun Iman, dipandang membutuhkan rukun Islam untuk mengasah agar, bisa kokoh menjaga God Spot dalam diri. Untuk lebih memahami ini bisa membaca tulisan-tulisan saya sebelumnya.
Rukun Islam pertama, mission statement relevan dengan prinsip yang kokoh. Yang ingin saya jelaskan lebih dalam, bahwa di dalamnya mengandung sebuah to see ala Rhenald Kasali. Sebagai sebuah mission statement sebagaimana dalam konsep “ihsan”, bahwa apa yang menjadi harapan atau impian, sejak dari sekarang, jauh sebelum mencapainya, harus telah melihatnya secara jelas di alam mental.
Rukun Islam kedua, character building, shalat bukan hanya untuk mendapatkan pahala dan bermuara pada “surga”. Shalat sebagai sesuatu yang vital untuk membangun ketangguhan personal, idealnya jika dipandang dari filosofi habits, bukan hanya meninggalkan bekas atau tanda hitam pada jidat, tetapi mampu melahirkan karakter, pemikiran, sikap dan perilaku yang jauh dari perbuatan keji dan munkar. Dalam konteks pengabdian kepada negara, orang yang shalat, tidak akan korupsi.
Rukun Islam ketiga, self controlling, puasa bukan hanya bermuara pada pengharapan pahala dan surga, tetapi puasa adalah sampai pada pengharapan menjadi orang yang bertakwa. Pengertian takwa tentunya bukan dalam dimensi transendensi semata. Namun yang paling utama, bagaiamana “pengendalian diri”, “keikhlasan”, “kesabaran”, “niat dan ridho Allah”, dan “kepedulian” senantiasa mewarnai kehidupan.
Rukun Islam keempat, strategic collaboration, zakat bukan hanya untuk memenuhi makna menyucikan harta dan jiwa agar bisa kembali fitrah. Zakat memiliki fungsi yang lebih luas dan dalam sebagai strategi kolaborasi untuk membangun ketangguhan sosial khususnya umat Islam. Ini penting karena sebagaimana Stephen R. Covey (dalam Ary Ginanjar, 2005) salah satu rahasia keberhasilan adalah keseimbangan antara production dan production capability. Kehidupan sosial, ikut memengaruhi personal untuk sampai pada sebuah keberhasilan.
Zakat, memantik rasa empati, dan dalam perspektif jangka panjang dan dalam dimensi yang lebih luas, telah dipahami bahwa empati adalah merupakan prasyarat utama untuk memiliki kesadaran kritis, sebagai sebuah kesadaran yang sangat dibutuhkan dalam menjalani kehidupan.
Rukun Islam kelima, total action, Haji—oleh Ary Ginanjar—dimaknai sebagai suatu lambang dari puncak “ketangguhan pribadi” dan puncak “ketangguhan sosial”. Merupakan simbol langkah sempurna. Jika saya menarik garis relasi dengan konsepsi “change” Rhenald Kasali, saya memaknainya, bahwa total action (makna derivasi dari “haji” adalah sebuah kesadaran untuk bukan hanya memiliki to see, melainkan semuanya harus dimulai, ada to move. Setelah memulai atau bergerak, maka wajib to finish (menyelesaikan/menuntaskan).
Ingat, harapan, keberhasilan dan perubahan seringkali tidak bisa terwujud karena disebabkan oleh: failure to see, failure to move, dan failure to finish. Ini semua adalah sesuatu yang sangat vital, sebagai daya hidup sehingga penting untuk di-“revitalisasi”.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.