“Persembahan Sederhana Buat Musyda IMM Sulsel”
Oleh : Sakinah Fitriani
(Ketua Umum IMM Maktim)
Tantangan Kita
Tak bisa kita pungkiri, saat ini gerakan mahasiswa sedang mengalami banyak tantangan. Tantangan pertama, datangnya dari internal gerakan mahasiswa itu sendiri, ada semacam gejala “melempemnya” perkaderan di tubuh gerakan mahasiswa, ada semacam “ritualisasi” perkaderan mahasiswa. Perkaderan sekedar menjadi penggugur program kerja belaka, perkaderan telah menjadi “serasa tawar”, telah kehilangan “sakralitas” nya. Menurut saya selama perkaderan di tubuh gerakan mahasiswa tidak direvitalisasi, maka selama itu pula gerakan mahasiswa tidak akan memiliki daya gebrak dalam konstalasi nasional.
Tantangan kedua, dunia kampus kita se akan-akan ingin membirokratisasi gerakan mahasiswa. Dunia kampus seakan-akan menganggap bahwa dinamika gerakan mahasiswa berpotensi menghambat laju mesin birokrasi akademik. Aktif hingga berpeluh keringat di organ gerakan mahasiswa tertentu tak dianggap sebagai prestasi, bahkan dianggap sebagai kegiatan yang menghambat prestasi akademik dan membuang-buang waktu saja.
Tak bisa kita ingkari, dalam sejarahnya kampus adalah “rahim” bagi lahirnya embrio-embrio gerakan mahasiswa. Kampus sejak awal memang menyediakan ruang untuk melakukan pengembaraan pikiran bagi para insan pembelajarnya. Kampus sejak awal memang memupuk kepedulian kepada yang terpinggirkan oleh sistem ekopol yang ada. Jika kampus tidak lagi mendorong petualangan intelektual, tidak lagi menyemai empati pada rakyat kecil, maka bisa jadi ke depannya akan tercipta semacam rivalitas antara gerakan mahasiswa dengan birokrasi kampus.
Tantangan ketiga adalah massifnya “hempasan” pop culture terhadap generasi muda tak terkecuali teman-teman mahasiswa. Budaya konsumtif merebak di mana-mana, tercipta asumsi kebudayaan bahwa “semakin banyak belanja maka semakin baik”. Anak-anak muda kita terperangkap dalam pusaran budaya konsumerisme yang semakin hari semakin ganas. Kebanggaan tidak lagi diukur dari “kepemilikan gagasan”, “kepedulian” dan “kekuatan karakter”. Kebanggan hanya diukur dari “kepemilikan barang” dan “citra populer” di media.
Salah satu akibat budaya pop (pop culture) adalah tumbuh suburnya apa yang disebut dengan “budaya tontonan” (spectacle culture). Budaya tontonan adalah sebuah konstruksi kebudayaan yang menjadikan audiensnya sebagai orang-orang yang merasakan “kenikmatan” dan “kebahagiaan” dari aktivitas “menonton” dan “ditonton”. Dalam budaya ini, keterlibatan adalah hal yang beresiko, dan yang terpenting adalah menjadi pusat perhatian alias pusat tontonan dari berjuta-juta orang di media-media massa maupun online. Mahasiswa kita sepertinya juga tak luput dari akibat budaya tontonan tersebut, sebagian dari kita tak lagi disibukkan dengan melahap gagasan dari buku-buku dan diskusi, tak lagi disibukkan dengan dengan aktivitas membela dan memberdayakan kelompok-kelompok termarjinalkan, kita hanya sibuk mempermak citra diri kita di beranda-beranda aplikasi medsos.
Apa yang harus kita lakukan ?
Meratapi masalah bukanlah solusi, bahkan bisa semakin memperkeruh situasi. Karena pada dasarnya tantangan ada untuk dilampaui, bukan untuk tangisi. Sebagai kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah saya ingin menawarkan beberapa jalan keluar.
Pertama, kita perlu meninjau perkaderan kita. Kita tidak hanya perlu meninjau konten materi perkaderan, tapi perlu juga meninjau metodologi perkaderan kita selama ini. Dari segi konten materi, materi-materi yang bisa mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis adalah hal yang mutlak, karena antara gerakan mahasiswa dan kritisisme adalah dua hal yang saling mengandaikan. Sikap dan berpikir kritis dapat dibarat ruh dalam tubuh, tanpa kritisisme gerakan mahasiswa.
Selain itu, kita perlu meninjau metodologi perkaderan kita. Barangkali kita perlu mentradisikan metode partisipatoris dalam event-event perkaderan kita. Indoktrinasi perlu di tingkat dasar, tapi jika menjadi pilihan utama akan berbahaya bagi otonomi dari kader. Dalam teori gerakan sosial setiap gerakan mempersyaratkan adanya subjek gerakan, karena subjek gerakan hanya bisa ada dalam situasi yang merdeka (otonom) maka metode partisipatoris mutlak diperlukan untuk melahirkan subjek-subjek gerakan.
Kedua, untuk mensiasati dunia kampus yang tidak kondusif, cara yang paling jitu bagi saya adalah dengan memperbanyak komunitas-komunitas ilmiah. Menurut saya, komunitas-komunitas ilmiah lebih bisa menyediakan ruang yang lapang dan bebas bagi pengembaran intelektual dibanding ruang kelas di kampus-kampus kita. Gerakan mahasiswa seharusnya mampu merebut ruang-ruang publik dan mengisinya dengan event-event kultur intelektual.
Tapi bagaimana pun, itu tidak berarti kita meninggalkan kampus. Kampus harus tetap menjadi tempat berjangkar kita, maka dari itu sudah menjadi kewajiban moral kita untuk tetap mengkritisi dunia kampus. Kita harus terus berikhtiar agar dunia kampus kembali ke khittahnya, seberat apapun itu. Kampus sebisa mungkin harus kita kembalikan menjadi lumbung kepedulian sosial dan persemian gagasan-gagasan cemerlang.
Ketiga, untuk menghadapi “kedangkalan budaya” yang merupakan akibat dari “budaya tontonan”, maka revitalisasi nilai-nilai luhur agama adalah perlu adanya. Gerakan mahasiswa memerlukan semacam spiritualitas untuk membendung hura-hura kebudayaan kontemporer. Tapi spiritualitas yang kita butuhkan adalah spiritualitas yang menggerakkan, spiritualitas yang progresif dialektis, bukan spiritualitas yang mandul dan meninabobokan.