Oleh : Saifuddin Al Mughniy
Ketabahan (fortitude)
Masih ada elemen lain lagi yang masih dekat hubungannya dengan pengharapan dan iman dalam struktur hidup kita, yakni kebenaran, atau lebih tepatnya—seperti yang dikemukakan Spinoza; ketabahan (fortitude). Istilah ketabahan tidak seambigu istilah keberanian. Sebab dewasa ini, keberanian lebih sering dipakai untuk kalimat seperti ”berani mati” dan bukan”berani hidup” ketabahan tidak lain berarti kemampuan untuk bertahan dalam cobaan dan mengerahkan segenap harapan dan imannya guna mengubah cobaan itu menjadi berkat. Ketabahan merupakan kemampuan diri untuk berkata ”tidak” sementara seluruh dunia ingin mendengar dia berkata “ya”.
Tapi, ketabahan tidak dapat sepenuhnya kita mengerti kalau kita tidak melihat aspek lawanya, yaitu ketakutan. Ketakutan disini tidak sekedar takut karena ancaman, bahkan ancaman maut. Kata ketakutan memuat arti yang begitu kompleks. Saya hanya akan menyebut tiga arti saja yang nampaknya amat penting.
Pertama, seseorang dikatakan takut karena ia tidak peduli akan kehidupannya. Ketakutanya ini terjadi karena kurangnya rasa cinta akan kehidupan. Ia terus-menerus mencari situasi–situasi bahaya untuk dapat menghindar dari rasa takutnya pada kehidupan, pada diri sendiri dan masyarakat.
Kedua, orang tunduk kepada suatu berhala yang tampil sebagai ‘seorang pemimpin kharismatis’ sebuah lembaga maupun sebuah ideologi. Perintah- perintah dari berhala itu adalah suci dan benar. Jika membantah atau ragu- ragu akan komando ”sang dewa” ia akan berhadapan dengan bahaya kehilangan identitas, dilempar keluar dari kawanan hingga tinggal sendiri kesepian, akhirnya bisa–bisa menjadi gila. Ia rela mati karena takut menghadapi resiko ini.
Ketiga, terdapat dalam pribadi yang berkembang normal. Ia juga percaya diri dan mencintai kehidupan. Orang yang telah mampu mengatasi ketamakan dalam dirinya tidak akan terikat pada berhala apapun. Karena itu tak ada yang mesti dikhawatirkan. Ia kaya karena dapat mengosongkan dirinya. Ia kuat karena tidak menjadi budak keiginan dan ambisi- ambisinya. Ia mampu mengusir pergi berhala-berhala, hasrat-hasrat irasional dan fantasi-fantasi kosong karena ia sepenuhnya mendarat pada realitas, di dalam atau pun di luar dirinya. Dalam pribadi yang telah mencapai kepenuhan” pencerahan” seperti ini, ia sama sekali tidak pernah akan takut.
Pengharapan dan iman yang adalah sifat-sifat dasar kehidupan pada hakikatnya mengatasi status quo individu maupun sosial, hidup yang mengalami stagnasi condong lalu mati. Jika stagnasi itu mencapai kepenuhannya, terjadilah kematian gerak kehidupan cenderung mendobrak dan mengatasi status quo.
Kita akan tumbuh menjadi makin kuat atau makin lemah, makin bijak atau makin picik, makin tabah atau malah makin penakut. Tiap detik hidup kita adalah momentum keputusan; menjadi lebih baik atau lebih buruk. Setiap saat kita dihadapkan pada pilihan; memupuk kemalasan, kelobaan, kebencian atau kita mengabaikannya. Semakin kita pupuk, semakin kuatlah sifat–sifat itu.
Apa yang berlaku untuk individu, berlaku pula untuk masyarakat. Masyarakat tidak pernah tinggal statis. Jika masyarakat tak lagi berkembang, maka hancurlah mayarakat itu. Jika masyarakat tidak lagi mampu mentransendensi statusquo demi keadaan yang lebih baik, maka masyarakat itu akan makin rusak.
Hancurnya Pengharapan
Kehilangan pengharapan, kehilangan iman dan ketabahan mungkin sekali merupakan ciri eksitensi manusia. Respon dan reaksi-reaksi terhadap hancurnya pengharapan bisa sangat bermacam macam, tergantung dari banyak situasi; sejarah, pribadi, psikologis dan konstitusi Negara.
Hancurnya pengharapan disebabkan oleh; Pertama; Mentalitas rombongan yang mereka anut. Mereka tak pernah putus harapan, karena orang–orang lain juga demikian. Mereka mewakili sosok optimisme yang khas, yang kita lihat begitu banyak dianut oleh individu masyarakat barat kontemporer. Optimismenya ada di alam sadar, sedang kepasrahannya berada di alam bawah sadar.
Kedua; Hati yang membatu, seperti kebanggaan mereka dalam hidup yang tidak mebutuhkan orang lain. Mereka begitu bangga karena tak bisa didekati dan merasa nikmat kalau bisa menyakiti hati orang. Apakah itu dilakukan lewat cara–cara kriminal atau cara–cara yang sah secara hukum dan lebih banyak tergantung pada faktor sosial dan bukan faktor psikologis.
Ketiga; Timbulnya situasi kekerasan dan pengrusakan. Orang yang sama sekali telah kehilangan harapan, membenci kehidupan. Karena tidak mampu menciptakan kehidupan ia ingin menghancurkan kehidupan. Ia ingin untuk membalas dendam pada dirinya sendiri karena hidupnya tidaklah ‘hidup’. Caranya dengan menceburkan diri secara total kedalam kehancuran dan bukan masalah apakah yang hancur itu dirinya sendiri atau orang lain. Bagaimana dengan bangsa ini ? tentu saya masih punya harapan yang besar kalau revolusi pemikiran menjadi bagian dari dirinya.
Selesai…