Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Refleksi Kepemimpinan IMM dari Ruh Musyawarah ke Jalan Perubahan

×

Refleksi Kepemimpinan IMM dari Ruh Musyawarah ke Jalan Perubahan

Share this article

Oleh: Nur Amaliah (Aktivis IMM)

KHITTAH. CO – IMM hadir bukan hanya organisasi mahasiswa biasa, melainkan ruang untuk mengasah kepemimpinan dan membentuk karakter. Di mulai dari lingkar diskusi sederhana hingga forum musyawarah cabang, setiap Langkah mengajarkan makna dari tanggung jawab dan keberanian. IMM bukan hanya mengisi ruang akademik, tetapi sebagai tempat yang memadukan nilai, intelektual, dan spiritual. IMM ruang membesarkan sekaligus tempat bertumbuh.

Kepemimpinan dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah bukanlah sekadar jabatan struktural yang tercatat dalam AD/ART. Sejak pertama kali saya mengenal IMM, saya belajar bahwa kepemimpinan di sini adalah ruh yang menghidupkan gerakan, arah menuntun kader dan teladan yang meneguhkan cita-cita. “True leadership is measured not by titles, but by the values we choose to uphold”. Dari forum kecil hingga musyawarah besar, saya merasakan bahwa kepemimpinan di IMM selalu mengajarkan untuk mendahulukan nilia daripada ambisi.

Dalam literatur kepemimpinan, John C. Maxwell menyebutkan bahwa inti kepemimpinan adalah pengaruh. Pengaruh yang artinya bukanlah dominasi, melainkan kemampuan menggerakkan orang lain menuju tujuan bersama. Saya merasa gagasan ini sejalan dengan IMM, dimana IMM buka untuk ‘‘memerintah’’ melainkan menyatu dengan yang lain.

Di Tengah zaman yang begitu cepat arusnya, dimana informasi digital, krisis moral, dan tantangan kebangsaan, IMM dituntut hadir sebagai jawaban. IMM tidak boleh kehilangan arah hanya karena terpukau oleh popularitas atau sibuk dengan formalitas. Pemimpin di IMM harus mampu membaca zaman dengan menyaring berbagai informasi, dan menjawab tantangan dengan gagasan yang segar sekaligus tindakan yang nyata.

Buya Syarifii Marif dalam berbagai tulisannya sering mengingatkan bahwa bangsa ini kerap rapuh karena abai pada moral. Beliau menegaskan bahwa seorang pemimpin harus mampu menjadi teladan akhlak, bukan hanya penguasa kebijakan. Pesan ini menjadi refleksi sekaligus harapan bahwa jika kita ingin melahirkan pemimpin bangsa, makai a harus terlebih dahulu ditempa menjadi pribadi yang jujur, berani, berintegritas di ruang-ruang kaderisasi.

Kepemimpinan di IMM tidak lahir dari ambisi pribadi, melainkan semangat kolektif. Seorang ketua cabang, komisariat sejatinya hanyalah wajah yang mewakili semangat seluruh kader. Musyawarah adalah ruhnya, kolektivitas adalah jalannya, dan kebermanfaatan adalah tujuannya. Maka seorang pemimpin di IMM harus selalu rendah hati, bahkan berdiri di depan untuk memberi teladan, tetapi juga mau berjalan di tengah untuk mendengar, dan rela berada di belakang untuk mendorong agar semua tetap maju.

Bagi saya nilai Islam berkemajuan menjadi fondasi utama, bagaimana mungkin sebuah organisasi bisa bertahan jika tidak berpijak pada nilai yang kokoh? IMM menjawab keraguan itu bahwa Islam sebagai rahmatan lil-‘alamim hadir bukan sekadar jargon melainkan panduan pertama dalam bertindak dan bersikap. Dengan itu seorang pemimpin di IMM dituntut menjadi wajah islam yang teduh, kritis, sekaligus merangkul semua kalangan. Pemikiran kuntowijoyo tentang ilmu sosial profetik juga relevan. Kepemimpinan harus menggabungkan aspek transendensi, humanisasi dan liberasi. IMM sebagai organisasi kader yang seharusnya melahirkan pemimpin yang mampu menjawab ketiga misi tersebut.

Amin Raise dalam  Agenda Mendesak Bangsa menulis bahwa kepemimpinan harus berani mengambil resiko demi suatu kebenaran. Prinsip yang dirasakan bahwa, kadang kepurusan musyawarah bukan yang paling popular, tetapi justru itulah yang meneguhkan nilai. Pemimpin tentunya harus berani mengambil sikap mesti tidak semua orang setuju, selama itu demi kebermanfaatan kolektif.

Satu bentuk refleksi bahwa kepemipinan IMM adalah bagian daripada kaderisasi yang tentunya setiap periode bagian dari estafet dan bukan panggung abadi. Seorang pemimpian harus menyiapkan generasi berikutnya lebih baik daripada dirinya, bukan sebaliknya. Ia harus berani dalam segala aspek mulai dari mendidik, membuka ruang bahkan merelakan tongkat estafet berpindah, karena sejatinya pemimpi tidak lahir dari rasa ingin dipertahankan, melainkan semangat untuk rekonstruksi.

Musyawarah Cabang (Musycab) menjadi contoh nyata bagaimana kepemimpinan IMM ditempa. Musyawarah cabang bukan forum untuk beradu perbedaan pandangan, namun menumbuhkan energi untuk menyampaikan gagasan. Musycab bukan sekedar memilih pemimpin baru, tetapi juga ruang untuk merefleksi apakah gerakan kaderisasi hari ini berjalan dengan baik, dan bagaimana kepemimpinan IMM bisa terus memberi manfaat yang nyata.

Kepemimpinan bukan hanya soal hari ini, namun satu bentuk untuk masa yang akan datang. Mengajarkan bahwa keberanian harus ditempa dengan ilmu, solidaritas harus dirawat dengan kasih, perjuangan harus dijalankan dengan konsisten, dan saya percaya dari ruang-ruang IMM inilah akan melahirkan pemimpin yang tulus, luas ilmunya dan kokoh imannya.

Refleksi bukan semata untuk mengenang perjalanan, namun sebagai pengingat bahwa kepemimpinan adalah bentuk juang sebuah amanah yang terus dirawat. IMM telah mengajarkan bahwa setiap kader adalah calon pemimpin, dan setiap pemimpin lahir untuk melayani, bukan dilayani. Bagi saya, kepemimpinan IMM adalah lingkar yang tak pernah putus, ia terus berputar, terus melahirkan, dan terus menyalakan harapan untuk masa depan umat dan bangsa.

 

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply