Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Berita

RUU TNI Disahkan: Akademisi Unismuh Sebut Dwi Fungsi ABRI Tak Akan Bangkit!

×

RUU TNI Disahkan: Akademisi Unismuh Sebut Dwi Fungsi ABRI Tak Akan Bangkit!

Share this article

Khittah.co, Makassar — DPR RI resmi menetapkan revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi undang-undang. RUU TNI disahkan lewat sidang paripurna di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis, 20 Maret 2025. Pengesahan ini menuai beragam reaksi dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, aktivis, masyarakat sipil, dan mahasiswa di sejumlah daerah.

Sejumlah pasal dalam UU TNI yang baru dianggap kontroversial karena dinilai berpotensi mengubah dinamika hubungan sipil-militer di Indonesia. Isu paling mencuat adalah kekhawatiran kembalinya Dwi Fungsi ABRI yang telah dihapus sejak era reformasi.

Poin-poin Perubahan

Salah satu poin yang menjadi perhatian adalah perubahan pada Pasal 3 terkait kedudukan TNI. Sebelumnya, TNI berada di bawah Presiden dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, sedangkan dalam kebijakan strategis dan administrasi pertahanan berada di bawah Departemen Pertahanan. Namun, dalam aturan yang baru disahkan, TNI kini berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan dalam hal strategi pertahanan dan dukungan administrasi yang terkait dengan perencanaan strategis.

Perubahan lainnya terdapat pada Pasal 7 terkait tugas pokok TNI. Dalam UU sebelumnya, TNI memiliki 14 tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Kini, dua tugas baru ditambahkan, yaitu membantu menanggulangi ancaman siber serta membantu melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.

Pasal lain yang menuai perhatian adalah Pasal 47 tentang penempatan TNI aktif di kementerian dan lembaga. Sebelumnya, hanya 10 lembaga yang dapat diisi anggota TNI aktif. Kini, jumlahnya bertambah menjadi 14 lembaga, termasuk Kejaksaan Republik Indonesia dan Mahkamah Agung. Adapun soal batas usia pensiun anggota TNI yang diatur dalam Pasal 53 juga mengalami perubahan.

Batas usia pensiun kini menjadi 55 tahun bagi bintara dan tamtama, 58 tahun untuk perwira hingga pangkat kolonel, 60 tahun bagi perwira tinggi bintang 1, 61 tahun bagi perwira tinggi bintang 2, 62 tahun bagi perwira tinggi bintang 3, serta 63 tahun untuk perwira tinggi bintang 4 yang dapat diperpanjang dua kali sesuai kebutuhan dengan Keputusan Presiden.

UU TNI Beda dengan Dwi Fungsi ABRI

Menanggapi pengesahan tersebut, Dosen Fakultas Hukum Unismuh Makassar, Muhammad Ikhwan Rahman SH MH CPM, menegaskan bahwa perubahan aturan ini tidak berpotensi menghidupkan kembali Dwi Fungsi ABRI sebagaimana yang berkembang di opini publik belakangan ini. Ia menjelaskan bahwa perubahan aturan hanya memperjelas posisi TNI dalam perencanaan strategis di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan, sedangkan tugas operasional tetap menjadi ranah TNI.

Ikhwan menilai bahwa revisi UU TNI tidak dapat disamakan dengan praktik Dwi Fungsi ABRI pada masa Orde Baru. Ia menyebut dua perbedaan utama yang menjadi bukti bahwa UU TNI yang baru tidak berpotensi menghidupkan kembali Dwi Fungsi ABRI.

Pertama, dari segi ranah tugas dan wewenang, pada masa Orde Baru, Dwi Fungsi ABRI menempatkan militer tidak hanya sebagai kekuatan pertahanan, tetapi juga sebagai kekuatan sosial-politik yang berperan aktif dalam mengatur kebijakan pemerintahan hingga ke tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bahkan, ABRI memiliki fraksi khusus di DPR tanpa melalui proses pemilihan, menjadikan mereka pemain politik yang dominan di berbagai lini pemerintahan.

Sebaliknya, dalam UU TNI yang baru, peran militer tetap fokus pada sektor pertahanan dan keamanan negara. Meski ada penambahan tugas dalam OMSP — seperti penanggulangan ancaman siber serta perlindungan warga negara dan kepentingan nasional di luar negeri — tugas ini tetap berkaitan langsung dengan fungsi pertahanan negara, bukan politik praktis atau pengaruh kebijakan publik yang luas.

Kedua, terkait keterbatasan jabatan di lembaga sipil, Ikhwan menjelaskan bahwa pada masa Orde Baru, anggota ABRI dapat dengan leluasa menduduki berbagai posisi strategis di pemerintahan, termasuk posisi kepala daerah, menteri, hingga pejabat di birokrasi sipil. Praktik ini menciptakan dominasi militer di ruang politik. Sebaliknya, dalam revisi UU TNI yang baru, penempatan anggota TNI aktif di posisi kementerian/lembaga hanya diperbolehkan pada 14 instansi yang berhubungan langsung dengan sektor pertahanan, keamanan, dan penanggulangan bencana. Lembaga tersebut meliputi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Narkotika Nasional (BNN), Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.

Langkah ini dirancang untuk mendukung tugas-tugas teknis yang membutuhkan keahlian dan pengalaman dari unsur TNI, bukan membuka ruang bagi keterlibatan militer dalam ranah politik praktis.

Kawal Implementasi

Menurut Ikhwan, penempatan anggota TNI aktif di jabatan publik yang menurutnya tidak boleh serta-merta dicurigai sebagai upaya militerisasi. Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa pengawasan terhadap pejabat publik, baik berlatar belakang TNI maupun unsur lainnya, merupakan tanggung jawab bersama masyarakat. Soal batas usia pensiun yang diperpanjang, dosen Unismuh Makassar itu menilai langkah tersebut beralasan karena di usia 53 tahun, para prajurit tamtama dan bintara umumnya masih berada dalam kondisi fisik dan mental yang stabil.

Ikhwan menegaskan bahwa tantangan terbesar pascapengesahan UU TNI adalah implementasinya. Ia menekankan pentingnya pengawasan ketat dari publik agar aturan ini tidak melenceng dari prinsip demokrasi dan supremasi hukum. Lebih lanjut, ia berharap TNI mampu mempertahankan kepercayaan publik yang selama ini menempatkannya sebagai lembaga negara dengan tingkat kepercayaan tertinggi. “Pengawasan ketat dari publik adalah kunci agar UU ini berjalan sebagaimana mestinya,” tutup staf pengajar Fakultas Hukum Unismuh Makassar itu.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner ITKESMU SIDRAP

Leave a Reply