Oleh: Hamzah Fanshury
Beginikah pengetahuan itu bermula?
Tiba-tiba “mithea” menyelimuti dinding-dinding goa, bukan cuma hening melainkan suwung. Lalu kau merasakan sebuah rengkuhan teramat lekat sampai udara menjadi susut dan kau merasa sulit menghela nafas. Kemudian gema suara dari lintasan yang seakan tak terwadahi oleh indra dengarmu meletupkan sebuah titah; bacalah! Kau yang dalam sejarah disebut sebagai
sosok yang tak melek aksara bertanya dengan bingung, atau dengan rendah hati, menyuarakan kedhaifan; membaca apa?
Barangkali memang demikian, sebuah aksara tak hanya merupakan tanda, atau struktur alvabetikal. Aksara dalam peristiwa di atas, dalam peristiwa yang dialami oleh nabi Muhammad itu, merupakan senyawa antara misteri transendental dan ikhtiar profan yang memahami batas; disanalah revelasi, wahyu yang menyisakan ketakjuban sekaligus kegalauan terjadi. Dan dari
peristiwa itu pula kita bisa tahu, bahwa “actus essendi” untuk pewujudan wahyu adalah batin yang lapang.
Pada awalnya adalah sabda; bacalah!
Sebuah suara yang datang dari keabadian, yang menyerukan sebuah gerak menelusuri jejak yang mungkin, juga jejak yang diselimuti kabut. Baca, “atau iqro’ dalam leksikon arabnya”, dalam tradisi ‘goa Hira’ merupakan opus spirituale. Sebuah lengkung yang tak melulu skematik, yang memungkinkan pencerahan membersit dari sudut-sudut yang acap kali tak dinyana. Baca, dalam tradisi goa Hira adalah kesadaran yang hadir tidak dalam “space and time” profan melainkan dalam ‘jagad diri dan jagad Tuhan’”; pada mulanya adalah baca dan pada akhirnya adalah baca. Dan pada ruas-ruas ‘baca’ itu, kesadaran dan pencerahan adalah hal yang senantiasa berjaga untuk hadir.
Sesudah itu adalah sebuah etika.
Etika yang mendorong imajinasi sampai batas terjauh pengetahuan, yang mengajukan ketakjuban tanpa tersesat dalam dilusi kebenaran; etika ‘maa ana bi qori’. Etika ini juga berlangsung di atas dan dalam kesadaran akan realitas dan pengetahuan yang tak bisa diringkus dalam satu kotak puak, ideologi, atau juga Agama tertentu. Dengan kata lain, etika ‘maa ana bi qori’ merupakan sikap batin yang memahami makna tawadhu’ dalam pencarian pengetahuan, bahwa tak segala soal bisa diringkus dan diterjemahkan sebagai sesuatu yang logis-positivistik. Selalu ada ruang untuk menerima misteri dan keajaiban. Sehingga karena itulah, seorang yang bisa tumbuh dalam etika maa ana bi qori’ adalah seorang yang selalu siap masuk ke dalam labirin pengetahuan tanpa takut tersesat, seseorang yang bisa berhenti pada sebuah kelokan dengan visi yang menerabas pada kejauhan; bukan seorang yang pongah menetap pada satu altar lalu menekuk imajinasi. Maka ‘maa ana bi qori’ adalah ujaran seorang salik, seorang yang tidak tunduk pada batas aksara.
Sesudah itu adalah pena.
Pena menjadi simbol dari pelampauan atas ‘sesuatu yang terpikirkan menjadi sesuatu yang dipercakapkan.’ Pena menandai hadirnya diskursus, menandai titik-titik kisar pengetahuan dan juga pergolakan “nous”, atau dengan kata lain pena menandai hadirnya kebenaran yang lasak. Dengan begitu pengetahuan dalam islam adalah logos, adalah sabda. Dalam hal ini, logos atau sabda merupakan percakapan yang dialektis; kebebasan eksistensial, kausalitas, dan kemudian Tuhan. Dengan kata lain, pengetahuan adalah perihal yang tak sudah, dari buaian sampai liang lahat.
Maka, bacalah dengan terang nama Tuhan yang mendidik melalui pena.
*) Hamzah Fanshury adalah Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Sulsel