Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Saling Memaafkan, Bentuk Afirmasi Positif dalam Keluarga

×

Saling Memaafkan, Bentuk Afirmasi Positif dalam Keluarga

Share this article

Oleh: Budi Winarto*

KHITTAH. CO – Seiring perkembangan zaman, generasi pun mengikuti dengan segala perubahannya. Teknologi yang terus berkembang membuat perubahan drastis atas segala tatanan. Pergeseran pola pikir dari gotong royong, relasional menjadi transaksional adalah fenomena yang tidak bisa dihindarkan oleh sebagian. Peristiwa ini bukan hanya terjadi di tingkat luas, namun di tingkat kecil seperti keluarga pun terjadi.

Tidak sedikit orang tua yang mengeluh akan anak-anak mereka dan tak sedikit pula anak-anak yang merespons negatif saat orang tua berbicara atau menasehatinya. Hal ini terjadi karena mereka saling memaksakan ruang dan waktu yang berbeda menjadi seperti apa yang mereka inginkan di zamannya masing-masing.

Tidak berhenti di situ, anak-anak sekarang sebagiannya sudah “acuh” terhadap orang tua dan lingkungan sekitar, pun lebih-lebih pada dirinya sendiri. Buktinya mereka sebagian tidak bisa mengatur waktu untuk kebaikan dirinya maupun kesehatannya. Banyak di antara mereka yang menghabiskan waktu untuk begadang tanpa memedulikan apa pun, termasuk masa depannya. Gaya hidup hedonis melekat dan itu dampak negatif dari kemajuan teknologi yang tidak diimbangi aturan hidup yang baik. Komunikasi pun menjadi kurang sehat.

Pendekatan yang tadinya berfokus pada hubungan dan interaksi antar dua pihak atau lebih untuk saling membantu, bekerja sama agar saling meringankan dan menghargai menjadi harus bernilai imbalan yang menguntungkan tanpa peduli. Semua bentuk kerja sama yang bernilai kebaikan menjadi transaksional. Bukan apa yang bisa saya berikan melainkan apa yang bisa saya dapatkan, itu mungkin slogan yang tepat untuk menggambarkan.

Padahal zaman dulu, gotong royong adalah bagian untuk saling meringankan. Komunikasi mereka bangun bukan hanya sekadar dhohir, melainkan juga batinnya. Sehingga kesadaran untuk saling memaafkan menjadi bentuk energi penghargaan antara satu dengan lainnya.

Tidak seperti sekarang, di mana kata-kata untuk saling memaafkan itu terdengar jauh dari ingar bingar komunikasi yang terbangun. Masing-masing ego berjalan dengan mengutamakan logika dan jauh dari “rasa”, itu penyebab utamanya. Afirmasi negatif memengaruhi pikiran mereka sehingga terbangun persepsi yang belum tentu kebenarannya. Mereka merasa yang paling benar danjarang yang mau mengalah. Meskipun sebenarnya mengalah itu bukan berarti kalah.

Setidaknya,ada tiga kata yang paling mahal dan muncul dalam dua konteks berbeda dalam berkomunikasi. Pertama, “Saya minta maaf,”dan kedua “Saya memaafkan anda.” Dua konteks dari kata ini sama-sama bisa menjadi afirmasi positif yang bisa melepaskan segala bentuk kecemasan sekaligus menjadikan rasa bangga, baik bagi yang mengucapkan atau yang membalas ucapan serta yang mendengarkan. Orang-orang yang memiliki kesadaran saling memaafkan akan memiliki kesehatan, baik secara fisik maupun mentalnya. Hal ini disebabkan mereka bisa berdamai dengan dirinya sehingga bisa membangun psikis yang harmonis, inklusif, dan stabil.

Beberapa riset mendukung hal tersebut. Pertama, The Institute for Research on Unlimited Love (IFI) menemukan bahwa saling memaafkan dapat memiliki dampak positif pada kesehatan mental dan fisik, seperti mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan emosional. Berikutnya, Stanford Forgiveness Project, mereka menemukan, bahwa saling memaafkan dapat membantu mengurangi gejala depresi, kecemasan, dan stres, serta meningkatkan kualitas hubungan interpersonal. Ada juga riset yang dilakukan oleh William & Willian (1993) yang menemukan bahwa saling memaafkan dapat membantu mengurangi perasaan marah, dendam, dan kebencian, serta meningkatkan perasaan damai dan bahagia.

Pada intinya, komunikasi yang di dalamnya ada kesadaran saling memaafkan adalah keberhasilan kita dalam menguasai diri. Karena, kemungkinan-kemungkinan yang tidak sesuai dengan keinginan dan harapan kita itu besar terjadi. Mereka yang bisa saling memaafkan menunjukkan bahwa mereka telah berhasil menguasai situasi menjadi lebih baik, dan menyadari bahwa nilai sebuah hubungan lebih berharga dari ego pribadi. Saat saling memaafkan,mereka tidak mengubah masa lalu, tetapi mereka sedang mengubah masa depan menjadi lebih tenang, lebih jernih, lebih teratur, dan lebih hangat.

Saling memaafkan juga tidak berarti melupakan atau memaafkan kesalahan, tetapi lebih kepada melepaskan perasaan negatif dan melanjutkan hidup dengan positif. Selain bisa saling memaafkan dengan sesama, jangan lupa untuk bisa memaafkan diri sendiri, yang kadang salah, yang kadang lelah juga yang sesekali kalah oleh ego dan pikiran yang berlebihan.

Pada saat kita saling memaafkan, itu adalah bentuk respek sebagai afirmasi positif diri. Dalam menjalin hubungan, bukan hanya komunikasi yang kita butuhkan, tetapi saling memaafkan akan menjadi hal yang saling memberikan ketenangan. Sesering apa pun berkomunikasi, jika tidak ada respek dan saling memaafkan, yang satu akan terus merasa disepelekan, dan yang lain merasa tidak pernah cukup dimengerti. Dari bentuk saling memaafkan akan menjadikan komunikasi lebih hidup dan sehat. Bukan sebaliknya, hanya jadi ajang saling menunggu giliran berbicara, dan bukan saling mendengar.

Saat saling memaafkan, perbedaan tak akan jadi ancaman, melainkan akan menjadi ruang untuk belajar. Dan, dari saling memaafkan pula akan memancarkan energi positif, untuk menjadikan diri lebih baik, tanpa harus membuang waktu untuk membuktikannya. Pada saat komunikasi di lingkungan keluarga kita bisa saling respek dan saling memaafkan,maka afirmasi perubahan positif sesungguhnya akan nyata.

Wallahua’lambishawab

*Penulis kelahiran Malang yang sekarang tinggal di Mojokerto-JawaTimur

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UNISMUH MAKASSAR

Leave a Reply