Oleh : Barnadi Zakaria*
Sastra tidak lahir dari kekosongan. Sastra muncul dari panggung sosio-historis tertentu yang melatarbelakanginya. Kemunculannya ditandai dari pergerakan-pergerakan imajinistik yang membuat suatu sastra memiliki daya dedah tersendiri melalui medium bahasa serta menjadikan dirinya sebagai elemen penting bagi terciptanya suatu kebudayaan_.
Adalah sastra pula tidak sekadar menjadi alat komunikasi dan kreatifitas yang mencakup sekumpulan genre kesusasteraan. Ia juga dapat berubah menjadi instrumen ide dalam pendulum sejarah. Sastra dengan demikian menjadi salah satu ruang produksi dan diaspora simbol, dipadati oleh berbagai kepentingan untuk memperebutkan legitimasi dan mendapatkan otoritas guna menamakan realitas.
Sastra meruang tidak terbatas hanya sekadar epik. Cinta, petualangan, tragedi, heroik, dan parodi. Sastra telah bergerak menjadi episode ruang dan waktu, Episode sejarah. Etape perjalanan sebuah bangsa terumuskan melalui kronik sastra. Dengan demikian, sastra merumuskan peta perjalanan keindonesiaan. Patutlah kita mengenang kembali perjuangan kemerdekaan Indonesia (sebagai bangsa) yang berlangsung setidaknya sejak awal abad XX sangat erat hubungannya dan bahkan dimulai dengan perjuangan kebahasaan melalui karya-karya sastra yang muncul pada saat itu. Kesiapan masyarakat pribumi Indonesia dengan bahasa nasional jauh sebelum mereka menyatakan kemerdekaan nasionalnya. Tepat pada saat menyatakan kemerdekaan politiknya, dengan bahasa Indonesia, Indonesia seakan sekaligus sudah menyatakan kemerdekaan kulturalnya. Hal ini mengingatkan kita pada diktum Ben Anderson dalam Imagined Communities yang masyhur, “perjalanan kesusastraan Indonesia boleh dikata merupakan pembentukan kesadaran berbangsa yang memberi warna tersendiri dalam grand narrative keindonesiaan”. Aras ini menggegarkan klaim bahwa sastra berkontribusi terhadap pembayangan republik baru, Indonesia. Pada masa itu, karya-karya sastra pra- Indonesia seperti novel Salah Asuhan, Siti Nurbaya, Jalan Tak Ada Ujung, Keluarga Gerilya, dan cerpen-cerpen Idrus menjadi komparasi kritis bagaimana idealnya bangunan rumah Indonesia kelak.
Kesamaan nasib pun meranggas berbingkai kebhinnekaan. Latar belakang sosial, politik, etnik, agama pun menyatu pada keberagaman. Dibimbing oleh hamparan karya sastra yang menangkup semangat penyatuan berbangsa. Medio bergerak pasti menunjuk tahun 1928. Sumpah Pemuda II merangkai-bangun arus semangat yang sama, semangat perlawanan. Sebuah perlawanan terhadap kolonialisme, Identitas bagi tanah air pertiwi dirumuskan secara progresif fungsional menjadi alat resistensi. Tekad untuk: bertumpah darah satu, tanah air Indonesia/ berbangsa satu, bangsa Indonesia/ menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia bergegar dalam ruh nusantara. Sastra Indonesia pun menjadi tuah lahirnya tunas kebangsaan.
Segera kita mengenang M. Yamin pada rapat Kongres Pemuda II dengan judul makalah“ Persatoean dan Kebangsaan Indonesia”. Beliau mengintroduksi:
“Persatuan dan kebangsaan Indonesia merupakan hasil kemauan sejarah panjang Nusantara, sebagai ‘ruh Indonesia’. Kesamaan adat dan bahasa, upaya berbagai kerajaan menyatukan Nusantara, persatuan yang dipaksakan oleh kekuasaan Barat, semua itu merupakan bagian proses menuju persatuan dan kebangsaan Indonesia itu. Apa yang diperjuangkan oleh organisasi pergerakan dan organisasi pemuda selama ini adalah puncak proses itu. Puncak, karena sekarang persatuan dan kebangsaan itu hendak dibangun dengan kekuatan dan kemampuan sendiri_”
Gegar perlawanan pemuda gegap gempita. Nusantara berbenah menjadi sebuah bangsa. Bangsa yang merdeka, Indonesia. Selain persatuan dan kebangsaan Indonesia sebagai ruh Indonesia sebagaimana yang ditawarkan Yamin, Kongres Pemuda itu pula, membicarakan dua butir penting, yakni: pendidikan dan peranannya dalam mewujudkan kebangsaan. Pada bagian ini tokoh pemuda yang turut rembug menyampaikan makalahnya, yakni, Poernamawoelan, Sarmidi Mangoensarkoro, Djokosarwono, Kjai Hadjar Dewantoro. Diskursus penting pendidikan diarahkan pada mendidik anak mencintai bangsanya sendiri bukan karena benci bangsa lain, tetapi pendidikan hanya akan berhasil kalau didasarkan pada ‘keadaan alami’ masyarakat tempat si murid hidup. Tentang cinta tanah air ini, kita terhubung pada sosok Tan Malaka saat menjadi buron polisi rahasia kolonial. Matu Mona menuturkan sangat indah seloroh Tan Malaka dalam novelnya Pacar Merah Indonesia 1:
“Ninon, aku rasa penyakitku jauh daripada sembuh, karena penyakit yang kuderita ini selamanya menganggu aku. Obat tidak akan menyembuhkanku, dirawat oleh dokter ternama pun belum tentu berhasil. Cuma satu yang bisa menyembuhkan penyakit ini sesembuh-sembuhnya, yakni aku mesti mengecap udara tanah airku yang nyaman itu, Indonesia. Karena nama itu menimbulkan kenang-kenangan yang hebat dan dahsyat, menyanyukan dan memediskan ke dalam jantung hari”
“Nona, halku adalah ibarat layangan, yang sudah putus talinya diterbangkan angin tercampak ke mana. Sekarang beta ada di sini, di kerajaan Gajah Putih. Esok lusa entah ke mana pula terbang melayang. Aku rindu melihat tanah airku, ingin mengenyam udaranya yang sehat itu, akan tetapi apabila saja beta menginjakkan kaki ke tanah Indonesia, niscaya beta lekas sembuh”_
Dialog reflektif Tan Malaka alias Vichitra (Pacar Merah) dengan Mlle. Ninon mengantarkan kita menyusun epik kerinduan Tan Malaka akan bangsa, tanah, air, dan tempat kelahirannya. Cinta tanah air yang mengkristal sebagaimana ditengarai Harry A. Poezze dalam pengantar buku Pacar Merah Indonesia, “bagi Pacar merah (Tan Malaka) hanya ada satu cinta, yaitu cinta bagi tanah airnya. Cintanya itu demikian besar, sampai-sampai tiada tempat bagi seorang wanita. Bahkan si cantik Ninon tak pernah mengoyahkan keyakinan dia akan cita-citanya yang satu”. Roman Politik Matu Mona ini menandai bacaan yang sedang digemari dalam sastra Nusantara pada tahun 1930-an.
Butir lain pada sidang ketiga Kongres Pemuda II, membahas pengembangan persatuan dan cinta tanah air (patriotisme) lewat kegiatan kepanduan (padvinderij). Ramelan yang beragama Islam dari kepanduan Sarekat Islam, Theo Pangemanan yang beragama Kristen dari Kepanduan Nasional, dan Mr. Soenarjo sebagai ketua Persaudaraan antara Pandu Indonesia (PAPI) menuntaskan mufakat bahwa perbedaan agama sama sekali tidak menjadi halangan untuk membicarakan perasaan persatuan dan kebangsaan. Sidang ketiga ini riuh oleh represi polisi rahasia negara (Politieke Inlichtingen Dinest- PID), acapkali mengenakan syarat-syarat sulit bagi pelaksanaan acara pawai pandu sehingga panitia membatalkan acara tersebut. Di luar rencana agenda sidang, seorang pemuda, Wage Rudolf Supratman, wartawan Sin Po memperdengarkan lagu ciptaannya tanpa lirik, tetapi hanya dengan instrumen. Lagi-lagi polisi rahasi negara (PID) bentukan Belanda melarang penggunaan kata “merdeka”. Meski demikian, lagu tanpa lirik mengguncang pengkhidmatan dan rasa khusuk yang teramat dalam. “Sumpah” pun tak bisa dibendung lagi, menjadi “Sumpah Pemuda”, oktober 1928_.
Gegar perlawanan pemuda terhadap kuasa kolonial membuana. Medium sastra Nusantara menggelinding sebagai alat ekspresi dan komunikasi yang digunakan diwilayah publik, untuk kepentingan formal-kelembagaan, dan juga komunikasi personal yang bersifat lintas-etnis. Tak jarang komunikasi karya sastra dipakai dalam rangka menumbuhkan kesamaan cita-cita berbangsa. Hal ini senada dengan uraian Tony Day dan Keith Foulcher_ mengganggap eksistensi karya sastra melalui medium bahasa Indonesia telah membentuk kontruksi identitas nasional Indonesia dari proses pengayaan melalui interaksinya dengan berbagai bahasa daerah/etnis di Indonesia dan bahkan dengan bahasa-bahasa asing yang bersentuhan dengannya. Kontruksi identitas nasional Indonesia relatif terbebas dari kontrol hegemoni negara maupun perusahaan multinasional yang global.
Sastra Nusantara pra kemerdekaan bangkit dari hasil refresi kekuatan politik dominan kolonial. Karya sastra tergerus pada ruang endapan yang tirus. Dunia penghayatan masyarakat dalam karya sastra yang tergerus melalui proses pembredelan dan sensor yang cukup ketat terpaksa berkonsensus dengan selera penguasa (kolonial). Cita rasa karya pun menyesuaikan diri agar dapat bertahan hidup sembari meniupkan bahasa perlawanan. Tema-tema karya pun terpasung melalui tema-tema percintaan, adat, kawin paksa, seperti dapat dilihat pada karya-karya Merari Siregar (Azab dan Sengsara, 1920), Marah Roesli (Siti Nurbaya, 1922), Muh. Yamin (Tanah Air, 1922), Nur Sutan Iskandar (Salah Pilih, 1928), Abdul Muis (Salah Asuhan, 1928) serta pengarang-pengarang semasa.
Hegemoni karya sastra berbahasa Melayu sebagai akar dari bahasa Indonesia dicacah melalui usaha penjajah dalam memodifikasi dan menstandarisasi bahasa Melayu lingua Franca menjadi bahasa Melayu tinggi justru menuai resistensi oleh kaum pribumi waktu itu. Kebijakan yang demikian, alih-alih membangkitkan suatu paham politik yang bertentangan dengan imperialisme dan kolonialisme, yakni nasionalisme yang terus menerus dibangun dan disebarluaskan oleh tokoh-tokoh pergerakan politik Indonesia, seperti Soekarno dan Muhammad Hatta dengan partai politiknya masing-masing.
Nasionalisme bangkit. Bergolak pelak namun pasti. Mengusung dua bentuk nasionalisme. Pertama, nasionalisme politik yang mengarah kepada cita-cita kemerdekaan Indonesia dari penjajahan politik, dan kedua, nasionalisme budaya yang terimplikasikan ke dalam karya sastra (bahasa Indonesia) yang mengarah kepada pembebasan masyarakat Indonesia dari ikatan-ikatan etnis dan primordial yang lama untuk terbentuknya satu komunitas baru, yaitu komunitas kebangsaan Indonesia_.
Epik perlawanan bergerak menuntaskan sejarahnya. Pemuda hadir dipanggung pergolakan di republik ini. Mencatutkan elan bangsa yang berdaulat, bangsa Indonesia. Kebutuhan terhadap legitimasi geografi tercipta lewat kata-kata yang secara ideologis mengeraskan betapa pentingnya kampung-kampung di Nusantara untuk berkumpul dalam sebuah rumah besar yang teduh, Indonesia. Kelak term modernisme tersebut dikenal dengan nation-state. Penyeruan lewat puisi atau prosa (cerpen, novel, atau drama) memosisikan sastra sebagai juru kampanye kebangsaan yang signifikan. Mengenang itu, sepotong puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul “Ayo” sangat tepat menggambarkannya:
para muda yang raib nyawa
karena tembakan
yang pecah kepala
sebab pentungan
memang tak lagi mungkin
jadi sarjana atau apa saia
namun
mereka telah
nyempurnakan
bakat gemilang
sebagai airmata
yang kini dan kelak
selalu dibilang
bagi perjalanan bangsa_
*Penulis adalah peneliti di Epicentrum Politica dan Fungsionaris PD Muhammadiyah Kab. Takalar