Oleh: Irwan Akib (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah)
KHITTAH. CO – Salah satu prinsip yang diusulkan Soekarno dalam perumusan Pancasila adalah prinsip kesejahteraan. Soekarno mengemukakan bahwa ”tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka, juga tidak akan dibiarkan kaum kapitalis merajalela”. Sedang Sutan Syahrir mengatakan bahwa sekali-kali tidaklah boleh kepentingan segolongan kecil yang hartawan bertentangan dengan kepentingan golongan rakyat banyak yang miskin.
Keadilan yang kita kehendaki adalah keadilan bersama yang didasarkan atas kemakmuran dan kebahagiaan. Lebih lanjut Soekarno mengemukakan bahwa ”syarat-syarat badaniah, syarat-syarat rohaniah, syarat-syarat material ada dibumi Indonesia, di dalam kalbu rakyat Indonesia.”
Pernyataan kedua tokoh tersebut mengisyaratkan bahwa setelah Indonesia merdeka, keadilan sosial menjadi bagian penting dalam cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia. mereka memiliki harapan yang sangat besar bahwa dengan kemerdekaan yang telah diperjuangan yang tidak sedikit memakan korban, maka bangsa Indonesia akan hidup sejahtera, tidak ada jurang pemisah antara kaya dan miskin, semua bisa menikmati kekayaan alam Indonesia, dan Soekarno dengan dengan penuh keyakinan bahwa syarat untuk menjadi sejahtera ada pada rakyat Indonesia. Namun ironisnya hingga saat ini sudah hampir seratus tahun Indonesia merdeka kesejahteraan itu masih menjadi angan-angan, keadilan sosial belum menemukan wujudnya, upaya mensejahterakan rakyat hanya ada dalam retorika.
Buya Syafii Ma’arif sering melontarkan pernyataan bahwa sila yang paling sial adalah sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada kesempatan lain, Buya Syafii dengan penuh retorika mengatakan ”Apakah sila kelima Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai tujuan kemerdekaan bangsa sudah menjadi kenyataan? Jawabannya sama sekali tidak”.
Untuk meraih impian dari tujuan kemerdekaan itu, lepas dari sistem demokrasi, baik demokrasi politik maupun demokrasi sosial dan ekonomi. Bung Hatta sebagaimana dikutip oleh Buya Syafii mengatakan bahwa “Menurut Hatta ada tiga sumber pokok demokrasi yang mengakar di Indonesia. Pertama, sosialisme Barat yang membela prinsip-prinsip humanisme, sementara prinsip-prinsip ini dinilai juga sekaligus sebagai tujuan. Kedua, ajaran Islam memerintahkan kebenaran dan keadilan Tuhan dalam masyarakat. Ketiga, pola hidup dalam bentuk kolektivisme sebagaimana terdapat di desa-desa wilayah Indonesia”.
Ketiga sumber inilah yang akan menjamin kelestarian demokrasi di Indonesia. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sumber ketiga tersebut mengandung lima unsur sebagai ciri demokrasi desa asli Indonesia yaitu rapat, mufakat, gotong royong, dan hak mengajukan protes bersama dan hak menyingkir dari wilayah kekuasaan raja yang tidak adil. Sejalan dengan itu Bung Karno mengatakan bahwa Pancasila ini digali dari akar budaya bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai filosofi berbangsa dan bernegara yang sila-silanya digali dari akar budaya bangsa Indonesia, dari denyut nadi bangsa Indonesia, sesungguhnya menjadi modal dasar bangsa ini untuk mewujudkan sebuah harapan para pendahulu dan pendiri bangsa ini untuk hadirnya kesejahteraan bagi seluruh rakyat indonesia. Namun, dengan hadirnya demokrasi liberal yang bertumpu pada kapitalisme, membuat impian itu menjadi sandungan.
Demokrasi liberal yang kapitalis seharusnya tidak memilik tempat di bumi persada Indonesia. Buya Syafii mengemukakan bahwa demokrasi liberal atau neoliberal dengan sistem kapitalismenya tidak sejalan dengan cita-ciya demokrasi Indonesia sebab dimensi keadilan tidak menadapat tempat yang layak di dalamnya.
Kembali kepada akar sejarah seperti yang digambarkan Bung Hatta, bahwa sumber cita-cita demokrasi yaitu sosialisme Barat, Islam dan desa asli Indonesia, bila dikemas dengan apik sesuai perkembangan zaman, maka akan lahir bentuk demokrasi yang khas Indonesia sesuai kepribadian kita sebagai bangsa Indonesia (Buya Syafii). Hal memberikan gambaran bahwa sesungguh harapan menghadirkan negara kesejahteraan masih terbuka lebar, tentu ini tergantung juga pada para elit negeri ini.
Para elit harus mampu memahami denyut nadi bangsanya sendiri, tidak selalu bercermin pada bangsa lain yang memiliki akar budaya yang berbeda, denyut nadi yang tidak sesuai dengan bangsa kita. Menjadi negera lain termasuk negara maju sebagai perbandingan tentu tidak salah, namun menyerap secara mentah-mentah sistem yang berlaku di negera tersebut bukan sesuatu yang bijak. Kita perlu melakukan penyesuaian dengan kondisi dan kultur masyarakat Indonesia sendiri.
Bila harapan itu kita ingin wujudkan maka hadirnya pemimpin yang memiliki visi yang jauh yang berlandaskan pada nilai-nilai filosofi berbangsa bernegara menjadi sangat penting. Di samping itu, juga menghadirkan pemimpin yang tidak lagi berpikir untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompoknya, tetapi pemimpin yang hadir untuk kepentingan rakyat, untuk kesejahteraan rakyat, pemimpin yang selesai dengan dirinya. Para politisi yang ada di senayan, yang ada di kantor DPRD I dan DPRD II atau yang sedang mendapat kepercayaan dalam kabinet hendaknya melepas baju kebesaran partainya, dan mengganti dengan baju kebesaran Indonesia Raya, baju Pancasila dalam arti tidak lagi bertindak sebagai politisi tetapi sebagai negarawan.
Bila mencermati setiap pidato Presiden Prabowo, maka ada optimisme, ada secercah harapan hadirnya negara kesejahteraan. Namun, pidato presiden dalam beberapa kesempatan yang terus menggelorakan kepentingan rakyat di atas kepentingan yang lain, kesejahteraan rakyat menjadi tujuan utama tidak cukup sampai di situ. Pernyataan-pernyataan presiden harus dapat diterjemahkan dengan baik oleh para menteri dan pimpinan lembaga yang bertanggungjawab dalam bidangnya masing-masing dan juga tentu harus dapat diterjemahkan dengan sungguh-sungguh oleh pengambil kebijakan di tingkat wilayah dan daerah.
Para pemegang amanah rakyat dari pusat sampai daerah, perlu terus menjadikan pidato presiden sebagai penyemangat untuk menghadirkan kesejahteraan untuk semua, menjadi rakyat menjadi cerdas dan berdaya, melepaskan mereka dari cengkeraman liberal yang membuat nasib mereka hanya ditentukan oleh segelintir orang.