Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Sekolah Kiai Dahlan dan Lahirnya Muhammadiyah

×

Sekolah Kiai Dahlan dan Lahirnya Muhammadiyah

Share this article

Oleh: Irwan Akib (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah)

Sebelum berdirinya Muhammadiyah, Kiai Dahlan lebih dahulu mendirikan sekolah yang didesain di ruang kamar tamu dengan ukuran sekitar 2,5 x 6 m, dengan tiga meja dan tiga bangku sekolah yang terbuat dari kayu serta satu papan board dari kayu suren, demikian penuturan murid beliau Kiai Syuja dalam buku Islam Berkemajuan. Lebih lanjut dikemukakan, bahwa sekolah ini dilaksanakan dengan kekuatan tenaga dan pikiran serta harta benda Kiai Dahlan tanpa bantuan dari pihak lain.

Kiai Dahlan di samping perannya mendirikan sekolah, dia juga sekaligus berperan menjadi guru, dengan murid yang berasal dari kalangan keluarga beliau sendiri. Pada awalnya, siswa sekolah Kiai Dahlan hanya sembilan orang kemudian bertambah hingga menjadi dua puluh orang. Kegigihan Kiai Dahlan mendirikan sekolah, tentu bukan tanpa alasan.

Sebagai seorang pembaru yang memahami kondisi keterbelakangan umat Islam saat itu, beliau tidak ingin berpangku tangan dan hanya menyalahkan keadaan, tetapi beliau mengambil peran dan tidak berteori, tidak berwacana. Beliau langsung melakukan aksi mendirikan sekolah, yang berbeda dengan sekolah-sekolah yang ada sebelumnya.

Sebelum Kiai Dahlan mendirikan sekolah, telah ada beberapa model sekolah atau model pendidikan di tengah masyarakat Indonesia. Namun, Kiai Dahlan tidak puas dengan model-model persekolahan atau model pendidikan yang ada saat itu, yaitu (1) pendidikan Islam dalam bentuk home schooling dalam istilah pendidikan modern, di mana orang tua khususnya para ulama saat itu mengajar langsung anaknya sesuai ilmu yang mereka tekuni, dan pesantren di Jawa, Surau di Sumatera, dan (2) sekolah kolonial.

Pesantren sebagai wadah pendidikan Islam saat itu tergolong sangat tradisional, kekuatan pesantren terletak pada Kiai. Pesantren tidak mengenal kurikulum yang terstruktur, mengajarkan agama Islam dari kitab-kitab klasik berbahasa arab, tidak ada pelajaran umum seperti berhitung, ilmu bumi dan sebagainya, serta tidak mengenal sistem klasikal.

Sedangkan model pendidikan kolonial yang awalnya bagian dari misi Protestan khususnya di Maluku. Kemudian, munculnya politik etis Belanda, pendidikan kolonial tidak lagi mengajarkan agama Kristen sebagai bagian dari misionaris tetapi fokus pada pengetahuan umum, memiliki kurikulum yang terstruktur, dikelola dengan manajemen modern.

Kedua model pendidikan ini, membuat Kiai Dahlan tidak puas. Dalam pandangan Kiai Dahlan seorang anak harus menguasai ilmu agama dan juga ilmu pengetahuan umum. Hal ini tercermin dari pernyataan Kiai Dahlan bahwa “ulama-intelek dan intelek-ulama”. Di samping faktor ketidakpuasan terhadap dua model pendidikan tersebut, salah satu faktor lain yang membuat Kiai Dahlan terdorong untuk mendirikan sekolah adalah kondisi umat Islam saat itu di samping mengalami ketertinggalan, juga terdapat benih perpecahan khususnya di Jawa, dengan munculnya istilah muslim muntilan dan muslim abangan.

Kiai Syuja menjelaskan bahwa yang dimaksud muslim muntilan adalah mereka yang masih menjalankan syariat Islam yakni syahadat, salat, zakat, puasa Ramadan dan haji, yang biasa mereka ini tidak banyak menghiraukan adat istiadat masyarakat umumnya, sehingga terlihat dalam bertutur dan bertingkah laku janggal, kaku, dan congkak terhadap golongan abangan. Sementara golongan abangan memandang golongan muntilan sangat meremehkan, karena mereka tidak tahu adat istiadat, sopan santun, tata susila dan tata negara, karena tidak sekolah, minim pengetahuan umum, tetapi yang dipelajari doa-doa untuk menghadapi panggilan selamatan dan kenduri.

Sekolah yang dibangun Kiai Dahlan mencoba memadukan dua model pendidikan yang telah ada dengan mengadopsi sistem pendidikan kolonial dan memasukkan pelajaran agama di sekolah. Hal ini juga untuk menjawab ketegangan antara kelompok muntilan dan kelompok abangan. Kiai Syuja mengatakan, bahwa terlaksananya model sekolah yang demikian, akan bertemulah kedua golongan muntilan dan abangan menjadi satu dengan sama-sama beruntung.

Golongan muntilan tidak kehilangan agamanya, tetapi beruntung bertambah luas ilmu pengetahuan umumnya untuk menjadi sendi cara hidup yang lebih baik dan lebih luas. Sebaliknya golongan abangan tidak kekurangan kepuasan akan menuntut pengetahuan duniawi malahan bertambah keuntungan dapat mengetahui pengetahuan agama Islam yang membawa ilmu pendidikan jasmani dan rohani (iman dan tauhid kepada Allah swt) dengan mengikuti hukum syariat agama Islam.

Kiai Dahlan, di samping mengajar siswanya yang semakin hari semakin bertambah, juga setiap Sabtu sore dan Ahad mulai pagi, berdatangan siswa sekolah kweekschool untuk mendapatkan pelajaran agama Islam dari Kiai Dahlan. Mereka berasal dari latar belakang agama yang berbeda, ada Kristen, Katolik teosofi. Mereka anak-anak yang cerdas, anak yang tidak sekadar menerima informasi atau pelajaran tetapi mereka membutuhkan penjelasan yang lebih mendalam untuk mengerti suatu masalah yang disajikan. Kiai sebagai seorang yang memahami karakter anak, memberikan pelajaran kepada mereka dalam bentuk dialog dan diskusi, sehingga suasana menjadi hidup, para siswa semakin bersemangat belajar ke Kiai Dahlan.

Di tengah suasana belajar yang dialogis, menarik, dan menggembirakan, ada di antara murid dari sekolah kweekschool di samping aktif mengikuti kegiatan Sabtu dan Ahad ternyata mengamati situasi yang terjadi di sekolah Kiai Dahlan. Suatu ketika, siswa tersebut mencoba menanyakan langsung ke Kiai Dahlan, sehingga terjadi dialog antara murid tersebut dengan kiai Dahlan. Dialognya kurang lebih seperti diceritakan oleh Kiai Syuja sebagai berikut:

Siswa: “Kiai, apakah di sini tempat sekolahan? Sekolahan apakah yang ada di sini?”

Kiai Dahlan: “O nak, ini Madrasah Ibtidaiyah Islam untuk memberi pelajaran agama Islam dan pengetahuan  umum, bagi ana-anak kita kampung Kauman.”

Siswa: “Siapakah yang memegang dan siapakah yang menjadi gurunya kiai?”

Kiai Dahlan: “Yang memegang dan menjadi gurunya ya saya”

Siswa : “Apakah tidak lebih baik kalau sekolah itu tidak dipegang oleh Kiai sendiri, sebab itu tiap-tiap  tahun harus naik kelasnya sampai beberapa kelas yang dimaksud, Jadi seolah-seolah sekolahan milik kiai sendiri, maka apabila Kiai meninggal dunia ahli waris tidak mampu meneruskan terhentilah sekolah itu, sebagaimana pondok-pondok Kiai bila mana kiainya telah wafat lalu santri bubar. Maka dari itu, kami majukan usul hendaknya sekolahan ini dipegang oleh suatu organisasi sehingga dapat langgeng selama-lamanya.”

Kiai Dahlan: “Organisasi itu apa?”

Siswa: “Organisasi itu suatu golongan manusia yang semaksud dan teratur disusun sebagai suatu badan yang sah dengan izin pemerintah Hindia Belanda, umpamanya seperti perkumpulan Budi Utomo yang sekarang berdiri di Yogyakarta.”

Dialog tersebut menggugah hati dan pikiran Kiai Dahlan, menyambut baik usul dari siswa tersebut, sehingga sejak itulah Kiai Dahlan terus mencoba merenungkan pendirian organsiasi yang dimaksud yang kelak diberi nama Muhammadiyah, yang tentu dalam pencarian dan perenungannya sebagai seorang ulama intelek, maka Kiai Dahlan perlu juga mendialogkan dengan Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam, maka bertemulah dengan QS Al Imran: ayat 104.

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply