Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Selamatkan Negerimu dengan HP-mu

×

Selamatkan Negerimu dengan HP-mu

Share this article

 

Sumber Ilustrasi: CNN Indonesia

Oleh: Agusliadi Massere*

Berawal kiriman sejenis “meme” via WhatsApp dari Prof. Muhammad Chirzin kepada saya, dengan caption “Selamatkan Negerimu dengan HP-mu”. Saya merespon kiriman beliau sambil menyampaikan izin lebih awal.

Prof. Muhammad Chirzin menyebutnya sebagai “meme”, dan saya menilai, ini adalah maksim yang memiliki makna, mengandung kebenaran dan sangat reflektif. Jika kita mampu memahami secara filosofis akan memberikan pemantik, penggugah kesadaran yang akan bermuara pada tindakan solutif.

Jika ini dituliskan dan/atau diucapkan beberapa dekade yang lalu, “selamatkan negerimu dengan HP-mu” tidak akan mampu menemukan momentum dan ruang relevansinya, tidak memiliki signifikansi atau pun urgensi. HP (Handphone) pada beberapa dekade yang lalu, masih menjadi barang mewah, yang hanya dimiliki oleh orang tertentu, itu pun dengan fitur yang sangat terbatas, sekadar untuk telephone (komunikasi jarak jauh, ‘nelponan’).

Saya masih mengingat dengan baik, generasi yang lebih tua dari saya, ketika sedang kasmaran atau sedang dirundung rindu, serta merta akan berkata “jauh di mata, dekat di hati”. Frasa ini menandakan, betapa jarak psikologis sangat dekat, pada saat itu. Namun kini, fakta dan frasa itu terbalik, jarak psikologis semakin jauh, “dekat di mata, jauh di hati”.

Dalam ruang sempit pun seringkali tidak saling menyapa, arisan keluarga, kurang bahkan tidak lagi menghadirkan “kehangatan” interaksi, begitu pun reunian tidak mampu memantik memori nostalgia masa lalu yang indah. Lalu apa yang terjadi? Mereka bahkan kita pun, semua asyik “bermesraan” dengan perangkat digitalnya masing-masing. Ketika berdekatan pun seringkali masih asyik berinteraksi via perangkat digital (Handphone).

Gambaran di atas, hanya salah satu dampak nyata dan sekaligus penanda dari kondisi kehidupan yang bisa diistilahkan “peradaban digital”, “era digital”, “revolusi industri 4.0” atau “era pasca industri”. Yang pada dasarnya ditandai dengan perkembangan revolusi teknologi komunikasi dan informasi. Dari perkembangan ini, lahirlah berbagai perangkat digital dengan berbagai fitur yang semakin canggih, sehingga dunia pun bisa berada dalam genggaman.

Merujuk pada perspektif Yasra Amir Piliang, hari ini disebut era pasca industri. Pada era ini, ruang dan waktu ditaklukkan oleh kekuatan elektromagnetik. Dalam benda “mungil” yang bernama handphone (HP) kekuatan elektromagnetik itu juga semakin canggih dengan fitur-fitur yang beragam, mudah diaplikasikan, praktis dan efesien bahkan multi-tasking.

Kini, dunia dengan segala kompleksitasnya oleh pihak tertentu, telah mampu dikendalikan, hanya dengan berdiam diri di rumah atau dalam kamar pribadi sambil “rebahan”. Secara fungsional, kedahsyatan dan kemampuan ini berawal dari, selain oleh revolusi teknologi, termasuk transformasi kehidupan dari kehidupan ekspansif ke kehidupan inersia.

Manusia hari ini, cenderung tidak mau bergerak menelesuri ruang dan waktu dengan kekuatan mekanik mesin sekali pun, apatah lagi dengan kekuatan alamiah. Atau menjadi manusia “malas bergerak”. Antitesa dari ini adalah kehidupan ekspansif. Pada masa beberapa tahun yang lalu, ketika mendengar kabar atau mendapatkan informasi, maka secara ekspansif akan mendatangi TKP (Tempat Kejadian Perkara) untuk menggali kebenaran informasi. Kondisi kehidupan ekspansif ini, jarang ditemukan lagi.

Mereka atau kita lebih cenderung menelesuri ruang dan waktu yang terkonversi dalam ruang dan waktu digital atau virtual dengan kekuatan elektromagnetik. Malas tabayyun, langsung percaya informasi, meskipun sumbernya hanya pada berita-berita yang viral dan belum pasti kebenarannya. Ini adalah penanda kehidupan inersia. Bahwa hari ini manusia menjadi, ibarat pusat galaksi, yang dikelilingi oleh “planet-planet” atau “gugusan bintang” yang bernama informasi.

Selamatkan negerimu dengan HP-mu, memiliki banyak makna. Satu sisi bisa dimaknai bahwa untuk menyelamatkan negerimu atau negeri kita dan selanjutnya bermuara pada “kemajuan”, dengan memanfaatkan HP untuk hal-hal positif. Pada sisi yang lain, bisa berarti bahwa HP, selama ini lebih banyak digunakan untuk hal negatif, sehingga sebuah negeri mengalami kondisi kehidupan yang terpuruk dan buruk. Perlu ditemukan solusi untuk menyelamatkan negeri.

Dengan HP serta kecanggihan teknologi dan fitur-fiturnya yang sangat beragam, membuat manusia hari ini, lebih banyak menghabiskan waktunya di dunia virtual dibandingkan dunia nyata. Awalnya dunia virtual atau dimensi “citraan” tersebut secara fungsional untuk merepresentasikan realitas yang terjadi di dunia empirik.

Kini, apa yang ada dalam dunia virtual atau yang berbentuk “citraan” itu, telah menjadi realitas itu sendiri. Bahkan seringkali menimbulkan kondisi terbalik, apa yang terjadi di dunia virtual, memberikan efek atau dampak terhadap perilaku nyata manusia dalam realitas empirik. Jadi terkesan, yang ada di dunia nyata adalah representasi dari apa yang terjadi di dunia virtual.

Sangat terang benderang, untuk mendapatkan kesimpulan, bahwa untuk menyelamat negerimu, negeri mereka atau negeri kita. Atau langsung saja menyebut “untuk menyelamatkan Indonesia, melalui HP-mu atau HP kita semua”.

Memperhatikan fenomena keagamaan, kemanusiaan dan kebangsaan yang terjadi dalam atmosfer Indonesia dan berujung pada kondisi yang semakin buruk, berawal dari apa yang terjadi di dunia virtual (tepatnya di media sosial) dan dimulai dari narasi menyesatkan dan hoax yang diproduksi dan terus direproduksi oleh pihak tertentu melalui handphone yang ada dalam genggamannya. Begitu pun sebaliknya, hal positif, seperti donasi untuk Palestina yang sudah ratusan miliar terkumpul, berawal dari gugahan empati kemanusiaan dari narasi yang dikonstruksi melalui “benda mungil” (Handphone).

Jika menggunakan paradigma atau mengedepankan prinsip apresiatif, maka handphone bisa menjadi modal besar untuk membangun Indonesia yang lebih berkemajuan. Handphone hari ini, sekali lagi dengan kecanggihan teknologi dan fitur-fiturnya, bukan sekadar instrumen atau komunikasi bicara jarak jauh semata.

Handphone bisa menjadi ruang belajar yang tak terbatas, menjadi kamus dan perpustakaan berjalan yang bisa diakses, kapan dan di mana saja. Handphone bisa menjadi alat menebar gagasan untuk membangun peradaban. Handphone bisa digunakan untuk memproduksi narasi yang menggugah pikiran dan jiwa untuk melahirkan aktor-aktor yang berempati, peduli dan rela berkorban sesuai porsi dan versi yang dimiliki untuk membangun negeri.

Potensi kebaikan dari perangkat digital ini harus mendapatkan porsi perhatian dan pemanfaatan yang lebih besar dibandingkan potensi keburukannya. Tidak bisa dipungkiri, meskipun saya sendiri tidak pernah melakukan riset, namun mendapatkan pijakan kesadaran dari hasil riset Microsoft yang menempatkan bangsa kita (Indonesia) sebagai netizen paling tidak beretika (tidak sopan), berarti kita masih lebih banyak memanfaatkan handphone untuk hal negatif.

Bernando J. Sujibto menarik sebuah tesis, bahwa generasi millenial bergerak massif (istilah saya lebih banyak menghabiskan waktunya) dalam wilayah virtual tempat kesadaran kritis kalah oleh luapan emosi dan hamburan opini. Bahkan menurutnya, “gerakan sosial virtual didominasi pengelolaan isu yang lebih memanfaatkan emosi dan opini daripada kesadaran faktual yang berpijak pada ilmu pengetahuan.

Bernando pun menemukan sebuah fakta, bahwa apa yang disebut sebagai post truth adalah kondisi yang ditandai “saat kita memproduksi pemahaman dan pengetahuan bercampur baur dengan keinginan (desire) dan feelings yang melampaui fakta-fakta objektif yang semestinya menjadi dasar atas tindakan kesadaran pada makna.

Nezar Patria (dalam Bernando) menegaskan post truth sebagai kondisi ketika informasi bohong atau palsu (hoax) dipakai untuk menyalakan bara emosi dan sentimen publik. Saya sendiri menemukan banyak fakta, hasil editan video yang diproduksi dan digiring pada narasi dan pilihan diksi yang menyulut emosi dan sentimen. Tidak sedikit umat Islam, jika memperhatikan diksi-diksi yang diproduksi kembali untuk merespon video tersebut, penuh dengan bara kebencian dan dendam, padahal video itu tidak merujuk pada fakta yang sebenarnya.

Kita pernah menemukan satu fenomena di dunia ini yang berujung pada pembunuhan, kecamatan, dan aksi atau demonstrasi besar-besaran berawal dari sebuah “kebohongan”. Propaganda ini berawal dari informasi yang dikonstruksi melalui media sosial dengan menggunakan handphone.

Di sinilah dibutuhkan kecerdasan menggunakan handphone dan fitur-fiturnya, cerdas bermedia sosial, mengedepankan kesadaran kritis dan kesadaran progresif. Handphone, teknologi digital dengan berbagai produk dan determinan pendukung lainnya, seperti Internet of Thing (IoT), Algoritma dan Big Data, harus digunakan secara cerdas dengan mengedepankan asas manfaat dan kebaikannya.

Jika selama ini handphone digunakan untuk menyulut atau menyalakan bara emosi dan sentimen publik melalui berita-berita bohong. Kini saatnya, untuk masa depan negeri (Indonesia) maka sebaiknya digunakan untuk menggugah kesadaran keagamaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Menunjukkan solidaritas dan soliditas yang tinggi, kohesivitas sosial yang rekat. Bukan sebaliknya mempertontonkan perpecahan, kebencian antar sesama anak bangsa, karena ini akan membuka ruang dan peluang bagi pihak lain untuk semakin memporak-porandakan tatanan kehidupan.

Handphone (tepatnya melalui media sosialnya), kita menebarkan gagasan, bahkan harus merebut narasi untuk mengcounter narasi-narasi yang menyesa(t/k)kan. Ada banyak alasan, salah satunya generasi penerus kita lebih banyak belajar, mendapatkan pembelajaran tidak langsung, mendapatkan transfer nilai, karakter dari apa yang ditemukan (dibaca) di media sosial.

Ingat, sesederhana apa pun narasi dan diksi yang kita konstruksi di media sosial, itu bukan hanya menggambarkan realitas tetapi kelak akan membentuk realitas baru, mempengaruhi dan merekonstruksi karakter, apatah lagi jika itu viral. Belum lagi dalam ilmu “citraan” dikenal sejenis idiom “Kebohongan sekali pun jika terus-menerus dipublikasikan (diviralkan) akan menjadi sesuatu yang dinilai sebagai kebenaran”.

Marilah kita menguatkan ikhtiar menyelamat negeri melalui handphone kita masing-masing. Muhammadiyah meletakkan landasan metodologi sebuah buah dari pandangan teologis dan ideologisnya. Dan seharusnya pimpinan dan kadernya menyadari, bahwa Muhammadiyah melalui muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar, telah merumuskan, menetapkan dokumen resmi (tanfidz) yang salah satu poin pentingnya adalah dakwah komunitas dan menyebut “dakwah dunia virtual” sebagai salah satu segmennya. Ini bisa dipandang sebagai kewajiban institusional dan konstitusional yang banyak dilupakan, khususnya oleh pimpinan dan kader di daerah. Untuk hal tersebut dibutuhkan literasi digital dan dakwah digital.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kab. Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply