Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipNasionalOpini

Semangat Kebangsaan Merajut Kedamaian

×

Semangat Kebangsaan Merajut Kedamaian

Share this article

Oleh : Ahlan Mukhtari Soamole

Negara hadir di tengah-tengah masyarakat yang majemuk, untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian, sebagaimana wujud negara yang berke-Tuhanan—negara yang adil, negara yang mengedepankan kemakmuran, menghargai sesama, dan mewujudkan kesejahteraan—Indonesia menjadi satu daripada bagian konsep negara berke-Tuhanan tersebut, yang seharusnya diupayakan agar membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.

Pemahaman holistik mengenai kesejahteraan bangsa mungkin tak dapatlah dimanifestasikan dalam suatu realitas struktur masyarakat, namun elit khususya yang dapat terindikasi berkepentingan di dalamnya

Demikian pula hali ini memberikan tendensi yang berimplikasi terhadap masyarakat sebagaimana pemahaman mereka seperti kesejahteraan, apakah ada ataukah telah menjadi suatu ilusi dalam memahami kenegaraan (kesejahteraan dan kedamaian).

Konsesus-konsesus politik pada gilirannya, membawa kita kepada paradigma kolektif. Agar dapat mengisi ruang-ruang masyarakat yang belum dapat perlakuan-perlakuan adil. Sehingga, kebijaksanaan masyarakat elit (intelektual, cendekiawan, akademis, dan politik) untuk merestorasi atau merumuskan dalam suatu konsep bernegara menjadi keharusan yang niscaya.

Mungkin kita akan menyepakati bahwasannya Bung Karno adalah salah satu tokoh yang mengabstrasikan berbagai latar belakang masyarakat Indonesia menjadi suatu gagasan, ide, konseptual yaitu Pancasila.

Penghayatan-penghayatan tersebut dilakukan oleh Bung Karno sebab, tokoh tersebut dapat memikirkan bagaimana ke depan Indonesia akan maju, maju dalam politik, ekonomi dan sosial. Secara fundamental yang menopang ide-ide tersebut yakni persatuan dan persaudaraan.

Melawan Ketimpangan Sosial 

Hasrat dan nafsu besar merupakan hal-hal yang menstimulus orang-orang untuk melakukan berbagai keserakahan, dan ketimpangan-ketimpangan sosial. Ketika paradigma ethos negara kapitalisme terkonstruk dalam berbagai ruang demokrasi masyarakat. Menjadikan masyarakat berlomba-lomba untuk mengumpulkan kekayaan secara individualistik tanpa memerhatikan orang lain.

Bayangan ini sesuai dengan perlakuan-perlakuan dari feodalistik sebagaimana seorang raja menerapkan sistem fief yang dibawa oleh para lord-lord untuk mempekerjakan para petani baik bebas maupun tetap. Hal serupa diterjemahkan oleh Tan Malaka (1926), apa yang dimaksud dengan kapitalisme atau imprealisme sebagaimana intimidasi itu tidaklah berbeda jauh dengan sistem feodalistik. Namun, Tan Malaka (1926) seperti terpengaruh oleh pemikiran dari Karl Marx. Dalam arti perlawanan kelas antara kaum buruh melawan kaum hartawan atau pemodal.

Berbeda halnya ketika konsep negara dengan berbagai bentuknya kita tinjau dari pemikiran Bung Karno berdasarkan acuan terhadap buku Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, ialah akibat pembunuhan yang dilakukan oleh aparat pada masa 1960-an yang mengancam dan menyudutkan PKI. Sehingga, Soekarno mengambil dari sisi yang berbeda untuk mengetengahkan. Agar memperoleh titik temu sehingga Bung Karno mengatakan kita berbeda bukanlah dari masalah kelas antara pemerintah, pemilik modal dan rakyat atau kelas bawah. Namun, perbedaannya terletak pada isme-isme atau mazhab-mazhab yang dipermainkan. Oleh karena itu, Bung Karno menyatakan kita sebagai kaum cendekiawan, dan reform harus melakukan penyadaran-penyadaran terhadap pemerintah.

Berangkat dari isu-isu faktual kontemporer, memang jelas menentukan adanya ketimpangan sosial namun dalam bentuk yang berbeda. Pembangunan—baik pembangunan fisik, maupun pembangunan sumber daya—belum sepenuhnya terimplementasikan secara baik dalam masyarakat khususnya masyarakat yang ada dipelosok-pelososk desa (Nilai penentuan kebaikan itu apabila kita melihat adanya keseimbangan-keseimbangan yang terbangun di masyarakat).

Agama Kebudayaan Dan Wujud Negara Hakiki

Pola pemikiran masyarakat tertentu dalam menanggapi persoalan ancaman secara definit, tentu berbeda. Bila kaum elit masyarakat menyikapi persoalan dari diskursus ke-ilmiah-an tentu tendensinya, berimplikasi terhadap probabilitas posisitvisme dapat terjadi. Akibat persoalan masyarakat yang sudah ada semakin komplementer serta peningkatan. Belumlah dirumuskan untuk dapat memecahkan persoalan dengan secepat mungkin.

Sudah terlambat kita merumuskan untuk memutuskan jawaban yang bersifat temporal. Sebab, validitas jawaban yang diingini oleh paradigma postivistik tidaklah seimbang dengan kaum reform untuk menyikapi secepat mungkin problems faktual.

Praduga dan anggapan-anggapan tidaklah dapat dipisahkan dalam perlakuan-perlakuan politisasi. Sebab, negara yang destruktif memunculkan indikator dari hal-hal bersifat seperti dehumanisasi, degradasi trust dan semakin dominan kaum hartawan dan kapitalis yang despotisme. Oleh karena itu, memunculkan bangsa yang bernegara manusia (temporal, saling mendahulukan kepentingan dan menjatuhkan di antaranya).

Kebudayaan, secara definitif telah berlangsung sejak masa berkehidupan, bermasyarakat, yang diatur berdasarkan yurispundensi masyarakat adat, nilai etika dan moralitas berbangsa. Misalnya Bangsa suku Bugis, suku Makassar Bangsa suku Moluku (alifuru), Sumatera, Jawa, Kalimantan dan suku-suku di Papua. Bangsa-bangsa tersebut telah membentuk struktur kemasyarakatan secara hierarki berdasarkan perkembangan kemasyarakatan yang dimilikinya.

Upaya dalm konteks ini sebagaimana mungkin harus dikontekskan antara masalah perkembangan kebudayaan dan bernegara secara adil dan bijaksana. Semisal menyelidiki persoalan pertentangan-pertentangan berbangsa dan bernegara.

Pertentangan-pertentangan pemahaman kenegaraan sudah terjadi semenjak masa pemikiran politik barat dan menjadi peralihan arah konsep dan falsafah, serta ajaran yang dipengaruhi maupun di bawahnya–. Sebagaimana, konstelasi antara St Augustinus (1225-1247) dan Thomas Aquinas (1225-1274). Pembahasan secara analitik pula telah diulas dalam buku Ahmad Suhelmi (2001) pemikiran politik barat, kajian sejarah perkembangan pemikiran, negara, masyarakat dan kekuasaan.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply