Oleh: Muhammad Chirzin*
KHITTAH.CO, – Setiap orang mendambakan kebahagiaan. Orang rela melakukan apa saja, bahkan mengorbankan apa saja untuk menggapai kebahagiaan, tetapi belum tentu mencapainya. Kebahagiaan tidak ditentukan oleh penghasilan, lokasi, luas rumah, dan sekolah, serta pencapaian anak-anak, dan lain-lain. Bagi sebagian orang bahagia atau tidak bahagia bukan sesuatu yang terlalu berarti. Kebanyakan orang memutuskan dirinya bahagia atau tidak dari membandingkan dengan orang lain. Epictetus menulis, “Bila seseorang tidak bahagia, itu adalah kesalahannya sendiri, karena Tuhan menciptakan semua manusia untuk bahagia.” Caranya? Melatih diri memaksimalkan setiap anugerah yang dimiliki, sekecil apa pun, kapan pun, dan di mana pun.
Ajahn Brahm menulis, Opening the Door of Your Heart, 2004. Edisi bahasa Indonesia, Si Cacing dan Kotoran Kesenangannya, penyunting Handaka Vijjananada, penerjemah Chuang (TK: Awareness Publication, Cetakan 40, 2020). Trilogi Si Cacing masing-masing terdiri atas 108 Cerita Pembuka Pintu Hati.
Ajahn Brahm lahir di London, 7 Agustus 1951, bernama Peter Betts, dari latar keluarga buruh. Ia mendapatkan beasiswa untuk belejar Fisika Teori di Cambridge University pada tahun 1960-an akhir. Setelah lulus, ia mengajar di SMU satu tahun, lalu pergi ke Thailand untuk menjadi biksu dan berlatih di bawah bimbingan Ajahn Chah selama sembilan tahun.
Ajahn Brahm kemudian diundang ke Perth, Australia, oleh Buddhist Society of Western Australia untuk membantu Ajahn Jagaro mengajar. Mereka berdua tinggal di sebuah rumah tua di pinggiran Perth bagian utara. Pada akhir tahun 1983 mereka membeli tanah desa dan hutan seluas 39 hektar di perbukitan Serpentine, selatan Perth, menjadi Wihara Bodhinyana.
Pada Oktober 2004, Ajahn Brahm mendapat anugerah Medali John Curtin atas visi, kepemimpinan, dan pelayanannya bagi masyarakat Australia oleh Curtin University. Dalam usia senjanya, Ajanh Brahm masih sangat aktif berkeliling dunia untuk berceramah dan mengajar meditasi. Ratusan ceramah Ajahn Brahm kini tersedia gratis untuk diunduh, dalam format suara maupun video.
Salah satu bagian dari buku satu berjudul Menciptakan Kebahagiaan, terdiri atas sepuluh nomor judul; pertama, Sanjungan Membuat Kita berhasil. Bagian berikutnya berjudul Masalah Kritis dan Pemecahannya, memuat tulisan Tiga Pertanyaan Kaisar, dan bagian terakhir berjudul Penderitaan dan Pelepasan dengan tulisan penutupnya Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya.
“Kita semua senang dipuji, tetapi sayangnya hampir sepanjang waktu kita hanya mendengar tentang kejelekan kita. Saya kira itu adil, karena hampir sepanjang waktu kita pun hanya membicarakan kejelekan orang lain. Kita jarang sekali mengucapkan pujian. Coba saja dengar sendiri apa yang Anda bicarakan.”
“Tanpa pujian, tanpa dorongan positif terhadap sifat-sifat yang baik, sifat-sifat itu akan layu dan mati, namun seulas pujian bisa menjadi tonggak pengobar semangat. Kita semua ingin mendengar diri kita dipuji; kita hanya ingin memastikan bahwa apa yang telah kita lakukan sudah benar adanya. Siapa yang bilang kalau sanjungan akan membuat kita tak berhasil adalah orang yang …, tetapi kita maafkan saja. Sanjungan kawan membuat kita berhasil.” Sanjungan itu membahagiakan.
Dahulu kala seorang kaisar sedang mencari falsafah hidup. Dia memerlukan kebijaksanaan sebagai pedoman dan untuk pengembangan diri. Agama dan falsafah yang ada pada saat itu tidak memuaskannya. Jadi dia mencari falsafahnya sendiri melalui pengalaman hidup. Akhirnya dia menyadari bahwa dia hanya memerlukan jawaban atas tiga pertanyaan mendasar. Dengan tiga jawaban ini dia akan mendapatkan semua pedoman kebijaksanaan yang diperlukannya.
Tiga pertanyaan itu adalah: (1) Kapan waktu yang paling penting? (2) Siapa orang yang paling penting? (3) Apa hal yang paling penting untuk dilakukan? Setelah melalui pencarian yang panjang, yang merupakan bagian terpanjang dalam cerita aslinya, akhirnya dia menemukan jawabannya saat mengunjungi seorang petapa.
Kita semua tahu jawaban untuk pertanyaan pertama, tetapi kita terlalu sering melupakannya. Tentu saja, yang paling penting adalah “saat ini”. Itulah satu-satunya waktu yang kita miliki. Jadi jika Anda ingin memberi tahu ayah atau ibu Anda, betapa Anda benar-benar menyayangi mereka, lakukanlah sekarang juga. Jangan tunggu besok. Bukan lima menit lagi. Lima menit sering kali sudah terlambat. Jika Anda perlu meminta maaf kepada pasangan Anda, jangan banyak pikir segala alasan. Lakukan saja sekarang juga. Kesempatan mungkin tak pernah datang kembali. Raihlah momennya.
Jawaban untuk pertanyaan kedua benar-benar bermakna mendalam. Hanya sedikit orang yang mampu menjawab dengan benar. Ketika penulis membacanya, makna yang terkandung di dalam jawaban itu telah memutar-mutarnya selama berhari-hari. Makna jawaban itu tak terbayangkan mendalamnya. Jawabannya, orang yang paling penting adalah orang yang sedang bersama Anda.
Komunikasi dan cinta hanya dapat dibagi tatkala seseorang yang bersama Anda, entah siapa pun mereka, adalah orang yang paling penting di dunia ini bagi Anda, pada saat itu. Mereka merasakannya. Mereka mengetahuinya. Mereka menanggapinya. Jadi tak peduli seberapa lelah atau sibuknya kita saat kita bersama pasangan kita, kita membuat mereka menjadi orang paling penting di dunia.
Jawaban untuk pertanyaan ketiga sang kaisar “apa yang paling penting untuk dilakukan?” adalah peduli. Peduli berarti berhati-hati dan memedulikan. Jawaban itu melukiskan bahwa hal yang terpenting adalah mengerti asal muasal diri kita. Rangkuman tiga pertanyaan kaisar dan jawabannya adalah berikut.
- Kapan waktu yang paling penting? Saat ini.
- Siapa orang yang paling penting? Orang yang sedang bersama kita.
- Apa hal paling penting untuk dilakukan? Peduli.
Sebagian orang memang kelihatannya tidak kepengin bebas dari masalah. Jika mereka sedang tidak punya cukup masalah yang bisa dikhawatirkan, mereka akan menyetel sinetron televisi untuk mengkhawatirkan persoalan tokoh-tokoh fiksi di dalamnya. Banyak juga yang merasa bahwa ketegangan membuat mereka lebih “hidup”; mereka menganggap penderitaan sebagai hal yang mengasyikkan.
Dua orang biksu merupakan teman dekat sepanjang hidup mereka. Setelah mereka meninggal, satu terlahir sebagai dewa di sebuah alam surga yang indah, sementara temannya terlahir sebagai seekor cacing di seonggok kotoran. Sang dewa segera merasa kehilangan kawan lamanya dan bertanya-tanya di manakah dia terlahir ulang. Akhirnya sang dewa menemukan temannya terlahir sebagai seekor cacing di dalam seonggok kotoran yang menjijikkan!
Ikatan persahabatan mereka begitu kuat, sampai-sampai melewati batas kematian. Sang dewa merasa dia harus membebaskan dan menemukan kawan lamanya ini dari kelahirannya yang mengenaskan tersebut, entah karma apa yang membawanya ke situ.
Sang dewa lalu muncul di depan onggokan kotoran tersebut dan memanggilnya.
“Hei cacing! Apa kamu tidak ingat aku? Kita dahulu sama-sama jadi biksu pada kehidupan sebelumnya dan kamu adalah teman terbaikku. Aku terlahir ulang di alam surga yang menyenangkan, sementara kamu terlahir di kotoran sapi yang menjijikkan ini. Tetapi jangan khawatir, karena aku akan membawamu ke surga bersamaku. Ayolah, kawan!”
“Tunggu dahulu!”, kata si cacing, “apa sih hebatnya alam surga yang kamu ceritakan itu? Aku sangat bahagia di sini, bersama kotoran yang harum, nikmat, dan lezat ini. Terima kasih banyak!”
“Kamu gagal paham!” kata sang dewa, lalu dia melukiskan betapa menyenangkan dan bahagianya berada di alam surga.
“Apakah di sana ada kotoran?” tanya si cacing to the point.
“Tentu saja tidak ada!” dengus sang dewa.
“Kalau begitu, akuk emoh pergi!” jawab si cacing mantap. “Sudah ya!” dan si cacing pun membenamkan dirinya ke tengah onggokan kotoran tersebut.
Akhirnya, sang dewa menyerah, dan kembali ke surga, meninggalkan si cacing bodoh di onggokan kotorang kesayangannya.
Tuhan berfirman dalam salah satu ayat Al-Quran, Sekiranya Kami menghendaki, niscaya dengan ayat-ayat itu Kami tinggikan derajatnya, tetapi dia cenderung pada dunia dan mengikuti hawa nafsunya yang rendah. Perumpamaan orang ini seperti anjing, jika kau menghalaunya ia menjulurkan lidah, dan jika kaubiarkan ia menjulurkan lidah juga. Itulah perumpamaan orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah ini supaya mereka berpikir. (QS Al-A’raf/7:176)
*Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag., guru Besar Tafsir Al-Quran UIN Sunan Kalijaga, Dosen Program S3 Psikologi Pendidikan Islam UMY, dan Kajian Kitab Tarsir Fakultas Agama Islam UAD, anggota Tim Penyusun Tafsir Al-Quran Tematik dan Revisi Al-Quran dan Terjemahnya Kementerian Agama RI, penulis trilogi Kamus Pintar Al-Quran, Kearifan Al-Quran, dan Nur ‘Ala Nur: Sepuluh Temua Utama Al-Quran (Jakarta: Gramedia, cetak ulang 20219), dan 60an buku lainnya.