Oleh : Nasrul Haq
Wakil Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Makassar
BPJS Kesehatan ibarat sebuah peribahasa yang berbunyi ‘bagai makan buah simalakama. Artinya, suatu situasi yang serba salah. Bagaimana tidak, badan andalan pemerintah pusat yang dioperasikan per tanggal 1 Januari 2014 sebagai penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) selalu saja menuai kontroversi yang berkelanjutan. Mulai dari masyarakat versus pihak BPJS Kesehatan sampai pada pejabat pemerintah (pusat dan daerah) versus pihak BPJS Kesehatan. Sudah menjadi rahasia umum, masalah tersebut seakan-akan tidak pernah selesai mulai dari perencanaan sampai pelaksanaannya. Tenggelam satu masalah, muncul persoalan yang lain.
Terhitung sejak ditetapkannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), setidaknya ada empat persoalan simalakama yang terjadi. Simalakama yang pertama ialah manajemen pendanaan JKN. Pada masa awal pembentukan BPJS Kesehatan, pemangku kepentingan sudah saling beradu gagasan tentang pembiayaan. Ada yang menginginkan sistem asuransi sosial. Sebagian mengajukan sistem subsidi dari APBN. Jika memilih asuransi sosial secara total kepada semua warga tentu memberatkan masyarakat kelas menengah kebawah. Sebaliknya, pembiayaan akan memberatkan APBN dan atau ABPD bila pembayaran premi ditanggung penuh pemerintah.
Pilihan pemerintah pusat yang memadukan antara sistem asuransi sosial dengan sistem subsidi pemerintah sudah tepat. Sistem subsidi pemerintah secara penuh diperuntukkan bagi masyarakat yang tergolong fakir miskin dan tidak mampu. Untuk selanjutnya mereka disebut sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI). Preminya dibayar oleh pemerintah. Adapun fasilitas yang diberikan yakni kelas III. Sedangkan untuk non Penerima Bantuan Iuran dibayar masing-masing oleh individu atau perusahaan. Masyarakat yang masuk pada golongan ini dianggap mampu membayar premi bulanan. Pilihan kelasnya tergantung kemauan dan kemampuan peserta yang bersangkutan.
Kedua, simalakama integrasi jaminan kesehatan nasional (JKN) dengan jaminan kesehatan daerah (Jamkesda). Adanya integrasi tersebut sangat membantu pihak puskesmas dan rumah sakit dalam memberikan layanan kepada peserta jaminan kesehatan. Data kepesertaan jaminan kesehatan secara nasional akan lebih mudah dipantau, dievaluasi dan dilaporkan. Sehingga jumlah masyarakat yang sudah dan belum menjadi peserta jaminan dapat diketahui dengan jelas. Jangan sampai ada masyarakat yang mendapat JKN dan Jamkesda secara bersamaan, sedangkan pada saat yang bersamaan ada yang tidak mendapat sama sekali.
Sayangnya, BPJS Kesehatan yang berprinsip sentralisasi bukanlah kabar gembira bagi pejabat di daerah yang mendukung desentralisasi jaminan kesehatan. Terkhusus para Bupati/Walikota yang menjadikan layanan kesehatan gratis dan berkualitas sebagai janji politiknya saat pencalonan. Akhirnya, integrasi program Jamkesda dengan BPJS Kesehatan harus butuh penyesuaian yang cukup lama. Tidak mengerankan jika sampai saat ini masih ada daerah yang belum mengintegrasikan secara total Jamkesda ke BPJS Kesehatan. Alasannya sederhana, pelayanan kesehatan yang diberikan masih jauh dari kesempurnaan. Protes ketidakpuasan datang silih berganti dari masyarakat dengan pengaduan yang hampir sama.
Simalakama berikutnya yakni aspek hukum pendanaan dalam pandangan Islam. Sejak awal muncul benih perbedaan pandangan antara kelompok muslim. Perlahan dan pasti, persoalan ini menjadi trending topik. Mungkin masih teringat jelas dipikiran kita semua tentang hukum BPJS yang ramai diberitakan oleh media beberapa bulan yang lalu. Kontroversi pernyataan Majelis Ulama Indonesia yang sempat dikabarkan berfatwa haram berdampak psikologis bagi masyarakat awam.
Sekalipun pernyataan MUI sudah diklarifikasi dan clear, tetap saja ada kelompok-kelompok tertentu yang antipati terhadap badan yang merupakan satu-satunya penyelenggara jaminan kesehatan di Indonesia. Wajar saja hal ini menjadi perdebatan karena sistemnya cenderung ala barat. Apalagi mayoritas peserta beragama Islam. Persoalan perbedaan pandangan harus jelas dan diselesaikan sedini mungkin agar elemen masyarakat yang masih kontra bisa memahaminya lebih lanjut.
Terakhir, simalakama dalam kenaikan premi bagi peserta bukan penerima bantuan iuran. Berdasar Perpres Nomor 19 Tahun 2016, per 1 April 2016 premi akan dinaikkan sebagaimana yang ramai diberitakan oleh media akhir-akhir ini. Alasan karena dana yang masuk dengan dana yang keluar tidak seimbang sehingga premi dinaikkan, cukuplah masuk akal. Memang, dana yang dikelola oleh BPJS Kesehatan dari, oleh dan untuk masyarakat. Apabila dana yang dikelola tidak banyak, sulit untuk mengelola kecukupan dana yang tersedia sebagai dana jaminan bagi masyarakat yang sakit.
Namun, untuk dipahami bersama, penambahan premi tidaklah tepat dilakukan saat ini. Keputusannya terkesan dipaksakan. Pihak BPJS Kesehatan belum memperlihatkan akuntabilitas dan transparansi. Kalau alasannya dana yang tersedia kurang, seharusnya mereka menjelaskan terlebih dahulu ke publik pemasukan dan pengeluaran tahunan. Agar supaya masyarakat dapat menerima keputusan tersebut. Diekspose dimedia cetak dan elektronik yang bisa dibaca oleh seluruh lapisan masyarakat. Ini sangat wajar dilakukan. Bukankah dana yang dikelola merupakan dana bersama. Pemegang sahamnya semua peserta. Karena itu, pemilik saham berhak mengetahui siklus keuangan.
Upaya lain yang perlu dilakukan adalah koordinasi antara BPJS Kesehatan dengan pemerintah daerah untuk menyelasaikan masalah kesehatan masyarakat. Tingkah seorang pejabat daerah yang justru terdepan menolak kenaikan premi mencerminkan ketidakjelasan koordinasi dan kerjasama antar lembaga terkait. Semestinya pemerintah pusat dan daerah duduk bersama menyelesaikan permasalahan yang ada. Jangan langsung memberikan beban kepada masyarakat. Pemerintah masih bisa melakukan solusi seperti sosialisasi persuasif pentingnya pencegahan penyakit. Tidak semata-mata hanya fokus pada pengobatan. Anggaran yang terkumpul tidak akan pernah cukup kalau pemerintah hanya fokus pada pengobatan.
Hal yang tidak kalah pentinggnya adalah perbaikan pelayanan. Layanan yang diberikan selama ini masih menjadi sorotan publik. Terbukti, keluhan demi keluhan yang tidak pernah berhenti sejak badan ini beroperasi. Dalam pengamatan sederhana penulis, pasien BPJS Kesehatan hanya dijadikan pasien tiri. Hal yang lebih memprihatinkan ketika pasien harus rela antrian pagi-pagi bahkan dini hari demi mendapatkan nomor antrian. Lambatnya penanganan pasien juga menjadi masalah klasik. Persoala-persoalan seperti ini mestinya dicarikan solusi yang bijak terlebih dahulu. Saya kira masyarakat tidak akan protes atas kenaikan premi jika pelayanan yang diberikan memuaskan mereka.
Tugas Pemerintah
Pada prinsipnya pemerintah bertugas untuk menyelenggarakan pelayanan dasar kepada masyarakat secara maksimal. Salah satu diantaranya, pelayanan kesehatan yang berkualitas. Pemerintah jangan cuci tangan dengan jaminan pengaman sosial. Dibuatnya badan khusus menangani jaminan kesehatan, pilihan yang solutif. Dengan demikian, sistem yang dijalankan juga harus tepat. Untuk mengimbangi tugas dan tanggungjawab BPJS Kesehatan, sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah mengalokasikan anggaran khusus yang cukup untuk keberlangsungan program jaminan kesehatan. Sektor kesehatan dan pendidikan memang perlu perhatian yang lebih karena keduanya hak dasar yang wajib dijamin negara.
Kewajiban Masyarakat
Oleh karena sistem jaminan kesehatan yang diberlakukan berbentuk asuransi maka premi mesti dibayar tepat waktu. Pembayaran yang lambat sudah pasti berdampak sistemik. Banyaknya peserta yang tidak disiplin membayar harus dipecahkan juga masalahnya. Peserta wajib menyadari dan membayar premi sesuai jadwal agar pihak BPJS Kesehatan tidak kewalahan mengelola keuangan. Malasnya sebagian masyarakat membayar premi berakibat kepada masyarakat yang rajin membayar. Jadi kedepannya, alasan yang mempermasalahkan masyarakat sudah tidak terdengar lagi. Ketika semua peserta sudah menunaikan kewajibannya dengan baik, maka sangat pantas menuntut hak, begitupun sebaliknya.