Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Budaya

Simposium Barzanji LSBO Muhammadiyah Sulsel: Sebagai Budaya, Tradisi Barasanji Tidak Masalah!

×

Simposium Barzanji LSBO Muhammadiyah Sulsel: Sebagai Budaya, Tradisi Barasanji Tidak Masalah!

Share this article

KHITTAH.co, Makassar- Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulsel menggelar SImposium Barzanji, Senin 3 Januari 2021 di Aula Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Unismuh Makassar.

Dalam simposium yang menggandeng Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sulsel ini, hadir sebagai pembicara adalah Guru Besar UIN Alauddin Prof. Dr. Bahaking Rama, Prof. Dr. Musyafir, dan Wakil Ketua PWM Sulsel, Prof. Dr. Mustari Bosra.

Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sulsel, Dr. K.H. Mustari Bosra menjelaskan, sebenarnya sudah pernah ada yang menulis sejarah Nabi Muhammad Saw, tapi tidak ada yang seindah dengan syair yang dibuat oleh Syekh Ja’far Al-Barzanji. Selanjutnya, menurut Kiai Mustari, tradisi pembacaan kitab barzanji di Nusantara erat kaitannya dengan berdirinya gerakan tarekat.

Kiai Mustari menjelaskan, gerakan tarekat lahir akibat kejenuhan ulama saat itu karena masalah-masalah politik yang membuat Islam terpecah belah. Ada ulama tarekat yang memperkenalkan zikir-zikir dengan lagu-lagu, yaitu Syekh Muhammad as-Samman al-Madani. “Saya kira ini semua erat kaitannya dengan tradisi barzanji,” ungkap Kiai Mustari.

Terkait hukum pembacaan barzanji, Kiai Mustari menegaskan bahwa pembacaan barzanji tentu boleh saja dilakukan. Hal yang tidak boleh adalah ketika barsanji dikait-kaitkan dengan suatu kepercayaan yang menyimpang dari aqidah.

“Misalnya, kalau tidak dibacakan barsanji, anak itu akan sakit-sakitan, rumah itu akan mendatangkan bala. Itu yang tidak boleh. Termasuk, ketika pembacaan barsanji dianggap sebagai ibadah khusus,” jelas Kiai Mustari.

Sementara itu, Guru Besar UIN Alauddin, Prof. Bahaking Rama dalam paparannya menjelaskan, barzanji merupakan hasil karya manusia yang diterima oleh masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Karena itu, jelas Prof. Bahaking, barzanji tidak lain adalah budaya atau gagasan untuk memenuhi kehidupan bermasyarakat yang berwujud sebagai budaya fisik melalui tulisan yang dibukukan dan budaya nonfisik dalam bentuk  ucapan (oral) dan gerakan.

“Barzanji adalah budaya, dan hanya manusia yang berpendidikan lah, baik formal maupun informal, yang mampu berbudaya. Barzanji ini lahir dari hasil pendengaran, penglihatan, dan olah hati. Dan, ketika manusia tidak memanfaatkan pendengaran, penglihatan, dan olah hati ini, manusia akan menagalami kesusahan dalam hidupnya,” jelas Prof. Bahaking.

Sementara itu, Prof. Dr. Musyafir menjelaskan relasi agama dan budaya yang bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Jika salah satu sisi tidak ada, maka uang tersebut tidak ada nilainya.

“Agama tidak bisa diimplementasikan tanpa budaya. Seperti Salat, bagaimana kalau kita tidak ada sarung? Sarung itu kan budaya. Begitu juga sebaliknya, budaya, jika tidak dipandu oleh agama, akan liar,” ungkap Prof. Musyafir.

Guru Besar UIN Alauddin ini juga menjelaskan, tiga jenis relasi antara agama dan budaya. Pertama, jika bertentangan agama dan budaya, maka tradisi harus tunduk pada agama.  Kedua, pemahaman nilai-nilai agama dipaksa harus tunduk pada niilai-nilai budaya yang sudah lama berkembang.

“Ketika awal turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad Saw., itu kan tidak turun pada budaya yang hampa. Di situ kan sudah ada budaya Quraisy. Tapi, kan agama tidak dipaksakan juga harus menuruti budaya,” ungkap  Mantan Rektor UIN Alauddin ini.

Ketiga, lanjut Prof. Musyafir, nilai-nilai subtansi agama diasimilasi dengan budaya sehingga lahir budaya baru. “Nah, ketiga relasi tersebut yang kita harus pahami dulu untuk selanjutnya kita satukan persepsi. Saya pikir, kita harus memilih jalan ketiga,” kata Prof. Musyafir.

Lebih lanjut, Prof. Musyafir menerangkan, kitab barzanji merupakan kitab sastra, bukan kitab fiqih, bukan juga kitab kuning. “Kalau kita anggap dia kitab fiqih, akan ada dua konsekuensi yaitu bid’ah dan sunah. Tapi, ini yang harus kita satukan persepsi bahwa kitab barzanji itu kitab sastra yang berisi sejarah Nabi mulai dari kelahiran sampai wafat. Dan syair barzanji itu luar biasa indahnya,” tandas Prof. Musyafir.

Alumni Sekolah Muallimin Muhammadiyah Cabang Makassar ini juga mengungkapkan sejumlah hal menarik terkait barzanji ini. Ia mengungkapkan,  Syaikh Jafar Al-Barazanji penulis kitab barzanji adalah tokoh yang bermazhab Maliki. “Uniknya, para Syafi’iah, penganut mazhab Syafi’i yang mengangumi karya orang Maliki,” tandas Prof. Musyafir.

Selain itu, Prof. Musyafir juga menjelaskan, bahwa benar, pembacaan kita Barzanji tidak ditemukan pada masa Sahabat, thabi’in, thabi’ thabi’in, dan empat imam mazhab. Demikian pula dengan perayaan Maulid Nabi

“Nanti, barzanji dan maulid ada ketika masa Salahuddin Al-Ayyubi. Beliaulah yang menganjurkan pelaksanaan maulid dan pembacaan kitab barzanji ini dengan tujuan untuk membangkitkan semangat jihad kaum muslimin yang saat itu menghadaapi Perang Salib. Tapi bukan berarti barzanji itu titik tekannya di Perang Salib, ya, tapi pada peningkatan spiritnya,” jelas Prof. Musyafir.

Hal menarik ketiga yang dijelaskan Prof. Musyafir adalah terkait pelaksanaan perayaan Maulid di Yogyakarta. Hal yang unik di sana adalah, pada masa Prof. Musyafir bersekolah di Yogyakarta, pelaksanaan maulid akbar di sana dipimpin oleh Ki Wardan Dipodiningrat, ayah dari Djazman Al-Kindi, pendiri IMM.

“Yang menarik, Ki Wardan Dipodiningrat, ayah dari Djazman Al-Kindi itu adalah Imam Masjid Keraton yang juga Ketua Majelis Tarjih. Beliaulah yang memimpin tahlilan, membaca barzanji pada perayaan maulid di Masjid Keraton Yogya,” ungkap Prof. Musyafir (Fikar).

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply