Oleh: Muhammad Chirzin*
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Konstitusi menjamin kemerdekaan umat beragama dalam memeluk dan menjalankan ajaran agama sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya. (UUD NRI 1945 Pasal 29).
Bangsa Indonesia terdiri atas beberapa suku, agama, dan golongan, tetapi satu tujuan: meraih kebahagiaan hidup. Pluralitas suku bangsa, agama, dan golongan merupakan pendorong dan penuntun perjalanan menggapai kemajuan. Keragaman etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama merupakan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Keragaman niscaya menginspirasi untuk saling mengenal, memahami, membantu, dan bekerja sama.
Agama berperan untuk memperbaiki, mewujudkan, dan mengokohkan perdamaian. Kehadiran agama adalah untuk menjaga martabat manusia sebagai makhluk mulia cintaan Tuhan. Kerukunan sesama warga kunci kebahagiaan.
Setiap agama memiliki nilai kasih sayang, penghargaan, persaudaraan, keadilan, kerendahan hati, kerja sama, tanggung jawab, perdamaian, kebahagiaan, dan toleransi sebagai modal membangun sinergi untuk memantapkan kerukunan beragama. Setiap pemeluk agama niscaya menghormati keimanan orang lain.
Prinsip belas kasih di dalam jantung setiap agama: memperlakukan semua orang lain sebagaimana ia ingin diperlakukan. Belas kasih mendorong untuk menghapuskan penderitaan dan memperlakukan setiap orang dengan adil, setara, dan hormat.
Pemuka agama hendaknya menyumbangkan pemikiran untuk mewujudkan kerjasama dengan belas kasih sebagai kekuatan yang menembus batas politik, dogmatis, ideologi, dan agama. Rukun itu indah, damai itu berkah.
Ide dasar kerukunan adalah mencari persamaan dan tidak mempertajam perbedaan. Resep kerukunan: (1) membangun persahabatan; (2) bekerja sama; (3) menjaga kehormatan; (4) berbaik sangka.
Agama menghadirkan ajaran tentang keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan. Beragama secara moderat ialah beragama secara menengah, tidak berlebihan dan tidak kekurangan; tidak keras dan tidak ekstrem dalam praktik beragama. Tiga pilar moderasi: moderasi pikiran, moderasi perkataan, moderasi perbuatan.
Prasyarat sikap moderat dalam beragama: memiliki pengatahuan yang luas, mampu mengendalikan emosi, dan selalu berhati-hati (berilmu, berbudi, berhati-hati). Moderasi beragama sangat penting sebagai cara pandang dalam beragama. Semangat moderasi beragama adalah mencari titik tengah dua kutub ekstrem dalam beragama.
Moderasi beragama merupakan strategi kebudayaan bangsa dalam merawat keindonesiaan dalam rumah Pancasila. Memilih jalan tengah di antara dua kutub ekstrem merupakan sikap beragama yang paling ideal. Sikap moderat menekankan keadilan dan keseimbangan hidup.
Moderasi beragama kunci untuk menciptakan kehidupan yang rukun, damai, dan harmonis, serta kondusif terwujudnya keseimbangan kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat. Moderat beragama berarti percaya diri dengan esensi ajaran agamanya yang mengajarkan prinsip keadilan, kejujuran, keseimbangan, dan kehormatan.
Moderasi beragama meniscayakan keterbukaan, penerimaan, dan kerjasama antarkelompok. Prinsip dasar moderasi beragama adalah menjaga keseimbangan antara akal dan wahyu, jasmani dan rohani, hak dan kewajiban, kepentingan individu dan kemaslahatan kelompok, gagasan ideal dan kenyataan, serta antara masa lalu dan masa depan.
Kerukunan umat dan moderasi beragama niscaya disinergikan untuk membangun bangsa Indonesia dalam segala lini kehidupan. Dewasa ini dirasakan adanya ancaman terhadap ketahanan nasional, baik berupa ancaman lunak, maupun ancaman keras.
Di antara ancaman-ancaman ketahanan nasional Indonesia saat ini adalah sebagai berikut: Pertama, penegakan hukum dan keadilan sebagai mainan, dalam artian tidak sungguh-sungguh untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Kedua, pembiayaan Pemerintah untuk pembuatan Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang semula merupakan projek B to B, kini direstui oleh Presiden Jokowi untuk dibiayai dengan APBN yang notabene uang dari rakyat.
Ketiga, rencana Pembangunan Ibu Kota Negara dengan anggaran sekian triliun yang sebagiannya didanai dengan utang. Keempat, adanya beberapa mega korupsi yang tidak diselesaikan dengan saksama. Kelima, pemilihan Presiden dengan President Treshold 20 % yang ditengarai merupakan agenda oligarkhi.
Keenam, kedatangan TKA dan militer Cina secara massif, baik pada saat sebelum maupun pada masa pandemi. Ketujuh, penguasaan ekonomi negara oleh China melalui utang-utang yang menjerat Penyelenggara Pemerintahan Indonesia. Kedelapan, kriminalisaai ulama yang tampak nyata di depan mata.
Kesembilan, penegakan hukum secara tebang pilih, antara lain dalam penanganan perkara penembakan 6 Laskar FPI yang diposisikan sebagai pelanggaran HAM biasa. Kesepuluh, bangkrutnya perusahaan penerbangan Garuda apa pun dalihnya.
Kesebelas, penyelundupan narkoba ke Indonesia secara massif untuk menghancurkan generasi muda bangsa. Kedua belas, Komunis Gaya Baru yang bukan saja sedang bangkit, tetapi telah menguasai institusi-institusi vital di negeri ini. Dan ketiga belas, separatis OPM Papua yang diduga kuat dibacking oleh kekuatan tertentu.
Umat beragama di Indonesia niscaya membulatkan tekad dan merapatkan barisan, serta bahu membahu untuk membela negara dengan mempertahankan segala kekayaan, kedaulatan, dan wilayahnya, serta mengamalkan Pancasila, UUD NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan berjiwa dwiwarna, yakni berani dan suci, bila perlu dengan mengorbankan jiwa dan raga, demi kejayaan bangsa.
* Guru Besar Tafsir Al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Sumber ilustrasi: terbitkanbukugratis.id