Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Berita

Sistem Pemilu Terbuka Vs Tertutup, Warga Muhammadiyah Harus Sadari Ini!

×

Sistem Pemilu Terbuka Vs Tertutup, Warga Muhammadiyah Harus Sadari Ini!

Share this article
Sidang Tanwir ‘Aisyiyah Tetapkan 39 Calon Tetap Anggota Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah
Logo Muktamar ke 48 Muhammadiyah-‘Aisyiyah

KHITTAH.CO, Makassar- Belakangan ini, publik ramai membincang terkait penerapan sistem proporsional tertutup versus terbuka dalam pelaksanaan pemilu.

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti telah mengeluarkan pernyataan dukungan terhadap penerapan sistem proporsional tertutup.

Pernyataan itu dapat dibaca di sejumlah media, paling tidak, sejak Jumat, 30 Desember 2022. Inilah yang menghangatkan perbincangan terkait itu di kalangan Muhammadiyah.

Hal yang harus disadari adalah pernyataan Mu’ti tersebut berdasar pada hasil Muktamar 48 Muhammadiyah-‘Aisyiyah di Surakarta, November 2022.

Ini merupakan bagian dari Isu-isu Strategis Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan Universal, khususnya terkait reformasi pemilu dalam Tanfidz Muktamar 48.

Tanfidz Muktamar tersebut mengatakan bahwa sistem proporsional terbuka dalam pemilu legislatif perlu diubah. Meski demikian, pemilihan presiden, gubernur, bupati, dan wali kota secara langsung tidak perlu diubah.

“Akan tetapi, mekanisme pemilihannya perlu diperbaiki ke arah yang lebih efisien dan efektif, misalnya melalui sistem pemilu tertutup atau terbuka terbatas serta pemilihan eksekutif terintegrasi untuk meniadakan politik uang, ekses politik identitas, dan pembelahan masyarakat atau polarisasi politik,” demikian tertulis dalam tanfidz Muktamar 48.

Tanfidz mengatakan, Pemilihan Umum (Pemilu) adalah sistem dan proses politik yang mencerminkan pelaksanaan dan kualitas demokrasi.

Pemilu sebagai instrumen rakyat memilih anggota anggota legislatif, presiden, gubernur, bupati, walikota, dan kepala desa, seharusnya menghasilkan negarawan yang berkualitas. Terlebih, mereka sebagai institusi dan aktor yang menentukan kesejahteraan dan kemajuan bangsa.

Dikatakan juga, sejak kemerdekaan 1945, Indonesia telah menyelenggarakan 12 kali pemilu legislatif dan 4 kali pemilihan presiden secara langsung.

Menurut Muhammadiyah, idealnya, sistem dan pelaksanaan pemilu semakin berkualitas. Sayangnya, sebagaimana terlihat dari indeks demokrasi, sistem dan pelaksanaan pemilu sarat dengan masalah, terutama dengan meluasnya politik uang yang membudaya dan politik identitas.

Persyarikatan, dalam tanfidz tersebut mengatakan, pemilu sebagai instrumen demokrasi bahkan melahirkan praktik oligarki kekuasaan yang tidak sejalan dengan substansi demokrasi.

Muhammadiyah menekankan, di antara masalah politik dan demokrasi yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah melemahnya moralitas, oligarki kekuasaan, dominasi kekuasaan partai politik, yang salah satu akarnya ialah sistem pemilu yang liberal.

Kesadaran dan akhlak berpolitik masyarakat, penyelenggara pemilu, dan para elite partai politik maupun elite kekuasaan lainnya perlu ditingkatkan dalam bingkai nilai Pancasila, agama, dan kepribadian bangsa.

Bersamaan dengan itu, yang paling penting untuk ditinjau kembali ialah sistem pemilu dan sistem politik yang liberal, yang tidak sejalan dengan Pancasila.

Solusi hilir yang bersifat kesadaran nilai dan moral politik akan membawa perubahan signifikan apabila diperkuat dengan reformasi sistem pemilu sebagai solusi hulu. Karena itulah, Muhammadiyah berpendapat bahwa sistem proporsional terbuka perlu diubah.

Tidak hanya itu, tanfidz juga berbicara terkait praktik pemilihan presiden. Muhammadiyah berpendapat bahwa praktik pemilihan presiden dan wakil presiden kerap memicu polarisasi apabila kompetitornya hanya dua pasangan kandidat.

Karena itu, Persyarikatan mendorong kompetisi pemilu yang lebih meminimalisasi dampak polarisasi dan politisasi identitas yang tidak produktif bagi penguatan bangunan kebangsaan.

Dukungan pada partisipasi aktif partai politik untuk memproyeksikan kader terbaik bangsa berlaga secara sportif dan bermartabat. 

Tidak hanya itu, ke depan, penting ada mekanisme dikontrol, agar proses dan produk legislasi perundang-undangan maupun peraturan pemerintahan hingga ke kementerian tidak bersifat oligarkis, monolitik, dan tertutup pada aspirasi publik sehingga bertentangan dengan asas dan substansi demokrasi.

Muhammadiyah juga berharap, Pemilu 2024 menjadi momentum untuk menata kembali praktik ketatanegaraan yang liberal dan salah kaprah.

Demikian pula penataan institusi-institusi yang superpower atau superbodi seperti Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam satu paket penataan atau reformasi sistem ketahanan dan keamanan nasional.

Begitulah yang tertuang dalam Tanfidz Muktamar 48 Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang telah dipublikasikan. Tanfidz itu ditandatangani di Yogyakarta, tertanggal 14 Desember 2022.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply