KHITTAH.CO, MAKASSAR – Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (PK IMM FH Unhas) menggelar Diskusi Publik yang berlangsung secara Zoom Meeting, Selasa, 29 Maret 2022.
Diskusi Publik tersebut mengangkat tema “Menakar Penegakan HAM: Negara vs Masyarakat Sipil” ini seperti kasus Studi LBP vs Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti yang menjadi viral sekarang. Diskusi Publik ini menghadirkan narasumber diantaranya Meika Arista, S.H sebagai Advocate Locataru Law.
Kepala Litigasi LBH PP Muhammadiyah/Tim kuasa hukum Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yakni Gufroni S.H., M.H, Direktur PUSaKo/Dosen FH Universitas Andalas yakni Feri Amsari, S.H., M.H., LL.M, Dosen FH Universitas Muhammadiyah Bima, yakni Dr. Taufiq Firmanto, S.H., LL.M, dan Dosen FH Universitas Brawijaya yakni Dr. Dhia Al Uyun S.H.,M.H turut hadir sebagai narasumber Diskusi Publik ini.
Adinda Nurul Aulia Maksun sebagai Ketua Umum IMM Fakultas Hukum Unhas menyampaikan dalam openingnya bahwa setidaknya ada beberapa alasan yang bisa dijadikan rujukan hadirnya diskusi ini. Pertama, Kasus penetapan tersangka Haris Azhar dan Fatia menuai tanda tanya sebab kepolisian tidak membeberkan pasal mana yang disangkakan akibat perbincangan melalui podcast via youtube.
“Kedua, pembicaraan yang disangkakan Haris Azhar dan Fatia merupakan hasil riset ilmiah sehingga ideal secara hukum dilawan dengan cara ilmiah dan ketiga, ingin menakar sejauh mana peluang “bebasnya” Haris Azhar dan Fatia dari jeratan hukum serta tidak boleh lengah dengan cara seperti ini,” ungkap Ketua Umum IMM FH Unhas.
Narasumber Meika Arista menyampaikan pendapatnya bahwa terkait kasus LBP vs Haris dan Fatia, semestinya masyarakat lakukan kajian apakah memang bisa dibenarkan Laporan Luhut Binsar Panjaitan kepada Polda Metro jaya terkait pencemaran nama baik terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti padahal substansi podcast yang dibawakan menyediakan informasi atau publikasi riset terkait kondisi pertambangan di Papua.
Gufroni selaku Tim Kuasa Hukum Haris dan Fatia memaparkan melihat dibalik kasus ini ada upaya yang cukup sistematis untuk membungkam suara suara kritis atau pejuang HAM seperti beberapa kasus sebelumnya yang dimana orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka tapi kasusnya digantung atau proses penanganan perkaranya tidak dilanjutkan.
Ditambahkan oleh Gufroni, kami juga akan mengajukan upaya hukum praperadilan sebab penetapan tersangka Haris Azhar dan Fatia tidak sah sebagaimana diatur dalan KUHAP.
Taufik Firmanto juga memaparkan kalau dirinya menilai bahwa hal yang dilakukan oleh Haris Azhar dan Fatia adalah bentuk kerja “partisipasi publik” dan bukan merupakan pencemaran nama baik sehingga penegak hukumnya habisin uang negara kalau kasus seperti ini dinaikan. Karena itu penyelesaiannya lebih dikedepankan dengan Keadilan Restoratif Justice.
Dalam Diskusi Publik tersebut, Feri Amsari juga menilai bahwa penetapan tersangka Haris Azhar dan Fatia adalah bukti nyata kepolisian super membingungkan. sebab konteksnya mengabaikan UUD 1945 dan peraturan hukum lainnya.
“Selain itu apa yang dibicarakan Haris Azhar dan Fatia dalam Podcast tersebut adalah “Kebenaran” dan tidak ada bantahannya serta pelapor dalam hal ini Luhut Binsar Panjaitan tidak baca UUD 1945, UU Administrasi Pemerintahan, UU tentang HAM dan peraturan hukum terkait,” tegas Alumnus Wythe and Marshall School of Law, William and Mary College, Virginia Amerika.
Sementara itu, Dhia Al Uyun menyampaikan dalam paparannya bahwa terkait kasus penetapan tersangka Haris Azhar dan Fatia adalah cara bekerja negara kekuasaan (Macsthaat) bukan negara hukum (Rechtsstaat). Selain itu peristiwa tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan akademik.
Kegiatan diskusi publik ini berlangsung dengan riuh dan lancar yang dipandu oleh Muslim Haq. M selaku Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin dengan diikuti ratusan partisipan dari kalangan IMM se-Indonesia maupun dari kalangan umum.