KHITTAH.co- Adakah yang menyadari, saat mendengar masjid Muhammadiyah bertakbir jelang Iduladha dan Idulfitri, termasuk di hari Tasyrik, ternyata ada perbedaan dari segi takbirnya. Sadarkah?
Ternyata, Muhammadiyah takbirnya cuma dua kali. Ini berdasar pada Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih ke-20 tahun 1396 H / 1976 di Garut Jawa Barat.
Pembahasan terkait ini sudah diulas dalam Buku Tanya Jawab Agama terbitan Suara Muhammadiyah jilid 1 di halaman 95. Ada juga di buku “Tanya Jawab Agama” terbitan Suara Muhammadiyah jilid 3 halaman 141 dan Buku Tanya Jawab Agama terbitan Suara Muhammadiyah jilid 5 halaman 71.
Majalah Suara Muhammadiyah No. 22 Tahun 2004 dan Majalah Suara Muhammadiyah No. 12 Tahun 2009 juga pernah mengulas ini.
Terakhir, ulasan terkait takbir ini, diulas oleh laman fatwatarjih.or.id, sumber artikel ini.
Berikut ini ulasan singkatnya.
Jumlah takbir yang dimaksud, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw yaitu:
اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ اْلحَمْدُ
atau:
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
Dalam dua lafadz tersebut, jelas bahwa jumlah bacaan takbir pada permulaan lafadz adalah dua kali.
Ini berdasarkan dalil:
عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: كَبِّرُوْا، اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَ جَاءَ عَنْ عُمَرَ وَابْنِ مَسْعُوْدٍ: اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ اْلحَمْدُ.
Artinya: Diriwayatkan dari Salman, ia berkata: bertakbirlah dengan Allaahu akbar, Allaahu akbar kabiiraa. Dan diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Mas’ud: Allaahu akbar, Allaahu akbar, laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar, Allaahu akbar wa lillaahil-hamd. [HR. Abdul Razzaaq, dengan sanad shahih]
Bersumber dari laman resmi Majelis Tarjih, tambahan bacaan kabiran wal hamdu lillahi katsiran dan seterusnya, belum ditemukan dalilnya yang khusus bahwa ada tambahan lafadz seperti itu. Hal ini berlaku, baik dalam lafadz takbir idul fitri maupun idul adha.
Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid, lafaz takbir hari raya adalah bagian dari ibadah mahdlah, sehingga ketentuannya harus dikembalikan kepada dalil-dalil dari as-sunnah al-maqbulah. Karena itu dalam bertakbir tidak perlu ada tambahan lafadz selain dua lafadz di atas.
Jadi, tidak hanya jumlah takbir, soal lafaz yang sering kita dengarkan selain lafaz takbir pun, ternyata, Majelis Tarjih memiliki pandangan yang berbeda dengan yang selama ini kita dengarkan di masjid-masjid, atau bahkan kita sendiri melakukannya.
Satu lagi hal yang perlu diketahui terkait takbir Iduladha dan Idulfitri menurut Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Ternyata, tidak ada juga ketentuan yang pasti tentang kapan saja takbir dikumdangkan.
Pastinya, menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah terkait kapan atau frekuensi takbir, dianjuran untuk memperbanyak takbir.
Artinya, soal waktu dikumandangkan takbir, dapat dilakukan kapan saja yang memungkinkan asal masih di dalam batas waktu yang diperintahkan.
Rujukan Majelis Tarjih adalah hadis berikut.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ إِذاَ غَداَ إِلىَ الْمُصَلَّى يَوْمَ اْلعِيْدِ كَبَّرَ فَرَفَعَ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيْرِ، وَفِيْ رِوَايَةٍ كاَنَ يَغْدُوْ إِلى الْمُصَلَّى يَوْمِ اْلفِطْرِ إِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى يَوْمَ اْلعَيْدِ ثُمَّ يُكَبِّرُ بِالْمُصَلَّى حَتَّى إِذَا جَلَسَ اْلإِمَامُ تَرَكَ التَّكْبِيْرَ. [رواه الشافعي في مسنده
جـ 1 : 153، حديث رقم 444 و 44
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia apabila pergi ke tanah lapang di pagi hari Id, beliau bertakbir dengan mengeraskan suara takbirnya. Dalam riwayat lain (dikatakan): Beliau apabila pergi ke tempat shalat pada pagi hari Idul Fitri ketika matahari terbit, beliau bertakbir hingga sampai ke tempat shalat pada hari Id, kemudian di tempat shalat itu beliau bertakbir pula, sehingga apabila imam telah duduk, beliau berhenti bertakbir. [HR. asy-Syafi‘i dalam al-Musnad, I:153, hadis no. 444 dan 445]
Selain itu, perintah Allah dalam Surah al-Baqarah ayat 185, yang memerintahkan untuk bertakbir setelah sempurna bilangan puasa Ramadan.
Memang dalam ayat tersebut, tidak secara tegas dinyatakan bahwa takbir dimulai setelah matahari terbenam, sebagai tanda telah sempurnanya puasa Ramadhan. Namun menurut kesepakatan para ulama sebagaimana disebutkan oleh ‘Ali Hasballah dalam Kitab Ushuulut-Tasyrii‘il Islamiy halaman 187 atau menurut pendapat yang rajih (yang lebih kuat) sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhailiy dalam Ushuulul-Fiqhil-Islamiy Juz I halaman 231-232.
Dalam rujukan tersebut, disebutkan, apabila ada perintah yang tidak disertai dengan ketegasan waktunya, maka dibolehkan untuk menyegarakan sebagaimana boleh pula untuk mengakhirkan pelaksanaan perintah tersebut, namun menyegerakan adalah lebih utama dan lebih berhati-hati. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ. [آل عمران (3): 133]
Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” [QS. Ali ‘Imran (3): 133].
Jadi, menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, soal waktu, untuk Idulfitri, mulai terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadan sampai salat Id ditegakkan dan untuk Idul Adha adalah sesudah salat Subuh pada hari ‘Arafah sampai akhir hari Tasyriq.
Wallahu a’lam bish-shawab
Semoga bisa kita amalkan!