KHITTAH.CO, YOGYAKARTA – A dream of diversity merupakan impian pertama dari 10 impian tentang Indonesia. Yakni, impian akan sebuah bangsa yang bersatu dan berdiri kokoh di atas fondasi kebinekaan.
Kebinekaan yang menjadi warisan berharga dari para Bapak dan Ibu Pendiri Bangsa ini sedang menghadapi tantangan serius, yang ditandai dengan terkikisnya penghormatan terhadap kemajemukan, prasangka negatif terhadap warga negara yang berlatar belakang etnis dan agama yang berbeda, meluasnya ujaran kebencian di media sosial, dan bahkan kondisi masyarakat yang terbelah.
Kondisi ini menimbulkan rasa kekhawatiran bersama tentang fondasi kebinekaan yang retak dan pecah.
Dalam acara “Sukidi Meet & Dialogue SMTV” yang dipandu oleh Wahyu C. Muna, Sukidi Ph.D. mengajak semua anak bangsa untuk memperkuat kesadaran kebinekaan yang diikat oleh spirit persatuan dan kesatuan antar kita sebagai bangsa.
Bagi Sukidi, spirit inilah yang dapat mempersatukan kita di tengah kemajemukan Indonesia. Kesadaran kebinekaan ini berakar kuat pada sejarah kita sendiri.
“Moto bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, jelas terinspirasi pada tradisi kebinekaan dalam kerajaan Majapahit,” terang Sukidi.
Sukidi merujuk kesadaran kebinekaan itu pada “Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa” karya Empu Tantular dalam Kitab kakawin Sutasoma sebagai suatu rujukan historis tentang pentingnya kita menjaga persatuan dan kesatuan di tengah kebinekaan.
Spirit ini pula yang menjadi dasar para pendiri bangsa saat membangun Indonesia. Semangat untuk percaya antar satu dengan yang lain yang diwujudkan untuk saling menghargai di antara yang berbeda.
“Kesadaran kebinekaan itu terobjektivikasi dengan munculnya semboyan Bhinneka Tunggal Ika di pita yang dicengkeram burung garuda yang jadi lambang negara kita,” beber Sukidi.
Ini berarti kesadaran tentang kebinekaan telah dan harus selalu menjadi kesadaran bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Sukidi menuturkan, visi brilian Bapak dan Ibu Pendiri Bangsa tentang Bhinneka Tunggal Ika yang berakar pada budaya kita ini sejalan dengan semboyan negara Amerika: E Pluribus Unum, out of many, one! yang diusulkan oleh Benjamin Franklin, John Adams, dan Thomas Jefferson.
Meskipun makna kedua moto itu berbeda dari segi konteks dan perjuangan, para Pendiri Bangsa dari kedua negara itu sama-sama menyadari betul bahwa spirit persatuan dan kesatuan bangsa harus tegak berdiri di tengah masyarakat yang majemuk.
Amerika dan Indonesia adalah dua negara dengan tingkat kemajemukan yang luar biasa. Kesadaran tentang kebinekaan pernah disampaikan oleh Soekarno di sidang PBB tahun 1960.
Sebagai kepala negara yang mayoritas penduduknya Muslim, Soekarno mengutip Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.”
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Menurut Sukidi, Soekarno merujuk Al-Qur’an dengan suatu kesadaran kebinekaan yang mendalam tentang pentingnya ikhtiar untuk saling memahami antar bangsa yang berbeda-beda di dunia ini sehingga terjalin kerjasama yang setara dan adil.
Dalam konteks itulah, Sukidi mengajak semua anak bangsa, terutama generasi muda, untuk tak kenal lelah mencintai dan memperkuat fondasi kebinekaan.
“Hal itu dapat diwujudkan dengan komitmen untuk merawat kebinekaan melalui sikap saling mengenal dan memahami antar satu dengan yang lain,” kata Sukidi.
Kebinekaan pasti terkoyak jika sesama warga negara tak saling mengenal, bersikap acuh tak acuh, dan pasif. Kebinekaan menuntut kita, semua warga negara, untuk melibatkan diri secara aktif dan produktif (active and productive engagement) dalam kerja-kerja kemanusiaan, keagamaan dan keindonesiaan.
“Dengan keterlibatan aktif dan produktif inilah, impian kebinekaan akan terwujud di Indonesia,” tutup Sukidi.