KHITTAH.co, Makassar- Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Periode 1998-2005, Prof Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ph.D. mengembuskan napas terakhirnya, Jumat, 27 Mei 2022, di RS PKU Gamping, Yogyakarta.
Diketahui, Buya Syafi’i Ma’arif dilarikan ke RS PKU Muhammadiyah Gamping sejak Sabtu, 14 Mei 2022 karena sesak napas yang dirasakan. Hari ini, Buya Syafi’i berpulang ke Hadirat Allah Azza wajalla dalam usia 86 tahun.
Atas kepergian Buya Syafi’i, Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulsel, Prof Dr Irwan Akib menyampaikan duka mendalam.
Mantan Rektor Univesitas Muhammadiyah (Unismuh Makassar) ini mengenang Buya sebagai sosok yang selalu memberikan perhatian kepada perkembangan Muhammadiyah di Sulsel dan Unismuh Makassar.
Prof Irwan mengaku, mengenal akrab Buya di akhir periode Ketua Umum PP Muhammadiyah ini. Saat itu, Irwan baru saja terpilih menjadi Rektor Unismuh Makassar.
“Saat itu tahun 2005. Setiap bertemu dengan saya, di mana pun, Beliau pasti menanyakan bagaimana perkembangan Unismuh dan Muhammadiyah di Sulawesi Selatan. Kepedulian Beliau itu selalu bagaimana perkembangan Muhammadiyah,” ungkap Prof Irwan saat diwawancarai Jumat siang, 22 Mei 2022 via WhatsApp.
Sekretaris PWM Sulsel ini mengungkapkan, perhatian Buya terhadap perkembangan Persyarikatan di Sulsel terus diberikan bahkan saat Buya tidak lagi menjabat Ketum PP Muhammadiyah.
“Sampai terakhir saya bertemu Beliau, pasti ditanyakan itu. Dan terasa sekali itu bukan basa-basi. Kepedulian dan perhatian Buya itu sangat tulus,” ungkap Irwan.
Irwan Akib juga mengaku selalu mengagumi kesederhanaan Buya Syafi’i. Ketua Dewan Guru Besar Unismuh Makassar ini mengungkapkan, kesederhanaan Buya itu beberapa kali ia saksikan dengan mata kepala sendiri.
“Saya beberapa kali bertemu dengan Beliau di Bandara. Betul-betul sederhana. Beliau jalan sendiri dengan tongkatnya, tanpa pengawalan, tidak ada pelayanan istimewa,” ungkap dia.
Tidak hanya itu, Prof Irwan bahkan melihat dengan mata sendiri, setiap usai salat berjemaah di masjid, Buya Syafi’i selalu memberikan tip kepada pegawai kebersihan masjid tersebut.
“Itu yang saya tidak bisa lupa dan saya kagumi dari Beliau. Beberapa kali saya lihat Beliau mengajak ngobrol dan memberikan tip itu ke cleaning service masjid,” kenang Prof Irwan.
Irwan Akib juga mengaku sering mendengarkan pengakuan terkait kesederhanaan Buya dari Deny Asy’ari, Direktur Suara Muhammadiyah (SM).
“Dari Mas Deni, saya dengar cerita kalau Buya kedatangan tamu hanya dijamu sesderhana saja, tidak memandang siapa pun tamu itu. Sampai-sampai, katanya, Mas Deni beberapa kali minta ke Buya kalau Buya kedatangan tamu, dijamu di Kantor SM saja,” ungkap Irwan.
Guru Besar Ilmu Matematika Unismuh Makassar ini juga mengaku sebagai penggemar tulisan-tulisan Buya Syafi’i. Prof Irwan menyenangi tulisan Buya yang lugas dan mengalir disertai data, fakta, dan argumen yang kuat.
Sejumlah tulisan Guru Besar UNY ini, kata Irwan, juga sangat terasa kejernihan pemikiran dan kedalaman hatinya.
“Bahkan dalam tulisan-tulisannya, sangat terasa itu ketulusan Beliau. Tidak ada tendensi, ia katakan saja apa yang ia ingin katakan. Tidak semua orang bisa menyampaikan kritikan dan masukan secara sangat tulus,” kata Irwan.
Prof Irwan mengaku, setiap membaca tulisan-tulisan Buya, tulisan tersebut sangat terasa bahwa tujuannya adalah untuk melihat bangsa dan negaranya maju.
“Sangat terasa bahwa Beliau tidak ada kepentingan apa-apa selain untuk melihat bangsa ini maju, untuk melihat persatuan umat, dan yang paling sering Beliau dengung-dengungkan adalah tentang keadilan,” ungkap Prof Irwan.
Irwan ingat betul ketika Buya menyebut Sila Keadilan Sosial sebagai sila Pancasila yang paling sial. Buya menganggap sila kelima ini sebagai sila yang paling tidak pernah tersentuh.
“Dan ini Beliau sampaikan kepada siapa pun juga, baik presiden, atau ke mana. Dan walaupun Beliau dekat dengan penguasa, ia tetap sampaikan kritik yang tajam tanpa beban apa-apa,” kata Prof Irwan.
Saat ditanyai tentang stigma publik dan sebagian orang Muhammadiyah terkait garis pemikiran Buya yang disebut liberal, Prof Irwan menganggap bahwa sikap Buya merupakan cerminan dari pemahaman Buya Syafi’i yang mendalam atas perbedaan dan keragaman.
“Saya kira itu dilandaskan pada pemahaman Beliau yang mendalam terkait keberagaman. Beliau sangat menghargai perbedaan. Dan saya yakin, Beliau punya pemahaman yang kut atas itu semua,” tutup Irwan.
(Fikar)