Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Tamu Agung itu Telah Pergi

×

Tamu Agung itu Telah Pergi

Share this article

Oleh: Irwan Akib (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah)

KHITTAH. CO – Ketika bulan Syawal datang dan umat Islam merayakan Idulfitri menandakan, bahwa bulan Ramadan itu telah pergi, tamu agung itu telah pergi, tamu yang pernah datang menghampiri kita dengan sejuta harapan, tamu yang membawa berita gembira, membawa berbagai nikmat bagi orang beriman yang akan mengangkat derajat kemanusiaannya sebagai orang bertakwa. “Laallaqum tattaqum…”.  Suatu derajat yang paling mulia disisi Allah. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.

Derajat kemanusiaan kita bukanlah ditentukan asal-usul di mana kita lahir, dari suku bangsa dan warna kulit kita, bukan ditentukan dari rahim ibu mana kita keluar, bukan gelar dan jabatan. Kemuliaan tidak ditentukan oleh seberapa banyak rekening dan deposito kita, seberapa karung harta yang kita miliki, bukan juga jenis dan jumlah mobil mewah yang berderet di garasi serta bukan rumah bak istana, tetapi kemuliaan kita ditentukan oleh derajat takwa yang kita miliki.

Perjalanan hidup ke depan yang menunjukkan derajat kemanusiaan seseorang sangat tergantung daya serap kita terhadap berbagai kenikmatan yang telah dibawa oleh tamu agung tersebut. Berbagai bawaan tamu tersebut digambarkan dalam suatu riwayat  bahwa Nabi Muhammad Saw pernah berkhutbah dihadapan para sahabatnya “Wahai manusia, telah datang kepada kalian bulan yang agung dan penuh berkah. Di dalamnya terdapat satu malam yang nilai (ibadah) di dalamnya lebih baik dari seribu bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai perbuatan sunnah. Siapa yang mendekatkan diri kepada Allah dengan satu kebaikan pada bulan itu, seolah-olah ia mengerjakan satu perbuatan wajib pada bulan lainnya. Siapa yang mengerjakan satu perbuatan wajib pada bulan itu, ia seolah-olah mengerjakan tujuh puluh kebaikan di bulan lainnya (HR Al-Baihaqi)

Kebaikan yang dibawa oleh tamu agung tersebut, hendaknya terpatri dalam aktivitas kita sepanjang bulan-bulan di luar bulan Ramadan. Puasa sebagai kewajiban di bulan agung tersebut ibarat perisai, dinding dan benteng yang dapat melindungi kita dari dhuafa rohani dan lemah jasmani. Puasa menjadi sumber motivasi dalam menumbuhkan semangat meraih asa dan impian. Sumber cahaya yang memancarkan kekuatan beragama dan menajamkan kekuatan sinar bathin. Sumber utama kekuatan dan kesehatan jasmani serta menambah keelokan dan kehalusan budi pekerti dan kesempurnaan akhlak.

Dengan demikian, seyogyanya bagi orang beriman, perginya tamu agung tersebut maka dapat menyerap hikmah yang kemudian tercermin dalam dirinya akhlakul karimah, yang dalam kesehariannya menjadi manusia utama, manusia yang senantiasa hadir cerah mencerahkan. Manusia yang mampu memilih dan memilah mana yang pantas dan yang tidak pantas untuk dilakukan, mana yang harus dan tidak harus dilakukan. Insan yang kehadirannya senantiasa dirindukan dan kepergiannya ditangisi.

Bulan agung ini telah mendidik kita untuk menahan lapar, haus, dan segala sesuatu yang membatalkan puasa. Didikannya ini bila diserap dengan baik, hendaknya tidak hanya dipandang secara lahiriah tetapi kita perlu mengambil hikmah di balik itu. Bahwa sesungguhnya larangan tersebut memilik hikmah yang mendalam bagi kita, bahwa menahan lapar sebagai manifestasi dari penghayatan kita terhadap saudara-saudara kita yang serba kekurangan yang mungkin bukan hanya sehari, sebulan menahan lapar tetapi mungkin mereka berlapar-lapar sepanjang tahun.

Selain itu, kita diperintahkan mengeluarkan zakat fitrah yang fungsinya bukan sekadar sebagai pembersih harta tetapi lebih dari itu, mengajarkan kita berempati kepada sesama. Mendidik kita untuk berhemat, tidak berfoya-foya dan jauh dari kehidupan hedonis, kehidupan yang materialis. Mendidik kita untuk tidak senang menumpuk harta yang dapat melalaikan kita.

Didikan untuk tidak menjadi manusia materialistik bukan berarti umat Islam tidak boleh mencari harta dan menjauhi dunia, lalu kemudian terus hadir di masjid sepanjang hari berdoa tanpa perlu mencari sumber penghasilan, justru umat Islam perlu mencari harta sebanyak-banyaknya dengan cara yang halal namun penggunaannya perlu diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan keluarga tanpa berlebihan dan tidak berfoya-foya, dan selebihnya diperuntukkan pada kepentingan jalan Allah, kepentingan dakwah Islam.

Dalam hal ini Kiai Ahmad Dahlan pernah mengingatkan bahwa carilah harta benda dengan jalan halal dan segala kekuatan tenaga dan janganlah malas, agar mendapatkan harta yang sebaik-baiknya, setelah mendapatkannya, gunakanlah untuk keperluanmu dan anak istrimu dengan secukupnya, jangan terlalu mewah hingga melampaui batas, dan kemudian gunakan kelebihannya untuk berderma di jalan Allah SWT.

Nilai-nilai yang dibawa oleh tamu agung tersebut, setelah kepergiannya bukan berarti nilai-nilainya juga dibawa pergi sehingga tidak ada yang terpatri dalam kehidupan kita sehari-hari. Bila nilai-nilai tersebut hadir dalam diri setiap umat Islam dan memancarkan cahayanya ke lingkungan sekitar, maka tidak hanya lahir kesalehan individual tetapi juga lahir kesalehan sosial, akan hadir empati dan saling mencintai sesama umat Islam, hadir rasa solidaritas yang tinggi. Dalam kehidupan bertetangga tidak akan ada lagi tetangga yang kelaparan sementara tetangga lainnya kelebihan makanan bahkan menjadi mubazir. Di dalam jual beli tidak akan ada lagi timbangan yang tidak sesuai standard.

Nilai-nilai yang dibawa tamu agung tersebut dalam kehidupan berbangsa bernegara, bila terpatri pada diri penyelenggara negara maka tidak akan ada lagi penyelenggara negara yang perilakunya tidak sesuai sumpah dan janji yang mereka ucapkan ketika akan menjabat, tidak ada lagi yang mencoba mengotak-atik anggaran belanja agar ada dana yang bisa digunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kroninya, tidak akan ada lagi arogansi pejabat yang melakukan tindakan semena-mena terhadap bawahannya. Kita tidak pernah lagi menyaksikan perampok uang negara yang ketika tertangkap masih sempat tersenyum melambaikan seakan tanpa beban. Tidak ada lagi isi perut bumi negeri ini yang dikuras habis dengan rakusnya. Negara bangsa menjadi tenang, tentram, damai, dan makmur.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UNISMUH MAKASSAR

Leave a Reply